MAKALAH
TRI HITA KARANA
NAMA: I NYOMAN SIANG
NPM: 19.1.058
PROGRAM STUDI AGAMA HINDU
BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Konsep kosmologi Tri Hita Karana merupakan falsafah hidup tangguh. Falsafah tersebut memiliki konsep yang dapat melestarikan keaneka ragaman budaya dan lingkungan di tengah hantaman globalisasi dan homogenisasi. Pada dasarnya hakikat ajaran Tri Hita Karana menekankan tiga hubungan manusia dalam kehidupan di dunia ini. Ketiga hubungan itu meliputi hubungan dengan sesama manusia, hubungan dengan alam sekeliling, dan hubungan dengan ke Tuhanan yang saling terkait satu sama lain. Setiap hubungan memiliki pedoman hidup menghargai sesama aspek sekelilingnya. Prinsip pelaksanaannya harus seimbang, selaras antara satu dan lainnya. Apabila keseimbangan tercapai, manusia akan hidup dengan mengekang dari pada segala tindakan berekses buruk. Hidupnya akan seimbang, tenteram, dan damai. Hubungan antara manusia dengan alam lingkungan perlu terjalin secara harmonis, bilamana keharmonisan tersebut di rusak oleh tangan-tangan jahil, bukan mustahil alam akan murka dan memusuhinya. Jangan salahkan bilamana terjadi musibah, kalau ulah manusia suka merusak alam lingkungan.
Tidak disadari bahwa alam lingkungan telah memberikan kebebasan kepada manusia untuk dimanfaatkan sebesar-besarnya guna kesejahteraan hidupnya. Hakikat mendasar Tri Hita Karana mengandung pengertian tiga penyebab kesejahteraan itu bersumber pada keharmonisan hubungan antara manusia dengan Tuhannya, manusia dengan alam lingkungannya, dan manusia dengan sesamanya. Dengan menerapkan falsafah tersebut diharapkan dapat menggantikan pandangan hidup modern yang lebih mengedepankan individualisme dan materialisme. Membudayakan Tri Hita Karana akan dapat memupus pandangan yang mendorong konsumerisme, pertikaian dan gejolak.
Selain itu, Masyarakat Bali mengajarkan masyarakatnya dan memegang teguh konsep Tri Hita Karana (konsep ajaran dalam Agama Hindu), dan mengimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari. Banyak seniman-seniman Bali yang menggunakan tema berdasarkan Tri Hita Karana, hal ini disebabkan karena Tri Hita Karana secara visual merupakan sebuah konsep yang sangat menumental dan bersifat adiluhung. Pancaran nilai estetik yang sangat tinggi memberikan daya tarik yang sangat kuat bagi para seniman Bali untuk mengangkatnya sebagai sumber inspirasi dalam proses penciptaannya. Pencipta sangat tertarik mengangkat Tri Hita Karana di Bali sebagai sumber ide penciptaan karya seni karena upacara-upacaranya sangat unik dan ertistik dengan penuh variasi yang ditemukan dalam setiap upacara-upacara yang ada di Bali.
Originalitas dalam penciptaan karya ini adalah tidak meniru sebuah karya yang telah ada, tetapi menciptakan sebuah karya fotografi seni dengan sumber ide dari aktifitas upacara masyarakat desa Tenganan Pegringsingan yang berlandaskan Tri Hita Karana. Dengan demikian betapa perlunya kita untuk mengamalkan Tri Hita Karana. Untuk menjaga keharmonisan hubungan antara manusia dengan Tuhan, manusia dengan manusia dan manusia dengan lingkunan.
BAB II
PEMBAHASAN
Pengertian Tri Hita Karana
Istilah Tri Hita Karana pertama kali muncul pada tanggal 11 Nopember 1966, pada waktu diselenggarakan Konferensi Daerah l Badan Perjuangan Umat Hindu Bali bertempat di Perguruan Dwijendra Denpasar. Konferensi tersebut diadakan berlandaskan kesadaran umat Hindu akan dharmanya untuk berperan serta dalam pembangunan bangsa menuju masyarakat sejahtera, adil dan makmur berdasarkan Pancasila. Kemudian istilah Tri Hita Karana ini berkembang, meluas, dan memasyarakat.
Tri Hita Karana bersifat universal merupakan landasan hidup menuju kebahagiaan lahir dan batin. Secara leksikal Tri Hita Karana berarti tiga penyebab kesejahteraan. (Tri = tiga, Hita = sejahtera, Karana = penyebab). Pada hakikatnya Tri Hita Karana mengandung pengertian tiga penyebab kesejahteraan itu bersumber pada keharmonisan hubungan antara: Manusia dengan Tuhannya, Manusia dengan alam lingkungannya, Manusia dengan sesamanya. Kata Tri Hita Karana berasal dari bahasa Sanskerta, dimana kata Tri artinya tiga, Hita artinya sejahtra atau bahagia dan Karana artinya sebab atau penyebab. Jadi Tri Hita Karana artinya tiga hubungan yang harmonis yang menyebabkan kebahagiaan bagi umat manusia. Untuk itu ketiga hal tersebut harus dijaga dan dilestarikan agar dapat mencapai hubungan yang harmonis. Sebagaimana dimuat dalam ajaran Agama Hindu bahwa “ kebahagiaan dan kesejahtraan ” adalah tujuan yang ingin dicapai dalam hidup manusia, baik kebahagiaan atau kesejahtraan pisik atau lahir yang disebut “ Jagadhita ” maupun kebahagiaan rohani dan batiniah yang disebut “ Moksa ”.
Pengertian Tri Hita Karana adalah tiga hal pokok yang menyebabkan kesejahteraan dan kemakmuran hidup manusia. Konsep ini muncul berkaitan erat dengan keberadaan hidup bermasyarakat di Bali. Berawal dari pola hidup ini muncul dan berkaitan dengan terwujudnya suatu desa adat di Bali. Bukan saja berakibat terwujudnya persekutuan teritorial dan persekutuan hidup atas kepentingan bersama dalam bermasyaraakat, juga merupakan persekutuan dalam kesamaan kepercayaan untuk memuja Tuhan atau Sang Hyang Widhi. Dengan demikian suatu ciri khas desa adat di Bali minimal mempunyai tiga unsur pokok, yakni : Wilayah, Masyarakat dan Tempat Suci untuk memuja Tuhan/Sang Hyang Widhi. Perpaduan tiga unsur itu secara harmonis sebagai landasan untuk terciptanya rasa hidup yang nyaman, tenteram, dan damai secara lahiriah maupun bathiniah.
Untuk bisa mencapai kebahagiaan yang dimaksud, kita sebagai umat manusia perlu mengusahakan hubungan yang harmonis (saling menguntungkan) dengan ketiga hal tersebut diatas. Karena melalui hubungan yang harmonis terhadap ketiga hal tersebut diatas, akan tercipta kebahagiaan dalam hidup setiap umat manussia. Oleh sebab itu dapat dikatakan hubungan harmonis dengan ketiga hal tersebut diatas adalah suatu yang harus dijalin dalam hidup setiap umat manusia. Jika tidak, manusia akan semakin jauh dari tujuan yang dicita-citakan atau sebaliknya ia akan menemukan kesengsaraan.
Bagian – Bagian Tri Hita Karana
Parhyangan
Parhyangan adalah hubungan antara manusia dengan Tuhan (Sang Hyang Widhi Wasa).
Pawongan
Pawongan adalah manusia dengan manusia. Manusia yang bersifat individu maupun social sehingga memerlukan hubungan antara manusia yang satu dengan yang lainnya.
Palemahan
Palemahan dalam arti yang luas,sebagai tempat manusia itu tinggal dan berkembang sesuai dengan kodratnya termasuk sarwa prani.
Dengan terjadinya hubungan yang harmonis antara manusia dengan Tuhan, manusia dengan manusia dan manusia dengan alam, maka sebagai penyebab terjadinya atau tercapainya kebahagiaan dan kesejahteraan bersama.
Dari uraian konsep Tri Hita Karana dapat disimak dua pengertian yang saling berkaitan yaitu:
Pengertian Buana Agung
Buana Agung berarti alam yang besar, jagat raya dan sering juga disebut makrokosmos. Semua gugusan matahari, bintang, planet ,bumi, bulan yang menjadi isi alam semesta ini disebut Buana Agung.
Tuhan adalah jiwa dari jagat raya ini sehingga Tuhan sering diberikan gelar Seru Sekalian Alam. Akibat Tuhan memberikan jiwa pada ciptaannya maka Tuhan juga yang mengatur gerak atau peredaran alam semesta ini.
Buana Alit
Buana alit artinya dunia kecil atau sering juga disebut mikrokosmos. Sebagai contoh makhluk hidup yang disebut mikrokosmos adalah manusia.
Tujuan Tri Hita Karana
Desa Pakraman yang merupakan komunitas Hindu-Bali dibangun dengan kepercayaan Tri Murti di mana Ida Sanghyang Widhi dalam manifestasi-Nya sebagai Brahma, Wisnu, dan Siwa. Pura Desa tempat istana Dewa Brahma, Pura Puseh tempat istana Dewa Wisnu dan Pura Dalem tempat istana Siwa.
Atas dasar itu dikembangkan pula konsep Tri Hita Karana yang mengambil peranan manusia sebagai sentral atau penentu terwujudnya kebaikan dan kesejahteraan. Tri Hita Karana bermakna sebagai tiga hal yang mewujudkan kebaikan dan kesejahteraan yakni Parhyangan, yaitu hubungan yang harmonis dan seimbang antara manusia dengan Tuhan, Pawongan, yaitu hubungan yang harmonis antara manusia dengan sesama manusia, dan Palemahan, yaitu hubungan yang harmonis dan seimbang antara manusia dengan alam.
Kaitan Tri Hita Karana dengan falsafah Tri Murti, Tri Kahyangan, dan Tri Kaya Parisudha, adalah untuk mencapai tujuan hidup yang sejahtera lahir dan bathin (mokshartam jagaditaya ca iti dharmah), manusia hendaknya mampu melaksanakan Tri Kaya Parisudha: pikiran yang baik, perkataan yang baik dan benar, dan perbuatan yang baik untuk dapat terwujud kesehatan jasmani dan rohani.
Bali yang sejak abad ke-11 ditata dengan konsep-konsep Mpu Kuturan seperti itu berhasil mencapai zaman keemasan yang memuncak pada masa pemerintahan Raja Dalem Waturenggong (1460 – 1550). Sebagai rasa bhakti dan terima kasih atas jasa-jasa Mpu Kuturan yang telah menata kehidupan rakyat Bali, maka di setiap Pura dan Sanggah Pamerajan dibangunlah pelinggih Manjangan Saluwang sebagai stana dan pemujaan pada Mpu Kuturan. Upaya manusia untuk menjaga kelestarian alam (palemahan) tidak mungkin dapat terwujud dengan baik bila ia melupakan bhakti kepada Tuhan (parhyangan), dan tidak menebarkan cinta kasih kepada sesama umat manusia (pawongan).
Oleh karena umat manusia sedunia heterogen dalam artian memeluk berbagai agama dan kepercayaan, maka konsep Tri Hita Karana dapat saja disesuaikan dengan agama dan kepercayaannya masing-masing.
Kitab suci dari berbagai agama mungkin saja telah menyebutkan hal itu, atau mungkin lebih tegas lagi bahwa: Bila manusia merusak alam atau lingkungan, maka alampun akan menghancurkan manusia. Ini adalah hubungan sebab akibat yang sangat logis, dengan mencari berbagai contoh bencana-bencana alam yang disebabkan karena ulah manusia.
Perubahan iklim dunia (World climate change) bersumber pada perusakan alam oleh teknologi modern manusia. Alam yang dimaksud, adalah alam semesta meliputi daratan, lautan, angkasa, dan atmosfir. Perusakan daratan terjadi karena pertambahan penduduk dunia yang mengakibatkan berkurangnya daerah hijauan hutan dan tanaman.
Intinya tujuan dari Tri Hita Karana itu adalah untuk menjaga segala unsur-unsur yang ada di alam ini baik itu unsur biotik maupun abiotik. Selain itu Tri Hita Karana juga digunakan untuk menjaga keselarasan hubungan antara manusia dengan Tuhan, hubungan manusia dengan manusia serta hubungan antara manusia dengan alam lingkungannya.
Bidang Garapan Tri Hita Karana
Adapun bidang garapan Tri Hita Karana dalam kehidupan bermasyarakat, adalah sebagai berikut:
Bhuana dan Karang Desa. Bhuana adalah alam semesta, Karang Desa adalah wilayah teritorial dari suatu desa adat yang telah ditentukan secara definitif batas kewilayahannya dengan suatu upacara adat keagamaan .
Kerama Desa Adat, yaitu kelompok manusia yang bermasyarakat dan bertempat tinggal di wilayahdesa adat yang dipimpin oleh seorang Bendesa Adat dan dibantu oleh prajuru (aparatur) desa adatlainnya seperti kelompok-kelompok Mancagra, Mancakriya dan Pemangku, bersama-sama masyarakat desa membangun keamanan dan kesejahteraan masyarakat.
Tempat Suci adalah tempat untuk memuja Tuhan/Sang Hyang Widhi dan Sang Hyang Widhi sebagai pujaan bersama yang diwujudkan dalam tindakan dan tingkah laku sehari-hari. Tempat pemujaan ini diwujudnyatakan dalam bentuk Pura Kayangan Tiga. Setiap desa adat di Bali wajib memilikinya.
Makna Tri Hita Karana dalam Kehidupan Sehari-hari
Di dalam kehidupan masyarakat Hindu di Bali, kesehariannya menganut pola Tri Hita Karana. Tiga unsur ini melekat erat setiap hati sanubari orang Bali. Penerapannya tidak hanya pada pola kehidupan desa adat saja, namun tercermin dan berlaku dalam segala bentuk kehidupan bermasyarakat, maupun berorganisasi. Seperti salah satu organisasi pertanian yang bergerak di bidang pengairan yakni Sekehe Subak. Sistem Sekehe Subak di Bali mempunyai masing-masing wilayah subak yang batas-batasnya ditentukan secara pasti dalam awig-awig (peraturan). Subak Awig-awig ini memuat aturan-aturan umum yang wajib diindahkan dan dilaksanakan. Apabila dilangggar dari ketentuan itu akan dikenakan sanksi hukum yang berlaku dalam awig-awig persubakan. Tri Hita Karana Persubakan menyangkut adanya sawah sebagai areal, ada krama subak sebagai pemilik sawah, dan ada Pura Subak atau Ulun Suwi tempat pemujaan kepada Sang Hyang Widhi dalam manisfestasinya sebagai Ida Batari Sri, penguasa kemakmuran.
Desa Adat terdiri dari kumpulan kepala keluarga (KK). Mereka bertanggung jawab atas kelangsungan hidup keluarganya. Setiap keluarga menenpati Karang Ayahan Desa, yang disebut karang sikut satak. Disinilah setiap KK bebas mengatur keluarganya. Pola kehidupan mereka tak lepas dari pola Tri Hita Karana, hal ini dapat dilihat dari Karang Sikut Satak yang ditempati. Secara umum penempatan bangunan di karang itu berpolakan : Utama Mandala, tempat bangunan suci untuk memuja Sang Hyang Widhi dan Para Leluhur, letaknya di Timur Laut pekarangan dinamakan Sanggah Kemulan.Madya Mandala tempat untuk membangun rumah, Balai Delod, Dapur, Kamar Mandi, Lumbung dan bangunan lainnya. Nista Mandala tempat membangun Kori Agung, Candi Bentar, Angkul-angkul tempat masuk ke Pekarangan Sikut Satak.
Diluar Pekarangan Sikut Satak, namanya teba. Di teba inilah tempat krama Bali membangun ekonominya dengan bercocok tanam seperti kelapa, pisang, nangka, durian dan tanaman lain yang memiki nilai ekonomis. Di tempat ini pula anggota keluarga membuat kandang sapi, babi, ayam, itik, kambing dan peliharanaan lainnya, sebagai wujud pelestarian lingkungan. Setiap unit kehidupan masyarakat Hindu di Bali senantiasa berkiblat kepada ajaran Tri Hita Karana,dan telah tercermin dalam hidup harmonis di masyarakat dengan suku bangsa lainnya di Indonesia ,bahkan terhadap para wisatawan yang berkunjung ke Bali.
Kini Tri Hita Karana, bukan saja baik diterapkan di Bali, juga ditempat lain terutama yang menginginkan suasana hidup aman, tenteram, sejahtera, sentosa. Hidup berdampingan secara damai.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Pada hakikatnya Tri Hita Karana mengandung pengertian tiga penyebab kesejahteraan itu bersumber pada keharmonisan hubungan antara: Manusia dengan Tuhannya, Manusia dengan alam lingkungannya, Manusia dengan sesamanya
Ketika manusia tidak lagi menghiraukan lingkungannya maka lingkungan pula tidak akan pernah bersahabat dengan kita. Begitu pula ketika manusia dan sesamanya tidak memiliki hubungan yang harmonis maka akan terjadilah gesekan-gesekan yang menyebabkan hal-hal yangtidak kita inginkan bersama.Apalagi ketika manusia dan ciptaannya tidak terjadi hubungan yang harmonis tentu akan berdampak sangan buruk bagi manusia.
Tri Hita Karana adalah Tiga hubungan yang menyebabkan terjadinya kebahagiaan. Unsur-unsur dari Tri Hita Karana yaitu antara lain :
Parhyangan, yaitu hubungan antara manusia dengan Tuhan.
Pawongan, yaitu hubungan antara manusia dengan manusia.
Palemahan, yaitu hubungan antara manusia dengan alam.
Tujuan adanya Tri Hita Karana yaitu agar terciptanya kehiduan yang aman, nyaman dan sejahtera antara manusia dengan buana agung maupun buana alit. Dengan demikian manusia harus senantiasa menjaga keselarasan hubungannya dengan Tuhan, sesama manusia serta lingkungan tempat hidupnya.
DAFTAR PUSTAKA
Karmini, Ni Wayan, dkk. 2000. Agama Hindu. Jakarta: Ganeca Exact
Sujana,S.Pd, I Wayan. 2011. “Tri Hita Karana”. Bali. 22 Maret 2011. Diakses tanggal: 27 Januari 2013. Diunduh dari: http://wiranhu.blogspot.com/tri-hita-karana503.html
Riana,I Gede.2011.dampak penerapan kultur lokal Tri Hita Karana/ JTI,Vol
13.No.1,Juni, 2011,pp.37-44
Tidak ada komentar:
Posting Komentar