Kamis, 26 Maret 2020

LANDASAN AJARAN AHIMSA DALAM KITAB BHAGAWADGITA DAN SARASAMUSCAYA

Oleh
NI KADEK ARSANI
NPM : 19.1.179
PRODI : AGAMA HINDU
SEMESTER: II


SEKOLAH TINGGI KEGURUAN DAN ILMU
PENDIDIKAN AGAMA HINDU AMLAPURA
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA HINDU



KATA PENGANTAR

Om Swastyastu,
            Rasa syukur yang sangat mendalam kita panjatkan kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa karena atas Asung Kerta Wara Nugraha-Nya lah, sehingga makalah yang berjudul “Landasan Cinta Kasih tanpa kekerasan (Ahimsa) dalam kitab Bagawad Gita dan Sarasamuscaya” ini bisa terselesaikan dengan baik. Makalah ini membahas mengenai ajaran Ahimsa yang terdapat di dalam pustaka suci agama Hindu yaitu Bagawad Gita dan Sarasamuscaya yang disertai dengan kutipan sloka-slokanya.
            Semoga makalah ini dapat menambah wawasan dan pengetahuan pembaca serta menumbuhkan rasa sadar dari pembaca maupun penulis tentang perlunya cinta kasih kepada sesama dan semua makhluk tanpa adanya kekerasan (Ahimsa) yang telah tercantum dalam kitab Bagawad Gita dan Sarasamuscaya. Tidak lupa saya mengucapkan terima kasih kepada dosen Studi Agama-agama, I Komang Badra, S. Pd., M. Pd. H, karena telah memberikan tugas ini kepada kami sehingga kami dapat menambah wawasan dan pengetahuan dengan menyusun makalah ini. Ucapan terima kasih juga untuk semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan makalah ini.
            Mohon maaf apabila ada kekeliruan kata dan penulisan yang terdapat dalam tulisan ini. Klungkung semarapura, kirang langkung nunas ampura, Suksma.
Om Santhi, Santhi, Santhi Om
                                                                                                            Pesaban 26 Maret 2020
                                                                                                                     
                                                                                                         Penyusun

         


,




DAFTAR ISI


KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB 1
PENDAHULUAN
1.2      Rumusan Masalah
1.3      Tujuan
1.4      Manfaat
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Ahimsa
2.2 Ajaran Ahimsa dalam kitab Bhagawadgita
2.3 Ajaran Ahimsa dalam Kitab Sarasamuscaya
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
3.2 Saran
DAFTAR PUSTAKA


BAB 1
PENDAHULUAN
1.1  Latar Belakang
Seiring dengan bergantinya zaman dan sampailah pada zaman kaliyuga ini yang merupakan zaman terakhir dari keempat zaman lainnya. Pada zaman ini, kebenaran dan kebajikan sudah mulai memudar dan orang-orang mulai melakukan hal-hal yang menyimpang dari ajaran agama. Hal ini mungkin disebabkan karena kurangnya pemahaman dalam ajaran agama atau bahkan sudah memahami tetapi tidak melaksanakannya.
Seperti yang terlihat di masa sekarang  ini, orang-orang bersaing dan berlomba untuk memperoleh kepuasan duniawi baik itu kekayaan, kekuasaan, ketenaran ataupun ikatan maya lainnya. Rasa individualisasi muncul dan rasa saling memiliki serta cinta kasih terhadap sesama mulai memudar. Terjadi kriminalisasi dimana-mana, seperti pembunuhan, perampokan, pemerkosaan, perzinahan dan masih banyak lagi. Perbuatan-perbuatan tersebut jelas telah menyimpang dari ajaran susila yang tercantum dalam pustaka suci. Salah satu ajaran yang melarang adanya perbuatan sejenis kekerasan seperti itu adalah ajaran Ajaran Ahimsa terdapat diberbagai pustaka suci Hindu, seperti Sarasamuscaya, Bhagavadgita, Whraspati Tattwa, dan pustaka lainnya.
Oleh karena hal tersebut diatas, maka melalui makalah ini penulis ingin menguraikan mengenai salah satu bagian dari Panca Yama Brata yang merupakan pokok ajaran Subhakarma yaitu ajaran Ahimsa yang tercantum dalam pustaka suci Hindu khususnya kitab Sarasamuscaya dan Bhagawadgita yang merupakan pustaka suci yang paling dikenal oleh umat pada umumnya.
1.2  Rumusan Masalah
1.      Bagaimana landasan ajaran Ahimsa yang tercantum dalam kitab Bhagawadgita ?
2.      Bagaimana landasan ajaran Ahimsa yang terdapat dalam kitab Sarasamuscaya ?



