Mengejar Harap
Karya: Ni Luh Putu Agustini
Suara ayam berkokok menjadi alarm pertanda pagi telah menjelang. Membangunkan paksa manusia yang masih terlelap. Akan tetapi–aku, gadis bernama Sukma Kusumaningati sudah bangun sebelum kokok ayam berbunyi.
Menyapu halaman rumah dan menanak nasi adalah rutinitasku setelah bangun tidur. Ibuku sudah lebih dulu berada di dapur yang kini sedang mengulek bumbu. Setiap pagi ibuku pergi ke pasar menjajakan lauk dan kue tradisional. Aku turut serta membantu membungkus dan menitipkannya di kantin sekolah.
Ibu yang sudah selesai mengulek, menoleh ketika aku memasuki dapur.
“Sukma, hari ini kamu tidak apa-apa, kan, jalan kaki ke sekolah? Sepedanya mau dibawa Ayah ke rumah Pak Wardoyo, bantu gotong royong.”
Aku mengangguk, “Tidak apa-apa, kok, Bu. Malah lebih sehat kalau aku jalan kaki.”
Ibu mengelus pucuk kepalaku sambil berkata, “Belajar yang rajin, ya, Nak. Ibu dan Ayah akan selalu mendoakanmu agar selalu sukses.”
“Pasti, Bu.” Aku mengangguk, bangga memiliki orangtua seperti mereka yang selalu mendukung dan tak pernah menuntutku untuk selalu mendapat nilai tinggi di sekolah.
Setiap berangkat sekolah, aku tidak pernah naik angkutan umum. Aku lebih suka naik sepeda atau jalan kaki walaupun jarak menuju sekolahku sekitar dua kilometer. SMA Bakti Guna adalah tempatku menimba ilmu. Walaupun ada sekolah yang lebih dekat dengan rumahku, aku lebih memilih bersekolah di sini karena SPP-nya lebih murah.
Jadwal jam pertama di kelasku hari ini adalah ulangan Matematika. Beruntungnya, materi yang diterangkan minggu lalu diujikan dalam ulangan ini. Selama mengerjakan aku tidak mengalami kesulitan menjawab walaupun semalam aku tak belajar.
Setelah ulangan berakhir, banyak teman sekelasku yang menampilkan wajah lesu. Kebanyakan dari mereka segera pergi ke kantin mengisi amunisi. Setiap jam istirahat aku gunakan untuk membaca buku di perpustakaan. Lahir dari keluarga kurang berada membuatku harus hemat dalam segala hal.
Jam, hari, minggu, dan bulan sudah berlalu. Tak terasa sebentar lagi akan diadakan Ujian Nasional. Sebagian besar temanku mengikuti les. Pada saat ini aku harus pandai mengatur waktu antara belajar dan membantu Ibu. Aku semakin giat belajar mengingat UN akan diadakan tak kurang dari dua bulan lagi.
Akan tetapi, pada sore itu ketika aku te gah mencatat gawai ibuku berbunyi. Ada telepon masuk dari Ayah. Tak biasanya Ayah menelepon. Ibu segera mengangkat telepon itu, namun yang terdengar bukan suara Ayah melainkan suara pria yang tak kukenali.
“Halo, dengan keluarga atas nama Bapak Jumadi Hartono?”
Perasaan tidak enak mulai menyerangku. Aku berdiri di samping ibu.
“Iya, betul. Saya istrinya.”
“Bapak Jumadi mengalami kecelakaan di Jalan Kartini sekitar pukul 17:25, saat ini korban sedang dibawa menuju Rumah Sakit Citra Medika.”
Mendengar hal itu, wajah ibuku langsung pucat. Beliau tidak menangis tetapi aku tahu dia sedang kalut.
Ibu berdiri, menarik tanganku menuju ke luar rumah, “Ayo, Sukma, kita ke rumah sakit sekarang!”
“Tapi, kita naik apa ke sana, Bu?” tanyaku, seketika ingat kami tak memiliki alat transportasi selain sepeda yang sedang di bawa Ayah
Ibu berhenti berjalan, “Nanti kita naik ojek atau angkutan umum saja. Ongkosnya tidak usah dipikirkan, yang penting kita lihat keadaan Ayah dulu.”
Aku dan ibu bergegas pergi ke rumah sakit naik ojek. Sesampainya di sana mata Ayah masih terpejam. Kaki dan kepalanya diperban. Kata polisi yang tadi menghubungi ibu, pelaku yang menabrak ayah kabur.
Beberapa hari setelah ayah bangun dari komanya, beliau dinyatakan lumpuh. Ibu jelas syok, sementara aku menangis sesenggukan.
“Kamu sebaiknya pulang dulu, Sukma. Besok kamu masih harus sekolah,” kata ibuku setelah tangisku sedikit mereda.
Aku menurut saja, teringat malam ini aku harus belajar untuk ulangan besok.
“Iya, Bu.”
Aku pulang naik ojek yang tadi mengantar kami ke sini. Beruntungnya beliau masih di sini untuk mencari makan dan minum.
Dari kemarin hingga hari ini aku takbisa fokus belajar. Sementara itu, Ujian Nasional sudah semakin dekat. Berbagai pikiran berkecamuk dalam kepalaku.
Harapan untuk bisa kuliah harus pupus setelah ayah menderita lumpuh. Ibulah yang saat ini harus menjadi tulang punggung keluarga. Kadang aku juga ikut sedih saat dagangan ibu kadang tak terjual habis. Uang untuk modal berdagang besok pun jelas tidak ada. Akhirnya ibuku berhenti berjualan. Uang tabungan milik orangtuaku sedikit berkurang untuk melunasi SPP-ku yang sudah menunggak dua bulan dan untuk modal berjualan ibu.
Hari demi hari telah aku lalui. Ujian Nasional sudah berakhir. Satu minggu kemudian adalah pengumuman hasil Ujian kami. Aku lega masih bisa meraih nilai tertinggi dan terus semangat belajar dikala keadaanku sedang terpuruk. Akan tetapi, keinginan untuk melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi harus aku kubur dalam-dalam.
“Selamat, ya, Sukma,” itu ucap temanku saat sedang berpapasan dengan mereka.
“Iya, terima kasih, ya,” balasku
“Nanti kamu mau melanjutkan kuliah di mana, Sukma?”
Pertanyaan itu ingin tidak kujawab, namun aku tetap menjawab pertanyaan temanku.
“Belum tahu, nih, mau lanjut ke mana,”
“Ah, kamu Sukma. Lanjut kuliah di mana saja pasti bisa, kamu, kan, pintar.”
Aku hanya tersenyum menanggapi temanku.
Saat aku sudah sampai rumah, aku dibuat heran dengan banyaknya orang yang berkumpul di rumahku. Di depan rumah terpasang bendera kuning.
Saat mereka melihatku, banyak dari mereka yang memberiku tatapan iba.
“Yang sabar, ya, Sukma,”
Seketika aku diliputi perasaan tidak enak, jantungku tiba-tiba berdebar. Segera saja aku memasuki rumah. Aku terduduk sambil menangis saat melihat ayah terbujur kaku di hadapanku. Ibu menangis sesenggukan di samping ayah. Kain putih yang menutupi dari atas sampai bawah menandakan ayahku sudah tak bernyawa lagi. Saat ini, kosakata yang sudah aku pelajari sejak kecil hilang begitu saja. Mendadak aku lupa segalanya. Aku seakan lupa cara berbicara. Terlalu terkejut dengan apa yang terjadi saat ini.
Aku tidak ikut pergi memakamkan ayah. Hari ini terlalu lelah untuk dipakai berjalan barang selangkah. Air mataku sudah kering, namun kesedihan itu masih terasa. Aku memeluk foto ayah sampai akhirnya aku tertidur.
Dua minggu lagi adalah perayaan kelulusan. Seluruh panitia acara sudah sibuk mempersiapkan segala sesuatu dari hari ini. Dan tibalah hari ini acara perayaan kelulusan. Tema kostum yang ditentukan adalah retro. Tidak ada yang memakai seragam sekolah kecuali panitia. Acara hari ini sedikit bisa mengurangi kesedihanku.
Suatu ketika, saat aku sedang membantu ibu membungkus keripik ketela, teringat ada suatu hal yang mengganggu pikiran dan ingin segera membicarakannya dengan ibuku.
“Aku tidak usah kuliah, ya, Bu,” kataku pada akhirnya
Ibu memandangku tidak suka, “Tidak boleh, Nak. Kamu harus tetap kuliah seperti wasiat mendiang ayahmu!” kata ibu, walau diucapkan dengan nada tenang, aku tahu ibu sedang marah.
“Tapi uang dari mana, Bu? Tabungan kita sudah semakin menipis. Aku enggak mau kita terlilit hutang karena enggak bisa melunasi pinjaman,”
Ketika ibu ingin bicara lagi, aku segera menyergah, “Aku bantu ibu jualan saja, ya.”
Ibuku terdiam, mungkin meresapi perkataanku yang benar.
Setelah aku sudah lulus dari SMA, kegiatanku sehari-hari adalah membantu dan menemani ibu berjualan di pasar.
Akan tetapi, beberapa hari kemudian tetanggaku datang membawa kabar baik bagi aku dan ibu. Ibu Duma mengatakan bahwa salah satu universitas di pusat kota menyediakan fasilitas beasiswa untuk anak berprestasi. Aku sangat gembira mendengar hal ini. Ini adalah kesempatan bagiku untuk mewujudkan impianku.
Tak menunggu waktu lama, aku pun segera mendaftar di universitas tersebut. Aku tak sendirian mengurus administrasi pendaftaran melainkan bersama anak ibu Duma, Prana. Semenjak itu, aku menjadi dekat dengannya. Prana sering mengantarku ke kampus karena dia juga kuliah di sana. Setelah mengikuti Test Ujian, tiga hari kemudian aku dinyatakan lulus, bersamaan dengan beasiswa yang aku usulkan.
Aku senang bukan main, lega rasanya bisa mewujudkan wasiat mendiang ayahku. Ketika aku dan Prana sedang duduk di taman kampus, aku teringat ingin mengucapkan sesuatu padanya yang dari dulu belum terlaksana saking sibuknya mengurus administrasi ini-itu.
“Prana, terima kasih, ya, kamu sudah banyak membantuku,”
Dia tersenyum, “Santai saja, Sukma. Kita, kan, teman, harus saling membantu.”
Akhirnya, harapanku untuk bisa kuliah sudah terlaksana. Aku memandang langit yang siang ini berwarna biru cerah, seolah langit itu adalah wajah ayahku yang sedang menatapku bangga di atas sana.
Tamat
Bhuana Giri, 13 September 2022
Profil Pengarang
Ni Luh Putu Agustini lahir bertepatan dengan hari Pramuka yaitu, tanggal 14 Agustus. Sudah menekuni dunia tulis menulis sejak SMA. Hobinya yang suka membaca akhirnya mendatangkan beragam inspirasi untuk menulis. Pernah beberapa kali menjadi kontributor lomba menulis daring untuk puisi, cerpen, quotes, dan pantun. Aplikasi Wattpad dan Media Sosial lain adalah medianya untuk memposting tulisannya.
Pengarang bisa disapa melalui,
Instagram: @luhputuagustini14
Facebook: @Luh Putu Agustini
Wattpad: @purinda_sukma
Tidak ada komentar:
Posting Komentar