Jumat, 27 Maret 2020

ARTI dan FUNGSI SARANA PERSEMBAHYANGAN

DISUSUN OLEH :
NI KADEK MILA AYU PURWANI
NPM     :  19.1.155


BAB I
PENDAHULUAN

Latar Belakang
Sembahyang berasal dari Bahasa Jawa Kuno terdiri dari kata “Sembah” yang artinya menghormat, takluk, menghamba, permohonan, sedangkan kata “Hyang” artinya Deva, Devi, suci. Jadi kata Sembahyang artinya menghormati atau takluk serta memohon kepada Deva, kepada yang suci, atau kepada Tuhan Yang Maha Esa. Di dalam Agama Hindu sembahyang itu merupakan wujud nyata kegiatan beragama dengan tujuan untuk menghormati, menyerahkan diri serta menghamba kepada Tuhan yang suci. Yang suci disini di maksud adalah kepada leluhur yang telah suci dan kepada para Maha Rsi yang telah memmiliki kesucian itu sendiri.
Dalam melakukan sembahyang ini umat menggunakan media berupa sesajen, ucapan-ucapan suci, sikap diri dan sikap batin. Karena itu dalam sembahyang itu memuji dan memuja kesucian dan kesempurnaan yang di sembah, kemudian penyerahan diri dan lanjut, menyampaikan permohonan kepada yang di sembah.
Jadi pada hekekatnya tujuan sembahyang adalah untuk mendapatkan kebahagiaan lahir dan batin, menyembah tuhan dan deva devi manifestasinya untuk memperoleh kesucian diri sebagai dasar untuk mendapat kebahagian jasmani dan rohani, dan tujuan sembahyang juga dapat memberikan motivasi kejiwaan agar manusia selalu membangun diri untuk mendekatkan dirinya kepada Tuhan, kepada sesame dan kepada alam lingkungan.  Sebelum melakukan persembahyangan semua bahan harus di sucikan dahulu. Demikian pula dengan manusia dan tempat lingkungan yang harus benar-benar bersih atau suci. Yang sebelum melaksanakan sembahyang harus di sucikan atau di perciki  dengan air suci atau Tirtha Penglukatan.


BAB II
PEMBAHASAN

JENIS, ARTI DAN FUNGSI SARANA PERSEMBAHYANGAN
Untuk melaksanakan sembahyang perlu sarana. Jadi kalau tanpa sarana orang tidak dapat berbuat apa-apa. Sarana sembahyang meliputi dua bagian yaitu: Sarana yang berwujud benda (material) dan sarana yang bukan berwujud benda (non material).  Sarana yang berwujud benda (material) terdiri dari :
  • Ø  Bunga, daun dan buah
  • Ø  Api/dupa
  • Ø  Air
  • Ø  Masing-masing sarana tersebut mempunyai fungsi tersendiri.


BUNGA
Ada dua fungsi Bunga yang penting dalam persembahyangan. Bunga berfungsi sebagai simbol Tuhan (Siwa), dan berfungsi sebagai sarana persembahan. Sebagai simbol Bunga diletakkan pada puncak cakupan kedua belah telapak tangan pada saat menyembah. Selesai menyembah Bunga tadi biasanya ditujukan di atas kepala atau di sumpangkan di kuping. Sedangkan bunga dalam fungsinya sebagai sarana persembahan maka bunga itu dipakai untuk mengisi upacara atau sesajen yang akan di persembahkan kepada Tuhan atau pun roh suci leluhur. Arti bunga dalam Lontar Yajna Prakerti disebutkan sebagai berikut : Sekare pinaka ketulusan pikayunane suci, yang artinya Bunga itu sebagai lambang ketulus ikhlasan pikiran yang suci. Dalam Bhagavadgita Bab.IX-sloka 26 menyebutkan unsur-unsur pokok persembahan yang di tujukan kepada Ida Sang Hyang Widi wasa di samping daun, buah-buahan dan air.
Adapun bunyi slokanya yaitu :
Patram puspam phalam toyam
Yo me bhaktya pryacchati
Tad aham bhakti-upahrtam
Asnami prayatatmanah
Artinya :
Siapapun yang dengan kesujudan mempersembahkan, padaKu, daun, bunga, buah-buahan dan air, persembahan yang didasari oleh cinta dan keluar dari lubuk hati yang suci Aku terima.
Dari penjelasan Sri Krisna sebagai Avatara Visnu mengenai unsur-unsur pokok dari lambang persembahan itu lalu berkembang menjadi berbagai bentuk sesajen. Persembahan yang berdasarkan dengan hati yang tulus ikhlas itulah yang akan diterima oleh Tuhan meskipun bentuknya sederhana. Sedangkan persembahan yang bentuknya besar dan mewah tapi berdasarkan atas rasa Ego tidak akan mempunyai arti yang suci dan tidak akan diterima oleh Tuhan Yang Maha Esa. Dalam menbuat upakara atau sesajen tidak boleh sembarangan asal megah dan meriah saja, tetapi harus di wujudkan berdasarkan sastranya(ilmu pengetahuan) yang khusus dikembangkan oleh para Rsi dan ahli Agama serta seniman Agama. Dari bunga, buah, dan daun ini di Bali dibuatlah suatu bentuk sarana persembahyangan seperti Canang, Kewangen, Bhasma dan Bija. Sarana ini memiliki makna dan arti yang dalam dan merupakan perwujudan dari Tattwa Agama Hindu. Adapun arti dari masing-masing sarana tersebut adalah :

CANANG
Canang adalah sarana terpenting dalam melakukan persembahyangan. Karena canang merupakan upakara yang akan dipakai untuk sarana persembahan kepada Tuhan atau Bhatara Bhatari Leluhur.
Kata “canang” berasal dari Bahasa Jawa Kuno yang pada mulanya berarti sirih untuk disuguhkan kepada Tamu yang amat dihormati. Pada zaman dahulu tradisi makan sirih adalah tradisi yang amat dihormati, bahkan di dalam kekawin Nitisara disebutkan “Masepi tikang waktra tan amucang wang” artinya sepi rasanya mulut kita tiada makan sirih. Pada zaman dahulu sirih memang benda yang benar-benar bernilai tinggi hingga sampai sekarang pun dibeberapa daerah termasuk di Bali, sirih itu merupakan daun yang masih digemari oleh masyarakat  terutama orang-orang tua. Dan daun sirih menjadi unsur penting dalam upacara Agama dan kegiatan Adat lainnya.
Mengapa salah satu bentuk Banten di Bali disebut Canang? Karena pada intinya setiap canang adalah sirih itu sendiri. Betapapun indahnya canang kalau ia belum dilengkapi dengan porosan yang bahan pokoknya dari sirih, belumlah canang itu disebut canang yang bernilai keagamaan. Adapun perlengkapan daripada canang tersebut antara lain sebagai alasnya dipakai “ceper” atau daun kelapa yang berbentuk segi empat. Diatasnya berturut-turut disusun perlengkapan yang lain seperti Pelawa (daun-daunan). Porosan yang terdiri dari satu atau dua potong sirih, didalamnya diisi kapur dan pinang, lalu dijepit dengan sepotong janur, diatasnya diisi dengan tangkih/kojong dari janur yang bentuknya bundar disebut dengan “Urrassari” dapat pula ditambahkan dengan pandan harum yang diisi dengan wangi-wangian. Berbagai unsur pokok dari canang yaitu sebagai berikut :

1. Porosan
Porosan yang terdiri dari pinang, kapur dibungkus dengan sirih. Dalam Lontar Yadnya Prakerti disebutkan pinang, sirih, dan kapur adalah lambang pemujaan kepada Tuhan Yang Maha Esa dalam manifestasinya sebagai Sang Hyang Tri Murti. Pinang lambang pemujaan kepada Dewa Brahma, sirih lambang pemujaan kepada Dewa Visnu, kapur lambang pemujaan kepada Dewa Siva. Tuhan dipuja dalam tiga manifestasinya oleh umat Hindu karena ketiga inilah yang amat terkait dengan kehidupan umat manusia sehari-hari. Tiga hal pokok yang dibutuhkan oleh manusia agar menuju kepada peningkatan hidup yang semakin layak dan semakin baik adalah :
a.Tercipta dan timbulnya segala sesuatu baik fisik material maupun mental spiritual. Untuk menunjang tujuan hidup mencapai hidup yang semakin layak.
b. Segala sesuatu yang telah tercipta itu dapat terpelihara dengan baik juga untuk menunjang cita-cita hidup yang layak dan baik.
c. Manusiapun menuju cita-citanya mengharapkan dapat mengatasi dan kalau mungkin meniadakan sesuatu yang menghambat atau menghalangi hidupnya.
Ketiga ciri dari proses kehidupan itulah yang menyebabkan manusia memuja Tuhan Yang Maha Esa dalam tiga fungsinya. Umat Hindu memuja Dewa Brahma karena berfungsi Tuhan sebagai pencipta, memohon perlindungan dan karunia-nya untuk menuju cita-cita hidup yang selalu sukses dan mendapatkan keyakinan diri. Umat Hindu memuja Dewa Visnu karena berfungsi sebagai Dewa pelindung dan pemelihara agar manusia selalu mendapat tuntunan dan kekuatan iman untuk dapat memelihara segala sesuatu yang patut dipelihara di Dunia ini. Tuhan dipuja juga sebagai Dewa Siva yaitu berfungsi supaya dalam usahanya melenyapkan atau menghilangkan segala sesuatu yang menghambat cita-cita sucinya untuk mencapai hidup yang bahagia lahir batin.
Inilah arti dan makna porosan untuk memohon tuntunan dan kekuatan dari Tuhan Yang Maha Esa dalam manifestasinya sebagai Dewa Tri Murti.

2. Plawa (daun-daunan)
Dalam Lontar Yajna Prakerti bahwa plawa merupakan lambang tumbuhnya pikiran yang hening dan suci. Pikiran yang tumbuh menuju kesucian kesucian dan keheningan itulah yang akan dapat menangkal pengaru-pengaruh buruk dari nafsu duniawi. Maka pikiran yang suci dan heninglah yang dapat menarik atau menurunkan karunia Tuhan.

3.Bunga Lambang Keikhlasan
Saat memuja Tuhan tidak boleh ragu-ragu, harus berdasarkan pada keikhlasan yang benar-benar tulus dari lubuk hati yang terdalam dan tersuci dan dari pertumbuhan jiwa yang sehat. Keikhlasan ini amat penting dalam menjaga keseimbangan jiwa, keikhlasan bukan berarti kita harus menyerah dengan segala keadaan. Kita harus menerima dengan lapang dada segala kenyataan sebagai hasil usaha kita dalam hidup ini.  Manusia harus selalu berusaha tapi akhirnya Tuhanlah yang menentukan. Manusia yang tidak memiliki rasa keikhlasan hidupnya akan selalu merasa resah dan tidak pernah tenang apalagi suci dan hening. Maka pikiran yang keruh tidak akan mampu berhubungan dengan kekuatan-kekuatan tuhan Yang Maha Esa, bahkan pikiran yang keruh atau tidak tenang justru dapat memasukkan iblis, setan yang mendorong manusia berbuat jahat.

4, Jejahitan, Reringgitan dan Tetuwasan
Jejahitan, ringgitan dan tetuwasan merupakan lambang ketetapan dan kelanggengan pikiran. Untuk tetap menuju kebenaran dan kebaikan (dharma) ketetapan dan kelanggengan ini harus dipertahankan. Karena godaan demi godaan akan datang silih berganti dan menggoyahkan cita-cita suci, maka dari itu tetaplah menuju jalan suci yaitu jalan menuju kebenaran Tuhan.

5. Urassari
Urassari dalam canang letaknya diatas plawa, porosan,tebu kekiping, pisang dan lain-lainnya yang dialasi dengan ceper. Diatas urassari ini diisi bunga-bungaan. Urassari ada yang berbentuk garis silang yang menyerupai tapak dara yaitu bentuk sederhana dari Swastika hiasannya sehingga menjadi bentuk lingkaran cakra. Urassari yang tersusun dengan jejahitan, reringgitan, dan tetuwasan itu akan kelihatan berbentuk lingkaran “Padma Astadala”. Padma Astadala adalah lambang stana Ida Sang Hyang Widi Wasa dengan delapan penjuru anginnya. Dalam ajaran Agama Hindu alam semesta ini melalui tiga proses yaitu :
Ø  Srsti artinya proses penciptaan dari unsur purusa dan pradhana terus sampai tercipta alam semesta beserta isinya termasuk manusia.
Ø  Swastika yaitu proses dimana alam mencapai puncak keseimbangan yang bersifat dinamis, inilah yang dilambangkan oleh sampian urassari. Bentuk tapak dara yang menunjukkan arah Catur Loka Pala, terus menjadi Swastika dan dengan hiasan yang menyilang kesudut-sudut  yang menjadi bentuk Padma Astadala, adalah lambang perputaran alam yang seimbang.
Ø  Pralaya yaitu alam semesta ini lebur kembali pada asalnya yaitu Tuhan penciptanya.
Ø  Srsti, Swastika dan Pralaya adalah proses alam yang melalui proses penciptaannya, masa kesimbangan, swastika masa peleburan, kembali kepralaya kepada sumbernya.

KEWANGEN
Kewangen berasal dari Bahasa Jawa Kuno dari kata “Wangi” artinya harum. Kata wangi mendapat awalan “ka” dan akhiran “an” sehingga menjadi Kewangian. Lalu disandikan menjadi Kewangen yang artinya keharuman. Fungsi kewangen adalah untuk mengharumkan nama Tuhan. Kewangen melambangkan “Omkara”. Kewangen dibuat dari daun pisang berbentuk kojong dilengkapi dengan pelawa dan hiasan puncaknya digunakan reringgitan dari janur yang berbentuk cili dan di sertai bunga. Dalam kojong diisi dua buah uang kepeng, dua potong daun sirih diisi kapur serta pinang, sedemikian sehingga bila digulung akan tampak satu lembar bagian perutnya dan yang satu potong lagi bagian punggungnya. Kewangen ini di pakai sebagai sarana persembahyangan untuk memuja Ida Sang Hyang Widhi sebagai anugrah, dalam wujud pradhana-purusa (Ardhanaresvari) hal ini tersirat dalam pengantarnya. Kewangen dilambangkan unsur aksara wijaksara Omkara Yaitu : Kojong kewangen yang berbentuk lancip melambangkan “Ardhacandra”, Uang kepeng melambangkan “Windu”, sedangkan sampian kewangen yang berbentuk cili yang dibuat dari janur, bunga dan daun pelawa melambangkan “Nada”, porosan silih asih lambang dari purusa pradhana lambang Ida Sang Hyang Widhi sebagai Ardhanaresvari. Dalam wujud inilah Tuhan mencurahkan kasihnya kepada umat pemujanya.
Selain digunakan sebagai sarana persembahyangan,kewangen juga digunakan berbagai upacara Panca Yajna seperti pendirian tempat pemujaan. Karena kewangen merupakan sarana yang sangat penting untuk melengkapi Banten Pedagingan sebagai lambang Panca Datu (lambang unsur-unsur alam). Demikian pula dapat digunakan dalam upacara Pitra Yajna. Ketika dilangsungkan upacara memandikan mayat kewangen diletakkan di setiap persendian orang yang meninggal yang jumlahnya sampai 22 buah, kewangen yang berfungsi sebagai pengurip-urip.


BUNGA dan LAMBANG
Selain bunga digunakan untuk sarana persembahyangan, bunga juga sebagai lambang persembahan yang tulus ikhlas dan suci dan melambangkan sifat maha kasih dari Tuhan Yang Maha Esa dan sebagai hakekat lambang-lambang keagamaan. Berikut ada berbagai makna bunga yaitu :

a.Bunga lambang restu dari Ida Sang Hyang Widhi
Dalam Kidung Aji Kembang Dewata Nawasanga disimbulkan dengan bunga Tunjung. Deva Iswara di timur dilambangkan dengan bunga Tunjung putih :
  • Ø  Deva Isvara di timur dilambangkan dengan tunjung warna tunjung putih.
  • Ø  Deva Mahesora di tenggara dilambangkan dengan tunjung warna dadu.
  • Ø  Deva Brahma diselatan dilambangkan dengan tunjung warna merah.
  • Ø  Deva Rudra di barat daya dilambangkan dengan bunga tunjung warna jingga.
  • Ø  Deva Mahadeva di barat di lambangkan dengan bunga tunjung warna kuning.
  • Ø  Deva Sangkara di barat laut di lambangkan dengan bunga tunjung warna wilis (hijau).
  • Ø  Deva Visnu di utara dilambangkan dengan bunga tunjung warna ireng (hitam).
  • Ø  Deva Sambhu di timur laut di lambangkan dengan bunga tunjung warna biru.
  • Ø  Deva Siva di tengah di lambangkan dengan bunga tunjung warnanya lima warna atau panca warna.

Bunga tunjung atau teratai itu memang dilukiskan atau di lambangkan sebagai Padma Astadala, simbolis alam semesta stana Sang Hyang Widhi Wasa. Dalam Bahasa kawi Bunga teratai itu di sebut “ Pangkaja atau sarasija” yang artinya bunga yang tumbuh dari lumpur. Bunga teratai ini memang agak istimewa ia hidup seolah-olah dalam tiga dunia yang berbeda yaitu akarnya terpancang di tanah, tangkai daun serta ujung daunnya hidup di air, dan bunganya sendiri menyembul di udara.

b.Bunga lambang jiwa dan alam pikiran
Jiwa atau Sang Hyang Atma yang menjadi sumber hidup atau roh dalam berbagai bentuk upacara agama, sering dilukiskan dengan bunga. Demikian juga ungkapan perasaan dan pikiran, juga bunga dipakai perlambangan. Misalnya dalam upacara kematian di Bali, kalua mayat itu diusung akan di kuburkan di Setra (kuburan) dan perjalanannya dari rumah duka menuju setra(kuburan) biasanya di taburkan bunga yang di sebut “Sekar ura”. Sekar ura adalah campurang bunga, uang kepeng, dan beras kuning, selama dalam perjalanan terutama dalam setiap perempatan atau pertigaan jalan dan pintu masuk setra (kuburan), selalu ditaburkan sekar ura tersebut. Sekar ura merupakan ungkapan perasaan untuk berpisah antara orang yang telah meninggal dan orang yang masih hidup. Dan lambang ketulus ikhlasan untuk melepaskan orang yang telah meninggal.

c.Bunga yang baik untuk sarana keagamaan
Bunga merupakan salah satu sarana persembahan atau sarana keagamaan dipilih bunga yang benar-benar baik,yang ditinjau dari berbagai segi. Kemungkinan besar cara memilih bunga itu tidak didasarkan pada hasil pemikiran semata, tapi juga merupakan hasil renungan atau meditasi. Melalui meditasi yang baik maka akan lahir inspirasi yang bersumber dari bertemunya getaran jivatman dalam diripara rohaniawan dengan Paramatma.
Menurut Lontar Dasanama dan beberapa lontar-lontar keagamaan bunga tunjung atau teratai dan bunga ratna itu dipandang bunga yang paling baik dan paling utama. Pilihlah bunga yang berbau harum, berwarna indah tidak cepat layu serta mempunyai manfaat yang utama dan dapat memberikan kepuasan bagi yang melihat dan yang memakainya. Bunga yang baik itu adalah yang memiliki Sembilan sifat utama yaitu:
Ø  Prajna Widagda  : bijaksana dan mahir dalam berbagai ilmu pengetahuan.
Ø  Wira Sarwayuddha  : Pemberani dalam pertempuran
Ø  Paramartha    : mempunyai cita-cita yang mulia.
Ø  Dirotsaha    : Tekun dan ulet dalam pekerjaan
Ø  Pragiwakya    : Pandai berbicara.
Ø  Samaupaya    : Selalu taat pada janji
Ø  Laghawangartha   : Tidak pamrih.
Ø  Wruh ring sarwa bhastra : Tahu mengatasi kerusuhan.
Ø  Wiweka    : Dapat membedakan mana yang benar dan mana yang salah.
Untuk umat agama Hindu sebagian besar dalam limgkungan rumahnya selalu menanam bunga-bungaan yang diutamakan adalah untuk sarana persembahyangan. Dari upacara yang terkecil hingga upacara yang besar.

API DUPA dan DIPA
Dalam persembahyangan api itu diwujudkan dengan Dupa dan dipa. Dupa merupakan sejenis harum-haruman yang dibakar hingga berasap dan berbau harum.Api salah satu unsur alam yang dipakai sebagai sarana persembahyangan dan sarana upacara keagamaan yang berfungsi sebagai pelambang sifat-sifat Tuhan dalam hubungannya turut mempermulia ciptaannya. Matahari sebagai sumber dari segala sumber api, panasnya meresap keseluruh pelosok alam sebagai sumber kehidupan makhluk. Tumbuh-tumbuhan tidak dapat tumbuh dan hidup tanpa sinar matahari. Sinar Matahari sebagai perantara bumi dan langit. Dupa yang menyala melambangkan Dewa Agni yang berfungsi :
Ø  Sebagai pendeta pemimpin upacara
Ø  Sebagai perantara yang menghubungkan antara pemuja dengan yang dipuja.
Ø  Sebagai pembasmi segala kotoran dan pengusir roh jahat.
Ø  Sebagai saksi upacara.
Bagi yang bersembahyang dupalah yang berfungsi sebagai saksi persembahyangan, api dupa lambang api saksi, sedangkan asapnya lambang gerakan rohani menuju angkasa adalah lambang stana Ida Sang Hyang Widhi Wasa dan dewa dewa manifestasinya. Api dupa/asep adalah angga sarira Hyang Agni. Dalam persembahyangan/muspa kita menggunakan dupa dengan apinya, berarti muspa itu kita lakukan di bawah kesaksiannya. Asap adalah suatu zat yang istimewa, mulanya asap itu berwujud lama-lama bisa luluh, bisa amor bersatu dengan udara. Asap adalah lambang yang patut di contoh,betapa jiwanya pribadi kita bisa manunggal dan bersatu dengan Paramatma.

AIR
Air merupakan sarana sembahyang yang penting ada dua jenis air yang dipakai dalam sembahyang, yaitu air untuk membersihkan mulut dan tangan serta air suci yang disebut tirtha. Ada dua macam tirtha yaitu Tirtha yang di dapat dengan memohon kepada Tuhan dan Bhatara-Bhatari dan tirtha yang dibuat oleh pendeta dengan puja.
Tirtha berfungsi untuk membersihkan diri dari kotoran maupun kecemaran pikiran. Cara pemakaiannya adalah dipercikan di kepala, diminum dan diusapkan di muka, simbolis pembersihan bayu sabda idep. Selain sarana itu biasanya di lengkapi juga dengan wija dan bhasma yang disebut gandhaksta. Bija adalah biji beras yang direndam dengan air cendana, sedangkan bhasma adalah serbuk atau abu cendana. Cara pemakaian wija dan bhasma itu biasanya di satukan di tempel pada dahi di tengah kedua alis dan pada tempat yang lain. Wija merupakan lambang kehidupan sebagai benih dari Tuhan sedangkan bhasma adalah lambang peleburan dosa. Jenis dan fungsi dari tirtha dalam upacara keagamaan Hindu adalah sebagai berikut:

Asal-usul kata “Tirtha”
Kata “Tirtha” sesungguhnya berasal dari Bahasa Sansekerta Indonesia yang diterbitkan oleh Pemda. Tk. I Bali menyebutkan arti kata “Tirtha” sebagai berikut : permandian atau sungai , kesucian atau setitik air, toya atau air suci, sungai yang suci, permandian/sungai/air suci, tempat perziarahan, mengunjungi tempat-tempat suci, bersuci dengan air, air suci, permandian, tempat mandi atau tempat yang dapat diseberangi.
Dalam lontar Panitia Agama Tirtha disebutkan, “tirtha ngaran amrta” artinya tirtha artinya “hidup”. Sedangkan dalam lontar Agama Tirtha menyebutkan sebagai berikut : “U” ngaran udaka, ngaran-gangga, ngaran tirtha suci. Udaka dalam Bahasa Sanskerta artinya laut. Fungsi laut dalam agama hindu adalah sebagai tempat penyucian atau tempat pelebur segala kekotoran.
Dalam Sarasamuscaya 277 disebutkan istilah kata “Tirthayatra” dan dalam sloka 278 hanya disebutkan tirtha saja yang artinya pergi berkeliling dengan niat suci mengunjungi tempat-tempat suci. Dalam Sarasamuscaya279 disebutkan keutamaan tirthayarta yang amat suci itu bahkan lebih utama daripada penyucian dengan yajna.

Macam-macam Tirtha
Tirtha untuk melakukan persembahyangan ada dua jenis, yaitu : Tirtha pembersihan dan Tirtha Wangsuhpada. Tirtha pembersihan berfungsi untuk menyucikan upakara (bebanten) yang akan dipakai dalam sarana persembahan dan juga dipakai untuk menyucikan diri dari segala kekotoran yang dipergunakan sebelum inti persembahyangan dilakukan. Tirtha wangsuhpada dari Ida Bhatara yang disembah dipergunakan sebagai penutup persembahyangan. Tirtha ini dilambangkan sebagai karunia atau waranugraha Ida Bhatara kepada umat yang memuja berupa “Amrta” artinya kehidupan yang sejahtera. Tirtha dapat dibedakan dari cara memperolehnya yaitu:

Tirtha yang dibuat oleh Sulinggih
Pembuatan Tirtha oleh Sulinggih/Sang Diksita/Sang Dwijati khususnya untuk tirtha pembersihan, sebagai dasar untuk penggunaan jenis tirtha yang lainnya.
Tirtha yang didapatkan melalui jalan memohon (nuur), oleh Pemangku/ Pinandita/ Dalang Sang Yajamana(Penyelenggara Upacara). Jenis tirtha ini disebut tirtha “wangsuhpada”. Disamping itu tirtha juga didapatkan dari tempat-tempat yang dianggap suci dan dilakukan oleh yang menyelenggarakan upacara (Sang Yajamana) dengan dilengkapi oleh sarana Bebanten tertentu.
Pembagian tirtha dari segi fungsinya dalam upacara Pandayadnya secara umum dapat dibedakan sebagai berikut:
Ø  Tirtha Pembersihan (semua Upacara Yajna),
Ø  Tirtha Penglukatan (semua Upacara Yajna),
Ø  Tirtha Wangsuhpada/banyun cokor/kekuluh (semua Upacara Yajna),
Ø  Tirtha Pemanah (Pitra Yajna),
Ø  Tirtha Penembak (Pitra Yajna),
Ø  Tirtha Pengentas (Pitra Yajna),
Arti dan makna tirtha  ditinjau dari segi penggunaannya dapat dibedakan sebagai berikut:

Tirtha berfungsi sebagai lambang penyucian/pembersihan
Kewajiban untuk mensucikan upakara/bebantenan yang akan dipersembahkan disebutkan dalam Lontar Kusuma Dewa Gong wesi sebagai berikut : “Salwir Bebanten yajna matirthakaryan Pedanda Putus tan katampi aturannya” artinya : Segala sesaji (bebanten) kalua tidak disucikan dengan tirtha yang dibuat oleh Pendeta utama, tidak akan diterima persembahannya. Pembuatan tirtha oleh Pemangku/ Pinandita dibuat melalui “memohon kehadapan Dewa Siva atau nuur “kehadapan Dewa Siva yang dilambangkan berstana di Pura Besakih (Gunung Agung). Tirtha penglukatan pemujaan ditujukan kepada Dewi Gangga dan Dewa Siva untuk memohon kelepasan segala kekotoran, sedangkan tirtha pembersihan ditujukan kepada Tuhan Yang Maha Esa dalam fungsi Beiau sebagai Pencipta Sungai-sungai, lambang penyucian yang bersifat nyata, diciptakan untuk di sucikan, mensucikan dan memelihara kesucian tersebut.

Tirtha yang berfungsi sebagai pengurip/penciptaan
Tirtha yang digunakan untuk mensucikan dan membersihkan upakara bebantenan atau sesaji juga berfungsi untuk menjiwai bebanten yang akan di persembahkan sehingga bebantenan itu tidak lagi merupakan rangkaian, Bunga,Buah, dan Daun-daunan, Jajan dan Benda-benda lainnya.
Setelah diperciki tirtha itulah banten secara resmi menjadi sarana agama yang bernilai sacral dan berjiwa secara spiritual sehingga dapat digunakan sebagai media untuk menghubungkan antara umat dengan yang dipuja. Tirtha Pengurip biasa juga dipergunakan oleh para Undagi (tukang bangunan) pada waktu meresmikan (melaspas) bangunan yang baru selesai yang bertujuan supaya bahan rumah yang satu sama lainnya berbeda-beda, tidak lagi merupakan tumpukan benda-benda mati, tetapi memiliki kekuatan spiritual agar pemilik/ sipemakai tersebut memperoleh keselamatan dibawah lindungan Ida Sang Hyang Widhi Wasa.

Tirtha yang berfungsi sebagai Pemelihara
Dalam pelaksanaan Yajna Tirtha berfungsi sebagai : Lambang berkah suci atau anugrah dari Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Tirtha disini dijiwai oleh Dewa Wisnu sebagai Stiti dan juga Dewa Indra sebagai Dewa hujan sumber kemakmuran.


BAB III
KESIMPULAN

Demikinalah arti dan fungsi sarana persembahyangan yang berupa Bunga,Buah,Daun-daunan, Api, Air yang tergolong berwujud benda (material). Dalam melakukan persembahyangan Dalam melaksanakan persembahyangan kita harus tulus iklas tanpa pamrih karena persembahan yang didasarkan dengan hati yang suci dan tulus ikhlas atau cinta kasih persembahan itulah yang akan diterima oleh Tuhan meskipun bentuknya sangat sederhana dan sedikit namun bermakna. Melainkan dengan persembahan yang besar dan mewah disertai rasa ego maka tidak akan diterima karena tidak mempunyai arti yang suci. Sebelum persembahan itu di haturkan kepada Tuhan Yang Maha Esa hendaknya disucikan terlebih dahulu dengan diperciki Tirtha penglukatan supaya sarana tersebut menjadi benar-benar suci dan sacral.



DAFTAR PUSTAKA

Ny :I.G.A Mas Putra : Upakara Yajna :1982
Tjok Raka Krisnu, BA : Tirtha dalam ajaran Agama Hindu di Bali 1972
Drs. Tjok Raja Krisnu : Arti Fungsi dan Penggunaan Bunga dalam upacara Agama Hindu di Bali 1983










Tidak ada komentar:

Posting Komentar