1.3  Tujuan
1.       Untuk mengetahui dan memahami landasan ajaran Ahimsa dalam kitab Bhagawadgita.
2.       Untuk mengetahui dan memahami landasan ajaran Ahimsa dalam kitab Sarasamuscaya.
1.4  Manfaat
1.      Menambah wawasan dan pengetahuan pembaca dan penulis tentang landasan ajaran Ahimsa yang terdapat dalam pustaka suci Hindu.
2.      Menambah kajian dan sumber pengetahuan yang dapat digunakan dalam proses belajar mengajar agama Hindu.




















BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Ahimsa
            Kata Ahimsa berasal dari dua kata yaitu “A” yang berarti tidak, dan “Himsa” yang berarti membunuh. Terdapat salah satu sloka yang dalam Veda yang mengatakan “Ahimsaya paro dharmah” yang artinya “Dharma atau kebajikan tertinggi adalah Ahimsa”.
Ahimsa berarti tidak melakukan kekerasan atau tidak melukai. Ahimsa mengajarkan bahwa seseorang harus menganggap semua mahluk hidup adalah perlambangan dari Tuhan dan sehingga seseorang itu tidak boleh melukai pikiran,dengan kata-kata,atau perbuatan mahluk lainnya.
Doktrin ahimsa yang lain termasuk unsur penting berikut ini :
a). Dari sudut pandang tanpa kekerasan,ahimsa berarti cinta universal untuk semua mahluk. Karena Tuhan yang maha esa berada dalam semua mahluk.cinta antara mahluk adalah cinta pada Tuhan.
b). Sangatlah tidak mungkin untuk mempertahankan keberadaan dalam dunia fisik ini tanpa melukai atau membunuh beberapa mahluk. Dalam semua situasi dan keadaan harus dengan cermat diterapkan agar dapat mengarungi jalan ahimsa.
c). Ahimsa mengajarkan rasa sayang pada tanaman dan pohon. Kasih sayang pada tanaman dan pepohonan diajarkan oleh resi Hindu, yang meminta agar orang-orang mengikuti Vana Devata, makhluk svarga yang bersemayam dalam tumbuhan. Dengan menerapkan ahimsa pada hidup tanaman, Hindu adalah agama pertama yang menyadari pentingnya untuk melindungi lingkungan.
"Engkau tidak boleh menggunakan tubuh yang diberikan Tuhan untuk membunuh makhluk Tuhan, Apakah mereka manusia, binatang atau apapun."(yajur veda samhita 12.32)



2.2 Ajaran Ahimsa dalam kitab Bhagawadgita
Di dalam kitab Bhagawadgita terdapat ajaran Ahimsa yang diajarkan kepada Arjuna ketika berada di medan perang Kurukshetra. Sri Krishna menguraikan bahwa pembunuhan dalam peperangan bukanlah suatu perbuatan yang berdosa karena membunuh musuh dalam perang adalah salah satu pembunuhan yang dibenarkan. Seperti yang dijelaskan dalam sloka di bawah ini:
Vedavinasinam nityam ya enam ajam avyanam
Katham sa purusah partha kam ghatayati hanta kam
                                                                                Bhagavadgita (Sloka 2.21)
Artinya:       
Wahai Partha, bagaimana mungkin orang yang mengetahui bahwa sang roh musnahkan, bersifat kekal, tidak dilahirkan dan tidak pernah berubah dapat membunuh seseorang atau menyebabkan seseorang membunuh ?
            Dari sloka diatas dapat dipahami bahwa seseorang yang membunuh, tidaklah dapat memusnahkan roh atau atman seseorang, yang terbunuh tersebut hanyalah badan kasar atau Sthula Sariranya saja. Akan tetapi meskipun roh tidak dapat dimusnahkan, bukan berarti bahwa seseorang diberikan kebebasan untuk menyakiti atau membunuh orang lain.
Kekerasan dibenarkan untuk dilakukan apabila kekerasan tersebut demi memperoleh keadilan yang utama. Hanya orang-orang yang memiliki pengetahuanlah yang dapat memahami bahwa kekerasan tidak hanya merupakan suatu perbuatan yang tidak baik, tetapi kekerasan memiliki kegunaan tergantung pada bagaimana seseorang menggunakannya. Contoh kecilnya seperti operasi pembedahan terhadap seseorang yang menderita sakit yang tujuannya bukan untuk menyakiti penderita tersebut, tetapi tidak lain adalah untuk menyembuhkan penyakit yang dideritanya.
Kaitannya dengan kekerasan atau pembunuhan yang dilakukan oleh para ksatriya dalam pertempuran, diuraikan dalam sloka sebagai berikut:

Yadrcchaya copapanam svarga-dvaram apavrtam
Sukhinah ksatriyah partha labhanteyuddham idrsam
                                                                                             Bhagavadgita (Sloka 2.32)
Artinya:         
Wahai Partha, berbahagialah para ksatriya yang mendapatkan kesempatan untuk bertempur seperti itu tanpa mencarinya – kesempatan yang membuka pintu gerbang planet-planet surga mereka.
                                    Dalam percakapan Arjuna dan Sri Krishna di medan perang Kurukhsetra, Arjuna merasa bimbang dan bingung pada saat akan menghadapi pertempuran antara pihak Pandawa dan Kurawa dimana ia bertempur melawan sanak saudaranya. Krishna memberikan pencerahan dan pemahaman kepada Arjuna bahwa bertempur adalah sudah merupakan kewajiban seorang ksatriya. Apalagi pertempuran itu bukanlah keinginan dari pihak Arjuna, jadi meskipun ia membunuh musuh di medan perang bukanlah perbuatan yang berdosa dan apabila Arjuna terbunuh maka ia akan langsung mencapai surga, begitupula pihak musuh yang terbunuh dalam pertempuran.
                                    Dari beberapa kutipan sloka Bhagavadgita diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa kekerasan atau membunuh (Ahimsa) tidak hanya merupakan perbuatan yang berdosa atau tidak dibenarkan, akan tetapi juga merupakan suatu perbuatan yang memiliki kegunaan seperti untuk memperoleh keadilan dan dapat dilakukan oleh para ksatriya pada saat pertempuran di medan perang.

2.3 Ajaran Ahimsa dalam Kitab Sarasamuscaya   
            Dalam kitab Sarasamuscaya terdapat ajaran tentang cara bertingkah laku untuk diri sendiri dan untuk hidup bersama dengan orang lain. Berbagai suruhan, larangan mengenai tingkah laku disajikan dalam pustaka Sarasamuscaya. Tentu saja semua ajaran tersebut berlandaskan pada ajaran agama Hindu. Ajaran yang disampaikan dengan tujuan mencapai kelepasan dari belenggu penderitaan, sesuai dengan tujuan agama Hindu.
Kitab Sarasamuccaya terdiri dari sebuah pengantar pendek dan 517 sloka yang diterangkan dalam bahasa Jawa Kuna. Kitab ini adalah kitab etika untuk pemeluk agama Hindu di Indonesia.
“ The Sarasamuccaya is the Gita of the Balinese Hindus,”
- Sarasamuccaya adalah Bhagavadgitanya orang-orang Bali pemeluk agama Hindu.
Demikian ucapan Raghu Vira M.A. PH.D. dalam bukunya Sarasamuccaya. Memang benar adanya bahwa isi dari Sarasamuccaya adalah buku pedoman bertingkah laku yang baik di dalam kehidupan ini.
Jiiwitam yah swayam hiicchetakatham so’nyaan praghaatayet,
Yadyadaatmani hiccheta tat parasyaapi cintayet
                                                                                  Sarasamuscaya (Sloka 136)
Apan ikang wwang kahat ri huripnya, apa nimittanikam panghilangaken praana ning ika taatan harimbawaa kta ya, ikang sanukhana ryawaknya, ya ta angenangenenya, ring len.
Artinya:         
Apabila orang sayang kepada nyawanya sendiri, mengapa ingin mencabut nyawa lain makhluk ? Hal ini tidak menghiraukan orang lain namanya. Apa saja yang rasanya menyenangkan untuk dirinya sendiri, itulah yang harus diperbuat terhadap orang lain.
            Terdapat salah satu istilah sloka dalam Hindu “Vasudaiva Kutumbakam” yang artinya kita semua bersaudara atau semua jenis kehidupan sebagai satu keluarga. Ini berarti bahwa BRAHMAN, Tuhan yang meresap pada semua mahluk, yang menyatu pada semua mahluk hidup, apakah manusia,binatang,atau serangga. Semua perbuatan, pemikiran kata-kata yang menyakiti mahluk hidup adalah sebuah dosa bagi semua mahluk ciptaan, termasuk pendosa itu sendiri. Kitab Hindu (seperti Rg Veda 10.37.11, Atharva Veda 19.48.5 dan 10.191.4, Devikalottara agama dan Sandilya Upanisad) menyatakan bahwa tidak boleh melukai mahluk hidup.

