MAKALAH
Mesegeh Caru Terkecil dan Sederhana sebagai
Bentuk Pelaksanaan Bhuta Yadnya untuk Menjaga Keseimbangan dan Keharmonisan
Alam Semesta
OLEH:
IDA BAGUS NYOMAN OKA, SE
NPM. 19.1.087
STKIP AGAMA HINDU
AMLAPURA
2020
PENDAHULUAN
Tri hita karana merupakan konsep dasar
dalam ajaran Agama Hindu, Tri berarti tiga, hita berarti kebahagiaan, dan
karana berarti penyebab, jadi tri hita karana berarti tiga penyebab terciptanya
kebahagiaan. Tri hita karana terdiri dari Parahyangan yaitu hubungan manusia
dengan Tuhan, pawongan yaitu hubungan manusia dengan manusia, dan pawongan
yaitu hubungan manusia dengan alam.
Dalam mencapai keharmonisan Tri Hita
Karana umat Hindhu diharapkan dan diharuskan mempunyai sikap hormat, taat, dan
bhakti atas kekuasaan Ida Sanghyang Widhi Wasa, sikap hormat dan saling
menghargai sesama manusia, serta menghargai dan memelihara keseimbangan alam
beserta isinya. Pelaksanaan sebagai perwujudan bhakti dan hormat untuk mencapai
keharmonisan tersebut adalah dengan jalan melakukan yadnya. Yadnya merupakan
persembahan atau korban suci secara tulus ihklas. Yadnya dalam pelaksanaannya
ada yang dilaksanakan secara riil dapat berupa persembahan dan atau korban suci
kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa demikian juga kehadapan sesama manusia,
serta kehadapan alam berserta isinya, dan yadnya yang dilakukan abstrak (tidak
nyata) berupa tapa, bratha, yoga dan semadhi. Yadnya secara riil dalam ajaran
Agama Hindhu adalah Panca Yadnya yang terdiri dari Dewa Yadnya yaitu
persembahan korban suci ditujukan kepada Ida Sanghyang Widhi Wasa, Pitra Yadnya
yaitu persembahan korban suci kepada para leluhur, Rsi Yadnya yaitu persembahan
korban suci ditujukan kepada beliau yang disucikan atau para sulinggih, Manusa
Yadnya yaitu persembahan korban suci ditujukan kepada sesama manusia serta
Bhuta Yadnya yaitu persembahan korban suci ditujukan kehadapan para Bhuta Kala,
alam dan beserta isinya.
Pelaksanaan Panca Yadnya tidak dapat
dilaksanakan secara tersendiri, ini merupakan keterkaitan antara yadnya yang
satu dengan yadnya yang lain artinya pelaksanaannya tidak dapat meninggalkan
yadnya yang lain. Dalam pelaksanaan Dewa Yadnya selalu diawali dengan Mecaru
sebagai persembahan kehadapan para Bhuta Kala dengan harapan beliau tidak tidak
mengganggu upacara yang akan dilaksanakan, setelah itu dilaksanakan Makala
Hyang yaitu upacara pembersihan diri umat sebelum upacara Dewa Yadnya
dilaksanakan, ada juga Rsi Bhojana yang berkaitan dengan Rsi Yadnya yaitu
persembahan kehapadan beliau yang sudah berkenan dalam pelaksanaan inti Dewa Yadnya. Sebelum Dewa Yadnya
dilaksanakan, terlebih dahulu dilaksanakan Upacara Nunas Wangsuhpada pada pura-
pura kawitan yang merupakan salah satu pelaksanaan Pitra Yadnya. Demikianlah
keterikatan dalam pelaksanaan Panca Yadnya.
Bhuta Yadnya merupakan bagian dari Panca
Yadnya dan dalam pelaksanaannya mengawali dari pelaksanaan Panca Yadnya yang
lain. Upacara Bhuta Yadnya dilaksanakan umat Hindhu disebut Nitya Karma dan
Naimitika Karma. Persembahan setiap hari
setelah memasak dengan menghaturkan beberapa butir nasi beralaskan daun pisang
persegi yang dilengkapi lauk pauk yang dimasak saat itu dan dihaturkan di
pelinggih Mrajan atau Sanggah khususnya dilektakkan dibebaturannya dipelemahan
rumah yang disebut Nitya Karma. Demikian juga disetiap hari Kliwon atau Kajeng
Kliwon Upacara Bhuta Yadnya dilaksanakan, Upacara Bhuta Yadnya juga
dilaksanakan pada setiap adanya suatu kejanggalan atau kejadian yang tidak
dikehendaki misalnya terjadi kebakaran, tumbuh pohon aneh tidak sesuai
kebiasaan, lahirnya hewan yang tidak semestinya secara biologis, adanya lulut
atau ulat pada pelemahan pekarangan dan kejadian yang melanda seperti sekarang
merebaknya wabah virus covig 19, jadi Yadnya yang dilaksanakan pada saat saat
tertentu bila diperlukan disebut Naimitika Karma. Sarana Bhuta Yadnya secara
garis besar dapat dibagi menjadi mejadi 3 jenis yaitu:
1.
