DISUSUN OLEH :
NI
KADEK MILA AYU PURWANI
NPM : 19.1.155
BAB I
PENDAHULUAN
Latar
Belakang
Sembahyang berasal dari Bahasa Jawa Kuno
terdiri dari kata “Sembah” yang artinya menghormat, takluk, menghamba,
permohonan, sedangkan kata “Hyang” artinya Deva, Devi, suci. Jadi kata
Sembahyang artinya menghormati atau takluk serta memohon kepada Deva, kepada
yang suci, atau kepada Tuhan Yang Maha Esa. Di dalam Agama Hindu sembahyang itu
merupakan wujud nyata kegiatan beragama dengan tujuan untuk menghormati,
menyerahkan diri serta menghamba kepada Tuhan yang suci. Yang suci disini di
maksud adalah kepada leluhur yang telah suci dan kepada para Maha Rsi yang
telah memmiliki kesucian itu sendiri.
Dalam melakukan sembahyang ini umat
menggunakan media berupa sesajen, ucapan-ucapan suci, sikap diri dan sikap
batin. Karena itu dalam sembahyang itu memuji dan memuja kesucian dan
kesempurnaan yang di sembah, kemudian penyerahan diri dan lanjut, menyampaikan
permohonan kepada yang di sembah.
Jadi pada hekekatnya tujuan sembahyang
adalah untuk mendapatkan kebahagiaan lahir dan batin, menyembah tuhan dan deva
devi manifestasinya untuk memperoleh kesucian diri sebagai dasar untuk mendapat
kebahagian jasmani dan rohani, dan tujuan sembahyang juga dapat memberikan
motivasi kejiwaan agar manusia selalu membangun diri untuk mendekatkan dirinya
kepada Tuhan, kepada sesame dan kepada alam lingkungan. Sebelum melakukan
persembahyangan semua bahan harus di sucikan dahulu. Demikian pula dengan
manusia dan tempat lingkungan yang harus benar-benar bersih atau suci. Yang
sebelum melaksanakan sembahyang harus di sucikan atau di perciki dengan
air suci atau Tirtha Penglukatan.
BAB II
PEMBAHASAN
JENIS, ARTI DAN FUNGSI
SARANA PERSEMBAHYANGAN
Untuk melaksanakan sembahyang perlu
sarana. Jadi kalau tanpa sarana orang tidak dapat berbuat apa-apa. Sarana
sembahyang meliputi dua bagian yaitu: Sarana yang berwujud benda (material) dan
sarana yang bukan berwujud benda (non material). Sarana yang berwujud
benda (material) terdiri dari :
- Ø Bunga, daun dan buah
- Ø Api/dupa
- Ø Air
- Ø Masing-masing sarana
tersebut mempunyai fungsi tersendiri.
BUNGA
Ada dua fungsi Bunga yang penting dalam
persembahyangan. Bunga berfungsi sebagai simbol Tuhan (Siwa), dan berfungsi
sebagai sarana persembahan. Sebagai simbol Bunga diletakkan pada puncak cakupan
kedua belah telapak tangan pada saat menyembah. Selesai menyembah Bunga tadi
biasanya ditujukan di atas kepala atau di sumpangkan di kuping. Sedangkan bunga
dalam fungsinya sebagai sarana persembahan maka bunga itu dipakai untuk mengisi
upacara atau sesajen yang akan di persembahkan kepada Tuhan atau pun roh suci
leluhur. Arti bunga dalam Lontar Yajna Prakerti disebutkan sebagai berikut :
Sekare pinaka ketulusan pikayunane suci, yang artinya Bunga itu sebagai lambang
ketulus ikhlasan pikiran yang suci. Dalam Bhagavadgita Bab.IX-sloka 26
menyebutkan unsur-unsur pokok persembahan yang di tujukan kepada Ida Sang Hyang
Widi wasa di samping daun, buah-buahan dan air.
Adapun bunyi slokanya yaitu :
Patram puspam phalam toyam
Yo me bhaktya pryacchati
Tad aham bhakti-upahrtam
Asnami prayatatmanah
Artinya :
Siapapun yang dengan
kesujudan mempersembahkan, padaKu, daun, bunga, buah-buahan dan air,
persembahan yang didasari oleh cinta dan keluar dari lubuk hati yang suci Aku
terima.
Dari penjelasan Sri Krisna sebagai Avatara
Visnu mengenai unsur-unsur pokok dari lambang persembahan itu lalu berkembang
menjadi berbagai bentuk sesajen. Persembahan yang berdasarkan dengan hati yang
tulus ikhlas itulah yang akan diterima oleh Tuhan meskipun bentuknya sederhana.
Sedangkan persembahan yang bentuknya besar dan mewah tapi berdasarkan atas rasa
Ego tidak akan mempunyai arti yang suci dan tidak akan diterima oleh Tuhan Yang
Maha Esa. Dalam menbuat upakara atau sesajen tidak boleh sembarangan asal megah
dan meriah saja, tetapi harus di wujudkan berdasarkan sastranya(ilmu
pengetahuan) yang khusus dikembangkan oleh para Rsi dan ahli Agama serta
seniman Agama. Dari bunga, buah, dan daun ini di Bali dibuatlah suatu bentuk
sarana persembahyangan seperti Canang, Kewangen, Bhasma dan Bija. Sarana ini
memiliki makna dan arti yang dalam dan merupakan perwujudan dari Tattwa Agama
Hindu. Adapun arti dari masing-masing sarana tersebut adalah :
CANANG
Canang adalah sarana terpenting dalam
melakukan persembahyangan. Karena canang merupakan upakara yang akan dipakai
untuk sarana persembahan kepada Tuhan atau Bhatara Bhatari Leluhur.
Kata “canang” berasal dari Bahasa Jawa
Kuno yang pada mulanya berarti sirih untuk disuguhkan kepada Tamu yang amat
dihormati. Pada zaman dahulu tradisi makan sirih adalah tradisi yang amat
dihormati, bahkan di dalam kekawin Nitisara disebutkan “Masepi tikang waktra
tan amucang wang” artinya sepi rasanya mulut kita tiada makan sirih. Pada zaman
dahulu sirih memang benda yang benar-benar bernilai tinggi hingga sampai
sekarang pun dibeberapa daerah termasuk di Bali, sirih itu merupakan daun yang
masih digemari oleh masyarakat terutama orang-orang tua. Dan daun sirih
menjadi unsur penting dalam upacara Agama dan kegiatan Adat lainnya.
Mengapa salah satu bentuk Banten di Bali
disebut Canang? Karena pada intinya setiap canang adalah sirih itu sendiri.
Betapapun indahnya canang kalau ia belum dilengkapi dengan porosan yang bahan
pokoknya dari sirih, belumlah canang itu disebut canang yang bernilai
keagamaan. Adapun perlengkapan daripada canang tersebut antara lain sebagai
alasnya dipakai “ceper” atau daun kelapa yang berbentuk segi empat. Diatasnya
berturut-turut disusun perlengkapan yang lain seperti Pelawa (daun-daunan).
Porosan yang terdiri dari satu atau dua potong sirih, didalamnya diisi kapur
dan pinang, lalu dijepit dengan sepotong janur, diatasnya diisi dengan
tangkih/kojong dari janur yang bentuknya bundar disebut dengan “Urrassari”
dapat pula ditambahkan dengan pandan harum yang diisi dengan wangi-wangian.
Berbagai unsur pokok dari canang yaitu sebagai berikut :
1. Porosan
Porosan yang terdiri dari pinang, kapur
dibungkus dengan sirih. Dalam Lontar Yadnya Prakerti disebutkan pinang, sirih,
dan kapur adalah lambang pemujaan kepada Tuhan Yang Maha Esa dalam
manifestasinya sebagai Sang Hyang Tri Murti. Pinang lambang pemujaan kepada
Dewa Brahma, sirih lambang pemujaan kepada Dewa Visnu, kapur lambang pemujaan
kepada Dewa Siva. Tuhan dipuja dalam tiga manifestasinya oleh umat Hindu karena
ketiga inilah yang amat terkait dengan kehidupan umat manusia sehari-hari. Tiga
hal pokok yang dibutuhkan oleh manusia agar menuju kepada peningkatan hidup
yang semakin layak dan semakin baik adalah :
a.Tercipta dan timbulnya segala sesuatu baik fisik
material maupun mental spiritual. Untuk menunjang tujuan hidup mencapai hidup
yang semakin layak.
b. Segala sesuatu yang telah tercipta itu dapat
terpelihara dengan baik juga untuk menunjang cita-cita hidup yang layak dan
baik.
c. Manusiapun menuju cita-citanya mengharapkan dapat
mengatasi dan kalau mungkin meniadakan sesuatu yang menghambat atau menghalangi
hidupnya.
Ketiga ciri dari proses kehidupan itulah
yang menyebabkan manusia memuja Tuhan Yang Maha Esa dalam tiga fungsinya. Umat
Hindu memuja Dewa Brahma karena berfungsi Tuhan sebagai pencipta, memohon
perlindungan dan karunia-nya untuk menuju cita-cita hidup yang selalu sukses
dan mendapatkan keyakinan diri. Umat Hindu memuja Dewa Visnu karena berfungsi
sebagai Dewa pelindung dan pemelihara agar manusia selalu mendapat tuntunan dan
kekuatan iman untuk dapat memelihara segala sesuatu yang patut dipelihara di
Dunia ini. Tuhan dipuja juga sebagai Dewa Siva yaitu berfungsi supaya dalam
usahanya melenyapkan atau menghilangkan segala sesuatu yang menghambat
cita-cita sucinya untuk mencapai hidup yang bahagia lahir batin.
Inilah arti dan makna porosan untuk
memohon tuntunan dan kekuatan dari Tuhan Yang Maha Esa dalam manifestasinya
sebagai Dewa Tri Murti.
2. Plawa (daun-daunan)
Dalam Lontar Yajna Prakerti bahwa plawa
merupakan lambang tumbuhnya pikiran yang hening dan suci. Pikiran yang tumbuh
menuju kesucian kesucian dan keheningan itulah yang akan dapat menangkal
pengaru-pengaruh buruk dari nafsu duniawi. Maka pikiran yang suci dan heninglah
yang dapat menarik atau menurunkan karunia Tuhan.
3.Bunga Lambang
Keikhlasan
Saat memuja Tuhan tidak boleh ragu-ragu,
harus berdasarkan pada keikhlasan yang benar-benar tulus dari lubuk hati yang
terdalam dan tersuci dan dari pertumbuhan jiwa yang sehat. Keikhlasan ini amat
penting dalam menjaga keseimbangan jiwa, keikhlasan bukan berarti kita harus menyerah
dengan segala keadaan. Kita harus menerima dengan lapang dada segala kenyataan
sebagai hasil usaha kita dalam hidup ini. Manusia harus selalu berusaha
tapi akhirnya Tuhanlah yang menentukan. Manusia yang tidak memiliki rasa
keikhlasan hidupnya akan selalu merasa resah dan tidak pernah tenang apalagi
suci dan hening. Maka pikiran yang keruh tidak akan mampu berhubungan dengan
kekuatan-kekuatan tuhan Yang Maha Esa, bahkan pikiran yang keruh atau tidak
tenang justru dapat memasukkan iblis, setan yang mendorong manusia berbuat
jahat.
4, Jejahitan,
Reringgitan dan Tetuwasan
Jejahitan, ringgitan dan tetuwasan
merupakan lambang ketetapan dan kelanggengan pikiran. Untuk tetap menuju
kebenaran dan kebaikan (dharma) ketetapan dan kelanggengan ini harus dipertahankan.
Karena godaan demi godaan akan datang silih berganti dan menggoyahkan cita-cita
suci, maka dari itu tetaplah menuju jalan suci yaitu jalan menuju kebenaran
Tuhan.
5. Urassari
Urassari dalam canang letaknya diatas
plawa, porosan,tebu kekiping, pisang dan lain-lainnya yang dialasi dengan
ceper. Diatas urassari ini diisi bunga-bungaan. Urassari ada yang berbentuk
garis silang yang menyerupai tapak dara yaitu bentuk sederhana dari Swastika
hiasannya sehingga menjadi bentuk lingkaran cakra. Urassari yang tersusun
dengan jejahitan, reringgitan, dan tetuwasan itu akan kelihatan berbentuk
lingkaran “Padma Astadala”. Padma Astadala adalah lambang stana Ida Sang Hyang
Widi Wasa dengan delapan penjuru anginnya. Dalam ajaran Agama Hindu alam
semesta ini melalui tiga proses yaitu :
Ø Srsti artinya proses
penciptaan dari unsur purusa dan pradhana terus sampai tercipta alam semesta
beserta isinya termasuk manusia.
Ø Swastika yaitu proses
dimana alam mencapai puncak keseimbangan yang bersifat dinamis, inilah yang
dilambangkan oleh sampian urassari. Bentuk tapak dara yang menunjukkan arah
Catur Loka Pala, terus menjadi Swastika dan dengan hiasan yang menyilang
kesudut-sudut yang menjadi bentuk Padma Astadala, adalah lambang
perputaran alam yang seimbang.
Ø Pralaya yaitu alam semesta
ini lebur kembali pada asalnya yaitu Tuhan penciptanya.
Ø Srsti, Swastika dan
Pralaya adalah proses alam yang melalui proses penciptaannya, masa kesimbangan,
swastika masa peleburan, kembali kepralaya kepada sumbernya.
KEWANGEN
Kewangen berasal dari Bahasa Jawa Kuno
dari kata “Wangi” artinya harum. Kata wangi mendapat awalan “ka” dan akhiran
“an” sehingga menjadi Kewangian. Lalu disandikan menjadi Kewangen yang artinya
keharuman. Fungsi kewangen adalah untuk mengharumkan nama Tuhan. Kewangen
melambangkan “Omkara”. Kewangen dibuat dari daun pisang berbentuk kojong
dilengkapi dengan pelawa dan hiasan puncaknya digunakan reringgitan dari janur
yang berbentuk cili dan di sertai bunga. Dalam kojong diisi dua buah uang
kepeng, dua potong daun sirih diisi kapur serta pinang, sedemikian sehingga
bila digulung akan tampak satu lembar bagian perutnya dan yang satu potong lagi
bagian punggungnya. Kewangen ini di pakai sebagai sarana persembahyangan untuk
memuja Ida Sang Hyang Widhi sebagai anugrah, dalam wujud pradhana-purusa
(Ardhanaresvari) hal ini tersirat dalam pengantarnya. Kewangen dilambangkan
unsur aksara wijaksara Omkara Yaitu : Kojong kewangen yang berbentuk lancip
melambangkan “Ardhacandra”, Uang kepeng melambangkan “Windu”, sedangkan sampian
kewangen yang berbentuk cili yang dibuat dari janur, bunga dan daun pelawa
melambangkan “Nada”, porosan silih asih lambang dari purusa pradhana lambang
Ida Sang Hyang Widhi sebagai Ardhanaresvari. Dalam wujud inilah Tuhan
mencurahkan kasihnya kepada umat pemujanya.
Selain digunakan sebagai sarana
persembahyangan,kewangen juga digunakan berbagai upacara Panca Yajna seperti
pendirian tempat pemujaan. Karena kewangen merupakan sarana yang sangat penting
untuk melengkapi Banten Pedagingan sebagai lambang Panca Datu (lambang
unsur-unsur alam). Demikian pula dapat digunakan dalam upacara Pitra Yajna.
Ketika dilangsungkan upacara memandikan mayat kewangen diletakkan di setiap
persendian orang yang meninggal yang jumlahnya sampai 22 buah, kewangen yang berfungsi
sebagai pengurip-urip.
BUNGA dan LAMBANG
Selain bunga digunakan untuk sarana
persembahyangan, bunga juga sebagai lambang persembahan yang tulus ikhlas dan
suci dan melambangkan sifat maha kasih dari Tuhan Yang Maha Esa dan sebagai
hakekat lambang-lambang keagamaan. Berikut ada berbagai makna bunga yaitu :
a.Bunga lambang restu
dari Ida Sang Hyang Widhi
Dalam Kidung Aji Kembang Dewata Nawasanga
disimbulkan dengan bunga Tunjung. Deva Iswara di timur dilambangkan dengan
bunga Tunjung putih :
- Ø Deva Isvara di timur
dilambangkan dengan tunjung warna tunjung putih.
- Ø Deva Mahesora di
tenggara dilambangkan dengan tunjung warna dadu.
- Ø Deva Brahma diselatan
dilambangkan dengan tunjung warna merah.
- Ø Deva Rudra di barat daya
dilambangkan dengan bunga tunjung warna jingga.
- Ø Deva Mahadeva di barat
di lambangkan dengan bunga tunjung warna kuning.
- Ø Deva Sangkara di barat
laut di lambangkan dengan bunga tunjung warna wilis (hijau).
- Ø Deva Visnu di utara
dilambangkan dengan bunga tunjung warna ireng (hitam).
- Ø Deva Sambhu di timur
laut di lambangkan dengan bunga tunjung warna biru.
- Ø Deva Siva di tengah di
lambangkan dengan bunga tunjung warnanya lima warna atau panca warna.
Bunga tunjung atau teratai itu memang
dilukiskan atau di lambangkan sebagai Padma Astadala, simbolis alam semesta
stana Sang Hyang Widhi Wasa. Dalam Bahasa kawi Bunga teratai itu di sebut “
Pangkaja atau sarasija” yang artinya bunga yang tumbuh dari lumpur. Bunga
teratai ini memang agak istimewa ia hidup seolah-olah dalam tiga dunia yang
berbeda yaitu akarnya terpancang di tanah, tangkai daun serta ujung daunnya
hidup di air, dan bunganya sendiri menyembul di udara.
b.Bunga lambang jiwa dan
alam pikiran
Jiwa atau Sang Hyang Atma yang menjadi
sumber hidup atau roh dalam berbagai bentuk upacara agama, sering dilukiskan
dengan bunga. Demikian juga ungkapan perasaan dan pikiran, juga bunga dipakai
perlambangan. Misalnya dalam upacara kematian di Bali, kalua mayat itu diusung
akan di kuburkan di Setra (kuburan) dan perjalanannya dari rumah duka menuju
setra(kuburan) biasanya di taburkan bunga yang di sebut “Sekar ura”. Sekar ura
adalah campurang bunga, uang kepeng, dan beras kuning, selama dalam perjalanan
terutama dalam setiap perempatan atau pertigaan jalan dan pintu masuk setra
(kuburan), selalu ditaburkan sekar ura tersebut. Sekar ura merupakan ungkapan
perasaan untuk berpisah antara orang yang telah meninggal dan orang yang masih
hidup. Dan lambang ketulus ikhlasan untuk melepaskan orang yang telah
meninggal.
c.Bunga yang baik untuk
sarana keagamaan
Bunga merupakan salah satu sarana
persembahan atau sarana keagamaan dipilih bunga yang benar-benar baik,yang
ditinjau dari berbagai segi. Kemungkinan besar cara memilih bunga itu tidak
didasarkan pada hasil pemikiran semata, tapi juga merupakan hasil renungan atau
meditasi. Melalui meditasi yang baik maka akan lahir inspirasi yang bersumber
dari bertemunya getaran jivatman dalam diripara rohaniawan dengan Paramatma.
Menurut Lontar Dasanama dan beberapa
lontar-lontar keagamaan bunga tunjung atau teratai dan bunga ratna itu
dipandang bunga yang paling baik dan paling utama. Pilihlah bunga yang berbau
harum, berwarna indah tidak cepat layu serta mempunyai manfaat yang utama dan
dapat memberikan kepuasan bagi yang melihat dan yang memakainya. Bunga yang
baik itu adalah yang memiliki Sembilan sifat utama yaitu:
Ø Prajna Widagda : bijaksana dan mahir dalam berbagai ilmu
pengetahuan.
Ø Wira Sarwayuddha :
Pemberani dalam pertempuran
Ø Paramartha : mempunyai cita-cita yang mulia.
Ø Dirotsaha : Tekun dan ulet dalam pekerjaan
Ø Pragiwakya : Pandai berbicara.
Ø Samaupaya : Selalu taat pada janji
Ø Laghawangartha : Tidak pamrih.
Ø Wruh ring sarwa bhastra
: Tahu mengatasi kerusuhan.
Ø Wiweka : Dapat membedakan mana yang benar dan mana
yang salah.
Untuk umat agama Hindu sebagian besar
dalam limgkungan rumahnya selalu menanam bunga-bungaan yang diutamakan adalah
untuk sarana persembahyangan. Dari upacara yang terkecil hingga upacara yang
besar.
API DUPA dan DIPA
Dalam persembahyangan api itu diwujudkan
dengan Dupa dan dipa. Dupa merupakan sejenis harum-haruman yang dibakar hingga
berasap dan berbau harum.Api salah satu unsur alam yang dipakai sebagai sarana
persembahyangan dan sarana upacara keagamaan yang berfungsi sebagai pelambang
sifat-sifat Tuhan dalam hubungannya turut mempermulia ciptaannya. Matahari
sebagai sumber dari segala sumber api, panasnya meresap keseluruh pelosok alam
sebagai sumber kehidupan makhluk. Tumbuh-tumbuhan tidak dapat tumbuh dan hidup
tanpa sinar matahari. Sinar Matahari sebagai perantara bumi dan langit. Dupa
yang menyala melambangkan Dewa Agni yang berfungsi :
Ø Sebagai pendeta pemimpin
upacara
Ø Sebagai perantara yang
menghubungkan antara pemuja dengan yang dipuja.
Ø Sebagai pembasmi segala
kotoran dan pengusir roh jahat.
Ø Sebagai saksi upacara.
Bagi yang bersembahyang dupalah yang
berfungsi sebagai saksi persembahyangan, api dupa lambang api saksi, sedangkan
asapnya lambang gerakan rohani menuju angkasa adalah lambang stana Ida Sang
Hyang Widhi Wasa dan dewa dewa manifestasinya. Api dupa/asep adalah angga sarira
Hyang Agni. Dalam persembahyangan/muspa kita menggunakan dupa dengan apinya,
berarti muspa itu kita lakukan di bawah kesaksiannya. Asap adalah suatu zat
yang istimewa, mulanya asap itu berwujud lama-lama bisa luluh, bisa amor
bersatu dengan udara. Asap adalah lambang yang patut di contoh,betapa jiwanya
pribadi kita bisa manunggal dan bersatu dengan Paramatma.
AIR
Air merupakan sarana sembahyang yang
penting ada dua jenis air yang dipakai dalam sembahyang, yaitu air untuk
membersihkan mulut dan tangan serta air suci yang disebut tirtha. Ada dua macam
tirtha yaitu Tirtha yang di dapat dengan memohon kepada Tuhan dan
Bhatara-Bhatari dan tirtha yang dibuat oleh pendeta dengan puja.
Tirtha berfungsi untuk membersihkan diri
dari kotoran maupun kecemaran pikiran. Cara pemakaiannya adalah dipercikan di
kepala, diminum dan diusapkan di muka, simbolis pembersihan bayu sabda idep.
Selain sarana itu biasanya di lengkapi juga dengan wija dan bhasma yang disebut
gandhaksta. Bija adalah biji beras yang direndam dengan air cendana, sedangkan
bhasma adalah serbuk atau abu cendana. Cara pemakaian wija dan bhasma itu
biasanya di satukan di tempel pada dahi di tengah kedua alis dan pada tempat
yang lain. Wija merupakan lambang kehidupan sebagai benih dari Tuhan sedangkan
bhasma adalah lambang peleburan dosa. Jenis dan fungsi dari tirtha dalam
upacara keagamaan Hindu adalah sebagai berikut:
Asal-usul kata “Tirtha”
Kata “Tirtha” sesungguhnya berasal dari
Bahasa Sansekerta Indonesia yang diterbitkan oleh Pemda. Tk. I Bali menyebutkan
arti kata “Tirtha” sebagai berikut : permandian atau sungai , kesucian atau
setitik air, toya atau air suci, sungai yang suci, permandian/sungai/air suci,
tempat perziarahan, mengunjungi tempat-tempat suci, bersuci dengan air, air
suci, permandian, tempat mandi atau tempat yang dapat diseberangi.
Dalam lontar Panitia Agama Tirtha
disebutkan, “tirtha ngaran amrta” artinya tirtha artinya “hidup”. Sedangkan
dalam lontar Agama Tirtha menyebutkan sebagai berikut : “U” ngaran udaka,
ngaran-gangga, ngaran tirtha suci. Udaka dalam Bahasa Sanskerta artinya laut.
Fungsi laut dalam agama hindu adalah sebagai tempat penyucian atau tempat
pelebur segala kekotoran.
Dalam Sarasamuscaya 277 disebutkan istilah
kata “Tirthayatra” dan dalam sloka 278 hanya disebutkan tirtha saja yang
artinya pergi berkeliling dengan niat suci mengunjungi tempat-tempat suci.
Dalam Sarasamuscaya279 disebutkan keutamaan tirthayarta yang amat suci itu
bahkan lebih utama daripada penyucian dengan yajna.
Macam-macam Tirtha
Tirtha untuk melakukan persembahyangan ada
dua jenis, yaitu : Tirtha pembersihan dan Tirtha Wangsuhpada. Tirtha
pembersihan berfungsi untuk menyucikan upakara (bebanten) yang akan dipakai
dalam sarana persembahan dan juga dipakai untuk menyucikan diri dari segala
kekotoran yang dipergunakan sebelum inti persembahyangan dilakukan. Tirtha
wangsuhpada dari Ida Bhatara yang disembah dipergunakan sebagai penutup
persembahyangan. Tirtha ini dilambangkan sebagai karunia atau waranugraha Ida
Bhatara kepada umat yang memuja berupa “Amrta” artinya kehidupan yang
sejahtera. Tirtha dapat dibedakan dari cara memperolehnya yaitu:
Tirtha yang dibuat oleh
Sulinggih
Pembuatan Tirtha oleh Sulinggih/Sang
Diksita/Sang Dwijati khususnya untuk tirtha pembersihan, sebagai dasar untuk
penggunaan jenis tirtha yang lainnya.
Tirtha yang didapatkan melalui jalan
memohon (nuur), oleh Pemangku/ Pinandita/ Dalang Sang Yajamana(Penyelenggara
Upacara). Jenis tirtha ini disebut tirtha “wangsuhpada”. Disamping itu tirtha
juga didapatkan dari tempat-tempat yang dianggap suci dan dilakukan oleh yang
menyelenggarakan upacara (Sang Yajamana) dengan dilengkapi oleh sarana Bebanten
tertentu.
Pembagian tirtha dari segi fungsinya dalam
upacara Pandayadnya secara umum dapat dibedakan sebagai berikut:
Ø Tirtha Pembersihan
(semua Upacara Yajna),
Ø Tirtha Penglukatan
(semua Upacara Yajna),
Ø Tirtha
Wangsuhpada/banyun cokor/kekuluh (semua Upacara Yajna),
Ø Tirtha Pemanah (Pitra
Yajna),
Ø Tirtha Penembak (Pitra
Yajna),
Ø Tirtha Pengentas (Pitra
Yajna),
Arti dan makna tirtha ditinjau dari
segi penggunaannya dapat dibedakan sebagai berikut:
Tirtha berfungsi sebagai
lambang penyucian/pembersihan
Kewajiban untuk mensucikan
upakara/bebantenan yang akan dipersembahkan disebutkan dalam Lontar Kusuma Dewa
Gong wesi sebagai berikut : “Salwir Bebanten yajna matirthakaryan Pedanda Putus
tan katampi aturannya” artinya : Segala sesaji (bebanten) kalua tidak disucikan
dengan tirtha yang dibuat oleh Pendeta utama, tidak akan diterima
persembahannya. Pembuatan tirtha oleh Pemangku/ Pinandita dibuat melalui
“memohon kehadapan Dewa Siva atau nuur “kehadapan Dewa Siva yang dilambangkan
berstana di Pura Besakih (Gunung Agung). Tirtha penglukatan pemujaan ditujukan
kepada Dewi Gangga dan Dewa Siva untuk memohon kelepasan segala kekotoran,
sedangkan tirtha pembersihan ditujukan kepada Tuhan Yang Maha Esa dalam fungsi
Beiau sebagai Pencipta Sungai-sungai, lambang penyucian yang bersifat nyata,
diciptakan untuk di sucikan, mensucikan dan memelihara kesucian tersebut.
Tirtha yang berfungsi
sebagai pengurip/penciptaan
Tirtha yang digunakan untuk mensucikan dan
membersihkan upakara bebantenan atau sesaji juga berfungsi untuk menjiwai
bebanten yang akan di persembahkan sehingga bebantenan itu tidak lagi merupakan
rangkaian, Bunga,Buah, dan Daun-daunan, Jajan dan Benda-benda lainnya.
Setelah diperciki tirtha itulah banten
secara resmi menjadi sarana agama yang bernilai sacral dan berjiwa secara
spiritual sehingga dapat digunakan sebagai media untuk menghubungkan antara
umat dengan yang dipuja. Tirtha Pengurip biasa juga dipergunakan oleh para
Undagi (tukang bangunan) pada waktu meresmikan (melaspas) bangunan yang baru
selesai yang bertujuan supaya bahan rumah yang satu sama lainnya berbeda-beda,
tidak lagi merupakan tumpukan benda-benda mati, tetapi memiliki kekuatan
spiritual agar pemilik/ sipemakai tersebut memperoleh keselamatan dibawah
lindungan Ida Sang Hyang Widhi Wasa.
Tirtha yang berfungsi
sebagai Pemelihara
Dalam pelaksanaan Yajna Tirtha berfungsi
sebagai : Lambang berkah suci atau anugrah dari Ida Sang Hyang Widhi Wasa.
Tirtha disini dijiwai oleh Dewa Wisnu sebagai Stiti dan juga Dewa Indra sebagai
Dewa hujan sumber kemakmuran.
BAB III
KESIMPULAN
Demikinalah arti dan fungsi sarana
persembahyangan yang berupa Bunga,Buah,Daun-daunan, Api, Air yang tergolong
berwujud benda (material). Dalam melakukan persembahyangan Dalam melaksanakan
persembahyangan kita harus tulus iklas tanpa pamrih karena persembahan yang
didasarkan dengan hati yang suci dan tulus ikhlas atau cinta kasih persembahan
itulah yang akan diterima oleh Tuhan meskipun bentuknya sangat sederhana dan
sedikit namun bermakna. Melainkan dengan persembahan yang besar dan mewah
disertai rasa ego maka tidak akan diterima karena tidak mempunyai arti yang
suci. Sebelum persembahan itu di haturkan kepada Tuhan Yang Maha Esa hendaknya
disucikan terlebih dahulu dengan diperciki Tirtha penglukatan supaya sarana
tersebut menjadi benar-benar suci dan sacral.
DAFTAR PUSTAKA
Ny :I.G.A Mas Putra :
Upakara Yajna :1982
Tjok Raka Krisnu, BA :
Tirtha dalam ajaran Agama Hindu di Bali 1972
Drs. Tjok Raja Krisnu :
Arti Fungsi dan Penggunaan Bunga dalam upacara Agama Hindu di Bali 1983
Tidak ada komentar:
Posting Komentar