            Dauskulaa wyaadhibahulaa duraacaaraah prahaarinah,
            bhawantyalpaayusah paapaa roduka kasmalodayaat.
                                                                                            Sarasamuscaya (Sloka 148)
Kuneng tikang wwang mangke kramanya, mangjanma ring wwang kasmala, wyaadhi ta ya, duraacaaraa, hingsaaprawrrti, alpaayusa, dumeh ya mangkana, kruurakarma nguuni ring puurwajanmanya kalinganika.
Artinya:       
Adapun orang yang keadaannya pada kehidupan ini menjadi manusia penuh dosa, penyakitan, jahat, suka membunuh, pendek umur, maka semua itu menurut ajaran agama adalah pahala yang didapatnya dari perbuatan-perbuatan jahat yang dilakukan dalam penjelmaannya yang lampau.

           Yasyaante swaapi caranaukurute muurddhanya Sankitah,
           Sa kaayah parapiidanair dhaaryata iti ko nayah.
                                                                                                        Sarasamuscaya (Sloka 137)
           Lawan waneh, ikang sarira ngaranya, anitya pinaka swabhaawanya, tan lanaa, apan ri paatinya, tan pamuulya ya, mastakanya tuwi linangkahaning srgaala, an mangkana tattwanya, aparan ta rakwa ya, inguni makasaadhanang parapiida, ndya ta yogyanika.
Artinya:         
Bahwa sesungguhnya badan kasar ini tidak kekal keadaannya; kalau ia mati tidak berharga lagi karena sesungguhnya kepalanyapun dapat dilangkahi anjing demikianlah sebenarnya. Oleh sebab itu mengapa sampai mencelakakan orang lain untuk memelihara badan kasar ini. Apakah sepatutnyakah demikian ?
                       Sthula sarira atau badan kasar yang merupakan bagian Tri Sarira, memiliki sifat tidak kekal. Badan kasar ini selalu berganti dan mengambil wujud lain di setiap kelahiran selama siklus penjelmaan yang berulang-ulang (Punarbhawa/Samsara). Oleh karena itu, jika untuk memelihara dan memberi kepuasan pada badan kasar tersebut dengan melakukan cara atau jalan yang menimbulkan kesengsaraan atau menyiksa makhluk lain, tidaklah benar karena tujuan kita lahir kembali adalah untuk memperbaiki karma atau perbuatan kita dan agar pada kehidupan selanjutnya atma tidak lagi mengambil wujud badan kasar tetapi dapat menyatu dengan Brahman.

           Wadhabandhapariklesaan praanino na karoti yah,
           Sa sarwasya hitam prepsuh sukhamatyantamasnute
                                                                                                        Sarasamuscaya (Sloka 141)
           Hana mara wwang mangke kramanya; tapwan pagawe pariklesa ring praani, tan pangapusi tan pamati, kewala sanukhana ring prani tapwa ginawenya, ya ika sinanggih paramasukha ngaranya.
Artinya:         
Jika ada orang yang tidak pernah melakukan perbuatan yang mencelakakan makhluk lain, tidak menipu, tidak membunuh, dan hanya hal-hal yang menyenangkan yang diperbuatnya selalu terhadap semua makhluk, maka ialah yang mendapat kebahagiaan tertinggi.
Itulah pahala yang didapatkan apabila seseorang tidak melakukan perbuatan yang dapat menimbulkan kesengsaraan dan menyakiti orang lain. Orang tersebut dapat mengantarkan atmanya untuk mencapai kebahagiaan tertinggi yaitu terlepasnya atman dari ikatan duniawi (Panca Maya Kosa) dan bersatunya atman dengan Brahman (Moksa).

           Ekam suute mrgaarinii bahuun suute wrkisutaan,
           Attaarah pralayam yaanti naadyamaanaah kathancana
                                                                                                        Sarasamuscaya (Sloka 140)
           Nihan paajara sakareng naang kidang, sakatunggal denika maanak, kunang ikang srgaala, maanak ika sakapitu nem, kalinganika, ring nem pitu, tan ahurip ika kabeh, apan ikang amangan, upalaksana ring makaarya ring hala, ya ika kagonganing wighna, kunang ikang pinangan, sdalwirning kinaarya ring hala, taha ika.