Mataya yaitu sarana yang berasal dari
tumbuh- tumbuhan yang biasa digunakan buah, daun, bunga dan pohonnya
2.
Mantiga yaitu sarana yang berasal dari
hewan yang terlahir dua kali seperti ayam, angsa, itik , telur itik, telur
ayam, telur angsa dan lainnya
3.
Maharya yaitu sarana yang terlahir
sekali saja dan berkaki empat seperti babi, sapi, kebau, kambing dan lain-
lain.
Dalam
pelaksanaan Bhuta Yadnya dari segi bentuk dapat berupa Segehan, Caru dan Tawur.
Ketiga bentuk Bhuta Yadnya tersebut
secara rutin dilaksanakan oleh umat Hindhu namun dikalangan masyarakat
awan apa sesungguhnya maksud dan tujuannya masih adanya ketidaktahuan secara tattwa.
Jadi penulis berusaha menjelaskan dan memberikan pemahaman maksud dan tujuan
Upacara Bhuta Yadnya dari segi bentuk yang paling kecil dan paling mudah yaitu
Segehan
PEMBAHASAN
A. Pengertian segehan
Kata segehan berasal
dari kata “ sega” dalam bahasa jawa “sego” yang berarti nasi sehingga banten
segehan isinya didominasi oleh nasi berbagai warna dan bentuk. Ada juga segehan
artinya “suguh” suguhan dalam hal ini dihaturkan kepada Bhuta Kala. Pelaksanaan
Upacara Bhuta Yadnya dalam bentuk yang lebih kecil dan sederhana pengetian lain
dari Segehan atau blabaran yang dipersembahkan kehadapan Ida Sang Hyang Widhi
Wasa dalam prabawanya sebagai Panca Maha Bhuta, yang dapat berupa nasi kepelan,
cacahan, tumpeng yang dilengkapi dengan bumbu lauk pauk bawang, jahe dan garam
(uyah areng) yang beralaskan taledan (daun pisang atau janur), serta tetabuhan
tuak,arak,berem dan air.
B. Makna dan tujuan segehan
Manusia sebagai ciptaan Ida Sang Hyang
Widhi Wasa merupakan perwujudan Panca Maha Bhuta dalam bentuk yang lebih kecil
atau microkosmos, sedangkan yang lebih
besar makrokosmos adalah alam semesta. Dalam Agama Hindhu makrocosmos terdiri
dari Alam Bhur adalah tempat manusia dan makhuk hidup lainnya seperti tumbuh-
tumbuhan dan binatang disamping itu dihuni juga oleh segala bentuk gumatak
gumitit, para bhuta kala, serta makhluk halus lainnya, Alam Bwah alam yang
dihuni oleh para arwah, serta Alam Swah sebagai alamnya para dewa. Alam Bhur
tidak hanya dihuni oleh manusia dan makhluk hidup lainnya, akan tetapi juga
dihuni oleh makhluk halus maka jelas aka ada interaksi sehingga akan
menimbulkan suatu gesekan dan pengaruh negatif
sehingga pengaruh negatif
tersebut perlu dinetralisir dan diharmonisasi dengan malaksanakan
persembahan Bhuta Yadnya berupa mesegeh
atau segehan.
Segehan atau blabaran merupakan simbolis
dari Panca Maha Bhuta dibhuwana alit berupa nafsu baik dan jahat yang
disimbulkan dengan nasi warna lima, warna putih simbul kesucian, merah sebagai
simbul sifat marah, kuning sebagai simbul sifat iri hati, hitam sabagai simbul
serakah dan brumbun merupakan penggabungan dari sifat keempatnya. Bawang, jahe
dan garam areng serta tetabuhan arak berem, rasanya pedas pahit bercampur aduk
dengan rasa lainnya dan berbau amis itu semua merupakan rangsangan. Sekarang
tergantung warna sifat dan rasa serta bau yang mana yang lebih dominan, semua
tergantung dari interaksinya terhadap pengaruh luar dan atau pengaruh dari luar
terhadap manusia. Jadi makna mesegeh yaitu memberikan suatu persembahan kepada
para bhuta kala dengan harapan beliau tiada lagi mengganggu dan atau
mempengaruhi sifat yang ada pada diri manusia.
C. Pengertian Bhutakala sebagai penerima
persembahan segehan
Menurut kepercayaan Agama Hindhu di
Bali, perwujudaan Bhutakala merupakan penjelmaan dari saudara empat manusia
yang diajak lahir bersama, karena suatu proses alam, maka beliau ini berubah
wujud dalam bentuk bhuta yaitu: Yeh nyom menjadi Anggapati tempatnya di timur
bentuknya padat yaitu pertiwi, darah menjadi Mrajapati tempatnya di selatan
bentuknya cair (apah), lamas menjadi
Banaspati tempatnya di barat bentuknya teja (panas), dan ari- ari menjadi Banaspati Raja tempatnya
di utara berbentuk angin (bhayu). Dalam kehidupan sehari- hari jika seseorang
lupa akan saudara empatnya beliaupun akan meninggalkannya dan dalam kehidupannya
beliau senantiasa akan diperalat dan atau membiarkan hal- hal buruk terjadi
padanya, demikian juga sebaliknya, jika seseorang senantiasa ingat akan saudara
empatnya maka beliau akan melindunginya dan tidak akan terjadi hal- hal buruk
dalam hidupnya.
Menurut Kanda Pat Bhuta Anggapati
sebagai wujud penjelmaan dari saudara empat manusia, dalam keseharian menempati
tubuh manusia sebagai makanannya beliau diperkenankan memangsa atau mengganggu
manusia jika manusia dalam keadaan lemah atau dikuasi oleh nafsu angkara murka,
maka timbulah sifat jahat, membunuh, memperkosa dan sifat angkara murka lainnya pada diri manusia sebagai akibat
manusia lupa akan salah satu saudara empatnya. Untuk menetralisir sifat- sifat
jahat tersebut dengan jalan melaksanakan tapa bratha, yoga, semadi dan
melaksanakan korban suci berupa segehan sebagai salah satu sarananya.
Mrajapati merupakan penghuni kuburan
atau setra, persimpangan jalan besar, berhak atas makanannya untuk memangsa
mayat yang dikubur menyalahi dewasa (waktu/kala terlarang). Beliau juga
diperkenankan mengganggu manusia yang salah jalan dan dengan sengaja memberikan
dewasa yang tidak benar dan serta melanggar dalam hal melakukan upacara. Untuk
hal tersebut dapat dinetralisir dengan melaksanakan korban suci Caru Penyejeg
Karya dan Caru Alaning Dewasa yang didalamnya ada segehan.
Banaspati sebagai penghuni sungai,
pangkung, jurang, tebing, batu besar dan sebagainya berhak atas makanannya
untuk menggangu serta memangsa orang- orang yang lewat dan berjalan ditempat tersebut
tanpa permisi dan menyalahi waktu, demikian juga orang yang tidur menyalahi
waktu (sandikala). Untuk menetralisir dengan jalan mohon ijin dan menghaturkan
sesuatu sebagai persembahan sebelum melewati tempat tersebut.
Banaspati raja sebagai penghuni pohon
besar yang angker, beliau punya kuasa atas orang yang sengaja dan berani
menebang dan memanjat pohon tersebut. Untuk menetralisir hal tersebut dengan
jalan melaksanakan persembahan sebelum akan melakukan kegiatan pada pohon
tersebut atau disekitar pohon tersebut atau bahkan akan menebangnya dengan
melakukan suatu pergantian dengan mendirikan pelinggih sebagai gantinya bila
mana diperlukan.
D. Waktu, tempat dan jenis segehan yang
dipersembahkan
Waktu menghaturkan segehan adalah setiap
Kliwon, Kajeng Kliwon, Purnama/ Tilem dan hari rerahinan lainnya. Kepercayaan
masyarakat Bali pada jaman dahulu untuk menetral suatu penyakit pada hari
Kajeng Kliwon dengan menghaturkan segehan lengkap dengan banten yang telah
ditentukan di penataran atau pempatan agung. Pada hari Kajeng Kliwon diyakini
sebagai saat energy alam semesta yang memiliki unsur dualisme bertemu satu sama
lainnya, energy dalam alam semesta yang ada di bhuwana agung semuanya
terealisasi dalam bhuwana alit tubuh manusia itu sendiri. Rerahinan Kajeng
Kliwon datang setiap 15 hari sekali dan dibagi menjadi 3 yaitu:
1. Kajeng
Kliwon Uwudan yaitu Kajeng Kliwon yang jatuh setelah terjadinya purnama
2. Kajeng
Kliwon Enyitan yaitu Kajeng Kliwon yang jatuh setelah bulan mati atau tilem
3. Kajeng
Kliwon Pamelastali yaitu Kajeng Kliwon yaitu Kajeng Kliwon yang dilaksanakan
setiap hari Minggu pada Wuku Watugunung, yang jatuh setiap enam bulan sekali.
Secara
spesifik pada hari Kajeng Kliwon penguasa energi posotif dan negative melakukan
sebuah pemurtian dan dari sana beliau juga akan menganugrahi manusia
keselamatan, dan untuk menyeimbangkan hal tersebut maka kita harus melakukan
Bhuta Yadnya yang terkecil yakni menghaturkan segehan.
Dalam melaksnakan korban suci Bhuta
Yadnya dengan mempersembahkan segehan, secara umum segehan dibagi menjadi beberapa macam yaitu:
1. Segehan
kepelan putih
Segehan kepelan putih dengan
susunan sebagai berikut beralaskan dari daun atau taledan kecil persegi empat
yang melambangkan empat arah mata angin yang berisi tangkih disalah satu
ujungnya. Nasi putih dua kepal sebagai lambang rwa bhineda, jahe secara ilmiah
memiliki rasa panas sebagi perlambang semangat manusia tetapi tidak boleh
emosional, bawang memiliki sifat dingin agar manusia selalu berkepala dingin
dalam berbuat sesuatu, garam memiliki sifat netral sehingan garam sarana untuk
menetralisir berbagai energi negatif yang merugikan manusia. Diatasnya disusun
canang geten dengan tetabuhan tuak, arak, berem dan air yang merupakan sejenis
alcohol yang sangat efektif digunakan untuk membunuh bakteri, kuman, dan virus
yang merugikan
2. Segehan
Kepelan Putih Kuning
Segehan kepelan putih kuning tidak
jauh berbeda dengan segehan kepelan putih, hanya salah satu nasi kepelan yan
diganti dengan nasi kepelan kuning.
3. Segehan
kepelan warna lima
Segehan ini tata caranya sama
dengan segehan kepelan putih hanya saja nasi kepelannya menjadi lima warna
dengan susunan, warna putih ditimur, warna merah diselatan, warna kuning
dibarat warna hitam di utara dan campuran dari keempat warna tersebut (brunbum)
ada ditengah tengah
4. Segehan
cacahan
Segehan ini adalah segehan dengan
nasi dibuat sedemikian rupa dengan lima tanding dengan ulam irisan bawang jahe
dan garam areng. Segehan cacahan ada 2 jenis taledan, taledan dengan tujuh
tangkih dan taledan dengan sebelas tangkih. Taledan dengan tujuh tangkih, lima
tangkih untuk tempat nasi panca warna dengan posisi ditimur, selatan, barat,
utara dan ditengah, satu tangkih untuk tempat lauk bawang, jahe dan garam, satu
tangkih untuk tempat base tampel dan beras kemudian diatasnya disusun dengan
canang genten. Taledan dengan sebelas tangkih, Sembilan tangkih tempat nasi
dengan warna mengikuti arah mata angin, satu tangkih untuk tempat lauk bawang,
jahe dan garam, satu tangkih untuk tempat base tampel dan beras kemudian
diatasnya disusun dengan canang genten
5. Segehan
agung
Segehan agung merupakan segehan
tingkat yang paling akhir, dipergunakan pada saat upacara Bhuta Yadnya yang
lebih besar. Adapun isi dari segehan agung adalah ngiru/ ngiu sebagai alas
merupakan simbul alam semesta, ditengahnya ditempatkan daksina penggolan (
daksina yang kelapanya sudah dikupas tapi belum dihaluskan sehingga masih
berserabut) sebagai simbul kekuasaan Ida Sang Hyang Widi Wasa, segehan sebanyak
sebelas tanding dengan posisi canang menghadap keluar merupakan jumlah dari
pengider ider (sembilan arah mata angin dan arah atas bawah) serta merupakan
simbul jumlah lubang yang ada pada diri manusia, dua lubang mata, dua lubang
telinga, dua lubang hidung, satu lubang mulut, satu lubang kemaluan, satu
lubang dubur, satu lubang pusar, dan satu lubang cakra Siwa dwara, tetabuhan
yang terdiri dari tuak, arak, berem dan air merupakan simbul zat cair arak
putih perlambang Iswara, darah merah perlambang Brahman, tuak kuning perlambang
Mahadewa, berem hitam perlambang Wisnu dan air netral perlambang Siwa,
selanjutnya anak ayam yang masih kecil (ekornya belum tumbuh bulu panjang)
merupakan simbul loba, keangkuhan, dan api takep api yang dibuat dengan serabut kelapa yang
membentuk tapak dara simbul dewa agni yang menetralisir pengaruh negative.
Dari kelima macam
segehan diatas, empat segehan yang pertama digunakan setiap kliwon, kajeng
kliwon dan pada saat upacara- upacara kecil, sedangkan segehan agung digunakan
upacara- upacara yadnya yang besar.
Segehan untuk kliwon,
kajeng kliwon, dan pada saat upacara- upacara
kecil dihaturkan pada empat
tempat yang berbeda yaitu:
1. Halaman
sanggah atau mrajan segehan panca warna
yang ditujukan kepada Sang Kala Buchari dengan mantra segehan “Ong Sang Kala Bhucari, kita rencang ancangan
Hyang Pasupati, manusanta angaturaken sega manca warna, haywe ta anyangkala
anyangkali sang adrwe yadnya, wehing manusanta kadirghayusan. Ong Siddhirastu
swaha”
2. Halaman
rumah atau pekarangan tempat tinggal segehan Panca warna yang ditujukan kepada
Sang Bhuta Bhucari dengan mantra segehan “Ong
Sang Bhuta Bhucari, kita rencang ancangan Hyang Pasupati, manusanta angaturaken
sega manca warna, haywe ta anyangkala anyangkali sang adrwe yadnya, wehing
manusanta kadirghayusan. Ong Siddhirastu swaha”
3. Pintu
halaman rumah dihaturkan didepan pintu gerbang terluar pekarangan rumah segehan
panca warna yang dihaturkan kepada Sang Durgha Bhucari dengan mantra segehan “Ong Sang Durga Bhucari, kita rencang ancangan Hyang
Pasupati, manusanta angaturaken sega manca warna, haywe ta anyangkala
anyangkali sang adrwe yadnya, wehing manusanta kadirghayusan. Ong Siddhirastu
swaha”
4.
Segehan kepelan dihaturkan pada
tiap pelinggih (dibawahnya) sebagai berikut Pelinggih Kemulan dan Surya segehan
kepelan putih kuning, Tugu Penunggun karang segehan kepelan putih hitam, sumur
segehan kepelan warna hitam, dapur segehan kepelan merah, Taksu segehan kepelan
merah putih, yang ditujukan kepada Sang Bhuta Kala Preta dengan mantra segehan
“ Ong Sang Bhuta Kala Preta ya namah
swaha, kita pinaka rencang ancangan pakulun bhetara, manusanta angaturaken………….(titik
titik diisi dengan segehan yang dihaturkan sesuai dengan penlinggih)haywe ta anyangkala anyangkali sang adrwe
yadnya, wehing manusanta kadirghayusan. Ong Siddhirastu swaha”
KESIMPULAN
Segehan merupakan suguhan yang dominasi
oleh nasi yang bisa berupa kepelan nasi
putih, kepelan nasi putih kuning, kepelan nasi panca warna, dan cacahan yang
beralaskan daun dan atau taledan persegi empat
yang dipersembahkan setiap kliwon, kajeng kliwon, dan upacara- upacara
kecil lainnya pada tiap pelinggih (dibawahnya) yang ditujukan kepada Sang Bhuta
Kala Preta, dihalaman Sanggah/ mrajan yang ditujukan kepasa Sang Kala Bhucari,
dihalaman rumah yang ditujukan kepada Sang Bhuta Bhucari, dan dilebuhan rumah
(depan pintu terluar pekarangan) yang ditujukan kepada Sang Durga Bhucari yang
bertujuan untuk menetralisis atau mengharmonisasi kekuatan- kekuatan negativ
menjadi kekuatan yang positif sehingga keseimbangan makrokosmos dan mikrokosmos
tetap terjaga.
DAFTAR PUSTAKA
1.
Pasek Swastika, I Ketut 2011. Caru. Cv.
Kayumas Agung
Tidak ada komentar:
Posting Komentar