Artinya:         
Kini diumpamakan sebagai kidang yang menjadi makanan harimau, Kidang itu beranak seekor, harimau beranak enam atau tujuh sekali, tetapi walaupun enam atau tujuh tidak hidup, itu semuanya, sebab ia masuk golongan yang memakan makhluk hidup lain. Harimau yang melakukan perbuatan membencanai makhluk lain, menerima pahalanya yang celaka, sedang yang dimakan yaitu kidang yang dibencanai itu tidak menerima nasib yang celaka.
            Dari perumpaan hewan kidang dan harimau diatas, dapat dimaknakan bahwa setiap perbuatan yang kita lakukan baik itu baik maupun buruk, pasti akan mendatangkan hasil sesuai dengan perbuatan tersebut yang biasa disebut dengan istilah Karmaphala. Jika dalam hidupnya seseorang selalu menimbulkan kesengsaraan dan menyakiti makhluk lain, maka phala atau hasil perbuatannya itu akan mengikutinya. Sebaliknya, orang yang selalu dikenai kesengsaraan oleh orang lain pasti suatu saat ia dapat terhindar dari nasib celaka.

                        Yaccintayati yadyaati ratin badhnaati yatra ca,
                        Tahtaa caapnotyayatnena praanino na hinasti yah
                                                                                                          Sarasamuscaya (Sloka 142)
                        Kuneng phalanya nihan, ikang wwang tan pamaatimaatin haneng raat, senangenangenya, sapinaranya, sakahyunya, yatika sulabha katemu denya, tanulihnya kasakitan.

Artinya:       
Pahalanya orang yang tidak membunuh-bunuh (menyakiti) di dunia ini ialah bahwa segala yang diingini, semua yang ditujunya, segala yang dipikirkannya, dengan mudah tanpa penderitaan pasti tercapai olehnya.
Seseorang yang tidak pernah melakukan perbuatan yang menyakiti dan menimbulkan kesengsaraan orang lain, maka orang tersebut pada kehidupan sekarang ataupun yang akan datang, kecil kemungkinan untuk ia disakiti oleh orang lain kecuali jika ia masih mempunyai bekas-bekas karmawasana di kehidupan terdahulu. Selain itu, pahala orang yang tidak suka menyakiti makhluk lain yaitu tujuan atau keinginan yang ingin dicapainya akan lebih mudah diperolehnya seperti yang disebutkan dalam sloka diatas.



BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
                Ahimsa adalah salah satu ajaran etika dalam Agama Hindu yang merupakan bagian dari Panca Yama Brata. Ahimsa berarti tidak membunuh atau tidak menyakiti. Di dalam kitab Bhagawadgita, Sarasamuscaya dan pustaka suci Hindu lainnya terdapat larangan atau ketidakutamaan orang yang melakukan Himsa Karma terhadap makhluk lain. Akan tetapi, terdapat pula beberapa macam pembunuhan yang dibenarkan, seperti membunuh dalam perang seperti Arjuna, membunuh untuk memperoleh keadilan seperti hakim, membunuh karena merupakan tugas atau kewajibannya seperti brahmana yang melakukan yadnya, membunuh karena ingin membela diri, serta membunuh untuk makan dan mempertahankan hidup. Konsep ajaran Ahimsa tidak hanya mengenai perbuatan yang tidak membunuh atau menerapkan vegetarianisme saja, akan tetapi Ahimsa harus terimplementasi dari konsep ajaran Tri Kaya Parisudha.

3.2 Saran
                Sebagai umat Hindu yang meyakini adanya ajaran Ahimsa, seharusnya kita memahami dan mencari kebenarannya ajaran dalam pustaka Suci yang kita miliki. Kemudian mengimplementasikannya sesuai dengan keyakinan dan kepercayaan masing-masing tanpa adanya paksaan.













DAFTAR PUSTAKA

Sudharta, Tjok. Rai. 2009. Sarasamuccaya Smerti Nusantara. Surabaya: Paramita.
Prabhupada, Swami. 2006. Bhagavadgita Menurut Aslinya. Indonesia: Hanuman Sakti.
I Nyoman Kajeng , dkk. 1997. Sarasamuscaya dengan teks Bahasa Sansekerta dan Jawa Kuno. Surabaya: Paramita.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar