Jumat, 27 Maret 2020

SUBAK SEBAGAI SISTEM ORGANISASI DAN SISTEM SOSIAL KEMASYARAKATAN DI BALI


Oleh                           : Ni Kadek Prima Yani
Prodi/Semester            : Agama Hindu/2
Npm                            : 19.1.105

SUBAK SEBAGAI SISTEM ORGANISASI DAN SISTEM SOSIAL
KEMASYARAKATAN DI BALI


PENDAHULUAN
Pulau Bali atau yang juga disebut sebagai pulau seribu pura merupakan salah satu provinsi yang ada di Indonesia. Bali dikenal sebagai daerah tujuan wisata yang sangat populer, tidak saja di Indonesia tetapi juga mancanegara. Citra dan identitas Bali sebagai daerah tujuan wisata yang indah, agung, eksotis, lestari, dengan perilaku masyarakatnya yang ramah dan bersahaja, ditopang oleh adat istiadat dan budayanya yang mendasarkan pada prinsip keharmonisan dan keseimbangan dengan bertumpu pada nilai-nilai Agama Hindu dan falsafah hidup Tri Hita Karana. Kedua ajaran ini saling berkaitan di mana agama Hindu menjiwai falsafah Tri Hita Karana, dan sebaliknya falsafah Tri Hita Karana mendasarkan pada ajaran agama Hindu.
Terdapat banyak sekali kearifan lokal di Bali yang menarik untuk dikaji, salah satu yang menarik untuk dikaji dari kearifan lokal Bali adalah Subak. Sistem  irigasi subak di Bali telah diakui dunia. Windia (2013: 138) UNESCO menetapkan subak sebagai Warisan Budaya Dunia (WBD) dalam suatu sidang di Pittsburg Rusia pada tanggal 29 Juni 2012. Label resmi yang diberikan   UNESCO untuk subak sebagai warisan budaya dunia adalah Cultural Landscape of Bali Province: Subak as Manifestation of Tri Hita Karana Philosophy.
Pengakuan  UNESCO  itu  mencerminkan  beberapa  hal, yaitu  pengakuan  terhadapeksistensi lembaga subak sistem subak yang menerapkan konsep Tri Hita Karana (THK), dan lanskap yang hadir di Bali dalam bentuk persawahan subak   adalah lanskap yang berisikan muatan aktivitas budaya. Sejak berabad-abad lalu, secara faktual kita telah menerima berbagai teknologi dari belahan dunia lain. Tetapi, kini dunia mengakui  bahwa  kita  telah  memberi  kepada  belahan  dunia lain dalam bentuk kebudayaan. Masalahnya adalah bagaimana kita  harus  dapat  menjaga kepercayaan dunia ini, agar subak dapat  abadi  dan  berlanjut  sepanjang  masa. Karena subak tidak saja menghadirkan kawasan sawah yang menghasilkan bahan makanan untuk umat manusia, tetapi kini subak juga diakui sebagai lembaga menghadirkan nilai-nilai kebudayaan.

PENJELASAN

Difinisi Subak
Subak adalah organisasi kemasyarakatan yang khusus mengatur sistem pengairan sawah yang digunakan dalam cocok tanam padi di Bali. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, subak berarti sistem pengairan teratur yang diselenggarakan oleh rakyat di Bali. Subak merupakan lembaga yang bersifat sosioagraris-religius di mana dalam sistem subak ini ini diatur oleh seorang pemuka adat, yang biasa disebut pekaseh dan berhak mengurus kepengurusan, membuat awig-awig, mengatur keuangan serta memberikan sanksi terhadap anggota subak yang melanggar peraturan.Subak ini biasanya memiliki pura yang dinamakan Pura Uluncarik, atau Pura Bedugul, yang khusus dibangun oleh para petani dan diperuntukkan bagi dewi kemakmuran dan kesuburan dewi Sri.
Dalam pengelolaan irigasi subak, masyarakat Bali mengusung konsep Tri Hita Karana (THK) yang memiliki hubungan timbalBalik antara Parahyangan yakni Hubungan yang harmonis antara anggota atau karma subak dengan Tuhan Yang Maha Esa, Pawongan yaitu hubungan yang harmonis antara anggota subaknya dimana yang disebut dengan Krama Subak, Palemahan yang merupakan hubungan yang harmonis antara anggota subak dengan lingkungan atau wilayah irigasi subaknya. Sistem irigasi subak diatur dalam peraturan daerah Pemda provinsi Bali No.02/PD/DPRD/l972 tentang irigasi di daerah provinsi Bali.

Sejarah Subak
Kapan timbulnya sistem subak di Bali untuk pertama kalinya, tidak diketahui dengan pasti. Sejarah subak dapat dilihat secara tidak langsung dari prasasti-prasasti yang menggambarkan abad kesembilan. Jadi sudah sekitar seribu tahun yang lampau.Prasasti sukawana yang dibuat pada tahun 882 masehi menunjukan bahwa sistem pertanian sawah dan tegalan yang teratur telah ada di Bali pada tahun 882 masehi. Hal ini terbukti bahwa dalam prasasti itu telah di sebut kata-kata “Huma” yang berarti sawah dan kata “Parlak” yang berarti tegalan. Kenyataan ini diperkuat lagi oleh adanya prasasti bebetin yang dibuat pada tahun tahun 896 masehi. Prasasti ini diantaranya menyebut kata-kata “Undagi Lancang”(tukang membuat perahu), “Undagi Batu”(tukang mencari batu) dan “Undagi Pangarung “ (tukang membuat terowongan air). Pada masa itu sudah ada ukuran pembagian air untuk persawahan yang disebuat “Kilan” (sekarang di sebut tektekan yeh). Yakni ukuran air untuk persawahan. Kemudian pada prasasti trunyan yang diciptakan pada tahun 891 masehi, terdapat kata “Serdanu” yang berarti kepala urusan air dan, dalam hal ini danau batur yang terdapat di daerah tarunyan (Bangli). Diduga kata “Ser” inilah yang berubah menjadi “Pekaseh” (pemimpin subak) yang berarti orang yang bertugas megatur pemanfaatan dan pembagian air irigasi untuk persawahan dalam suatu wilayah subak.
Dengan telah dikenalnya pembuatan trowongan air pada tahun 896 masehi, pertanian sawah dan tegalan pada tahun 882 masehi, serta telah pula dikenal suatu ukuran pembagian air untuk sawah-sawah pada masa itu di Bali. Secara faktual, pada tahun 1071 masehi, di Bali telah dikenal adanya subak. Hal ini tidaklah berarti subak muncul pertama kali pada tahun tersebut. Tidak tertutup kemungkinan subak sudah ada jauh sebelumnya, mengingat tahun 882 masehi sudah ada pembuatan trowongan air untuk kepentingan pertanian. Didalam prasasti pandak bandung yang berangka tahun 1071 masehi di jumpai untuk pertama kalinya kata “Asuwakan” yang sekarang menjadi kata “Kasubakan Atau Subak”. Juga dalam prasasti klungkung tahun 1072 masehi terdapat kata “Kasuwakan Rawas” yang artinya “Kasubakan Atau Subak Rawas”. Kata subak adalah suatu perubahan fonim dari kata “Suwak” mengikuti aturan perubahan fonim p-b-m-w, sehingga menjadi subak yang artinya suatu pengatur air persawahan yang baik. Suatu keterangan legendaris mengenai terbentuknya subak di Bali, ada disebutkan dalam lontar markandya purana. Didalam lontar itu disebut bahwa rsi markandya dari gunung raung (Jawa Timur) di iringi oleh 800 orang merabas hutan di pedalaman pulau Bali, lantas membuat sawah dan desa yang disebuat “Desa Sarwada”. Desa inilah yang sekarang bernama desa Taro di kecamatan Tegalalang (Gianyar). Sawah-sawah yang dibuat disebuat “Puwakan” yang letaknya tidak jauh dari desa Taro. Didalam lontar itu disebutkan pula bahwa rsi markandya membangun desa adat dan subak. Tapi keterangan legendaris ini nampaknya lebih dari fakta sejarah yang lainnya. Sebab Rsi Markandya dikatakan adik dari rsi trinawindhu yang hidup pada zaman kerajaan kediri di jawa timur abad 12-13. Ini berarti Rsi Markandya datang ke Bali sekitar abad 12-13, dimana di Bali saat itu telah ada subak.
Bali banyak dipengaruhi budaya luar, diantaranya : Sriwijaya (Sumatra) pada permulaan abad ke 10, lemah tulis (Jawa Timur) sekitar tahun 1172 masehi, pengaruh budaya Singasari (Jawa Timur) sejak tahun 1343 masehi dan juga pengaruh budaya Kediri (Jawa Timur) yang dibawa oleh Dang Hyang Nirartha sekitar tahun 1489 masehi. Berbagai budaya tersebut menyebabkan perubahan sosial di Bali, lebih-lebih lagi setelah Bali berada dibawah naungan majapahit. Kitab nagara kerthagama menyebutkan, bahwa Bali sepenuhnya menerapkan tata cara yang berlaku di majapahit (sekitar tahun 1343) masehi), sistem pengolahan pertanian di Bali mengalami suatu perkembangan. Sejak masa tersebut di Bali di angkat seorang “Asedahan” yang bertugas mengorganisasikan beberapa subak. Asedahan yang sekarang disebut “Sedahan”, memperoleh kepercayaan untuk mengurus pungutan pajak (Upeti Atau Tigasana) pertanian. Pada masa pemerintahan belanda di Bali, dibentuk “Sedahan Agung” pada setiap “Landschap” (sekarang disebuat kabupaten). Sedahan agung bertugas untuk mengorganisasikan seluruh sedahan yang berada di wilayah kabupaten yang bersangkutan dalam konteks pembinaan subak dan pungutan pajak pertanian. Pada masa itu ada 2 macam sedahan yaitu : sedahan sawah (dibeberapa daerah disebuat “Panglurah”) dan sedahart. Tegal yang juga di sebut “Sedahan D”. Selanjutnya dalam rangka menetapkan besar kecilnya pajak pertanian (yang dikenal dengan istilah “Tigasana Atau Sawinih”), pemerintah belanda menempuh langkah –langkah kebijaksanaan :
1.      Mengadakan pengklarifikasikan sawah-sawah menurut tingkat keseburannya.
2.      Mengadakan pengukuran luas tanah secara pasti (klassier), yang untuk pertama kalinya dilakukan pada tahun 1925 di Bali selatan.
Berdasarkan hasil kedua kebijaksanaan itu pemerintah belanda dapat menetapkan secara lebih tepat besar kecilnya pajak yang harus di bayar oleh pemilik tanah (pertanian). Selain itu, untuk menjamin kontinuitas persediaan air irigasi bagi pertanian sawah, pemerintah belanda pada masa penjajahannya juga telah membuat empangan-empangan air primer (Dam) secara permanen dan dam-dam sekunder serta tersier yang menggantikan temuku dan empangan-empanganair yang sering rusak. Sejak masa kemerdekaan republik indonesia hingga sekarang, pertanian sawah sistem subak di Bali tampak dengan nyata baik secara kuantitatif maupun kualitatif. Pada tahun 1971 jumlah subak di Bali sebanyak 1.193 subak, hingga tahun 1978 menjadi sebanyak 1.283 subak, dan sampai tahun 1984 jumlah tersebut tetap tidak mengalami perubahan. Perkembangan secara kualitatif terlihat dalam tubuh subak itu sendiri, diantaranya struktur organisasinya semakin rapi, peraturan-peraturannya senantiasa menyesuaikan situasi dan kondisi menuju kearah peningkatan produksi pertanian, sehingga menjadi wahana yang baik bagi pemerintah menuju swasembada pangan.

Struktur Organisasi  Dalam  Sistem Subak Di Bali
Struktur     kepengurusan subak di Bali yang pada awalnya sangat sederhana kemudian menjadi agak kompleks sejalan dengan perkembangan kebijakan pemerintah dan tuntutan untuk dapat mengembangkan organisasi subak agar menjadi lembaga yang betul-betul mandiri dan dapat eksis sesuai perubahan jaman.  Namun,  struktur  dasar  kepengurusannya  dapat  digambarkan  seperti Gambar berikut 
:
Seperti  Gambar  di  atas,  pekaseh  adalah  ketua  subak  yang  mempunyai kewajiban memimpin suatu subak. Dalam kesehariannya pekaseh akan bertugas memimpin  rapat-rapat  subak,  yang  materi  rapat  dapat  berupa  penetapan peraturan subak, pengaturan pembagian air, penanganan konplik / sengketa jika ada, pengaturan upacara keagamaan yang terkait dengan subak, termasuk melakukan koordinasi dengan pihak-pihak lain (lembaga) di tingkat desa dan kecamatan agar supaya subak dapat melaksanakan peran / fungsinya dengan baik. Apabila wilayah subak cukup luas sehingga lebih sulit untuk melakukan pengaturan, wilayah tersebut dibagi-bagi dalam wilayah yang lebih kecil, yang disebut tempek. Istilah lain yang biasa digunakan untuk  kata tempek adalah munduk atau empelan. Setiap tempek / munduk / empelan dipimpin oleh seorang kelian, yang namanya kelian tempek atau kelian munduk atau kelian empelan. Kelian-kelian ini dibantu oleh seorang kesinoman atau juru arah atau saya yang bertugas membantu kelian dalam menyampaikan informasi , keputusan- keputusan yang mesti dilaksanakan sebagaimana yang telah disepakati dalam rapat subak yang dipimpin oleh pekaseh.
Keberagaman struktur kepengurusan subak terjadi disebabkan karena masalah yang dihadapi tidaklah sama antara suatu subak dengan subak lainnya, disamping perbedaan inovasi/kreasi dalam mengembangkan subak agar dapat lebih mensejahterakan para anggota subak. Jumlah anggota, luas wilayah dan fisiografi wilayah, sumber air untuk pengairan, serta kebijakan pemerintah adalah faktor-faktor yang dapat menentukan bagaimana struktur kepengurusan suatu subak. Berbagai ragam unit kerja dalam kepengurusan subak adalah, sebagai berikut :
1.      Struktur oragnisasi subak yang terdiri dari : Pekaseh, Wakil Pekaseh dan Kerama Subak
2.      Struktur  organisasi  subak  yang  terdiri  dari  :  Pekaseh,  wakil  pekaseh, sekretaris, kesinoman, dan kerama subak
3.      Strutur   organisasi   subak   yang   terdiri   dari   :   Kelian   Gede   (Pekaseh), penyarikan,  petengen,  kelian  tempek,  wakil  kelian  tempek,  kesinoman, kerama subak disamping ada pengawas keuangan dan penasehat.
4.      Kepengurusan  subak  yang  didalamnya  terdapat  lagi  kelompok-kelompok kerja, dan kelompok kerja ini membawahi seksi-seksi atau  bidang-bidang.
Tugas pokok dan fungsi pengurus subak adalah sebagai berikut :
1.      Pekaseh memiliki peran memimpin setiap rapat-rapat subak,baik   yang berkaitan  dengan  internal  organisasi  subak  maupun  yang  berkaitan dengan  lembaga  di  luar  subak,  seperti  misalnya  Dinas  Pertanian, Sedahan,  atau dinas terkait lainnya sesuai kepentingan subak.Pekaseh mempunyai garis perintah ke kelian tempek.
2.      Sekretaris berperan membantu pekaseh khususnya mengerjakan hal-hal yang bersifat administratif atau dapat memimpin pertemuan jika pekaseh berhalangan.
3.      Bendahara, berperan dalam melakukan pembukuan dan mengelola keuangan subak
4.      Kelian tempek / kelian munduk, berperan dalam memimpin kegiatan- kegiatan  dalam  sekup  tempek  disamping  dapat  sebagai  perwakilan tempek jika diadakan rapat subak.
5.      Kesinoman, berperan membantu kelian tempek untuk menyampaikan informasi yang terkait dengan subak atas permintaan pekaseh.
6.      Ketua bidang atau seksi-seksi, berperan dalam membantu pekaseh untuk meminpin dan mengembangkan bidang-bidang tertentu yang ditetapkan ada dalam kepengurusan subak.
Apabila dalam suatu kepengurusan subak tidak ada sekretaris atau bendahara, biasanya yang ada adalah wakil pekaseh, maka segala peran tugas yang berkaitan dengan aktivitas subak, seperti mengelola keuangan, pengadministrasian, penyampaian informasi-informasi akan ditangani oleh wakil pekaseh atau peran tugas itu dikerjakan bersama oleh pekaseh dan wakil pekaseh. Kejadian ini dapat dijumpai dalam organisasi subak yang keanggotaannya sedikit dengan wilayah yang kecil pula.
Subak sebagai lembaga yang bersifat otonom, bertarti bahwa subak tidak mempunyai kaitan perintah dan tanggung jawab langsung kepada lembaga- lembaga  lain, baik di tingkat desa maupun di tingkat kecamatan atau kabupaten
/ kota dan bahkan provinsi. Dengan lembaga-lembaga di luar subak,   sifatnya hanya koordinatif yaitu mengkoordinasikan kegiatan subak agar dapat dimaklumi dan jika diperlukan diajak untuk ikut berpartisipasi dan mendukung agar kegiatan yang dilaksanakan oleh subak dapat berjalan sukses. Hubungan kerjasama dan pembinaan oleh lembaga lain, misalnya dengan Dinas Pertanian melalui para PPL (Penyuluh Pertanian Lapangan), Dinas Pekerjaan Umum, dan Dinas Pendapatan Daerah.   Subak juga tidak berkaitan dengan batas-batas wilayah administrasi desa maupun kecamatan. Olehkarenanya satu wilayah subak bisa tumpang tindih dengan beberapa desa atau kecamatan dan bahkan mungkin kabupaten / kota. Wilayah subak adalah didasarkan kepada hamparan sawah yang menerima air dari satu sumber air pengairan.
Pergantian pengurus subak umumnya tidak mempunyai ketentuan yang pasti, namun belakangan setelah subak-subak memilkki “awig-awig” yang telah disyahkan masa bakti kepengurusan subak telah ditentukan, yaitu 5 tahun dan dapat dipilih kembali.Pemilihan pengurus tentunya melalui rapat subak yang dipimpin oleh Ketua subak (pekaseh) dengan dasar musyawarah mufakat.

Subak Sebagai Sistem Organisasi dan Sosial
Mempunyai 10 Sub Sistem, diantaranya adalah sebagai berikut :
1.      Tujuan (Goal)
Dalam setiap tindakannya manusia mempunyai tujuan-tujuan yang hendak dicapai. Tujuan tersebut, yaitu suatu hasil akhir atas suatu tindakan dan perilaku seseorang yang harus dicapai melalui perubahan maupun dengan cara mempertahankan suatu keadaan yang sudah bagus.
Subak sebagai sistem sosial ditinjau dari tujuannya dibagi menjadi dua diantaranya:
a.       Tujuan subak sebagai sistem sosial secara eksplisit ( Tersurat)
Untuk mengelola air irigasi, mendistribusikan dan mengatur dengan sedemikian rupa serta menjujunjung tinggi keadilan dalam pelaksanaannya demi kesejahteraan petani.
b.      Tujuan subak sebagai sistem sosial secara implisit (Tersirat)
Tujuan subak secara implisit ialah untuk menjaga kearifan lokal budaya bali.
Dengan konsep THK keharmonisan antara prahyangan, pawongan dan palemahan akan tetap terjaga. Sehingga nilai sosio-religius yang disandang subak khususnya dan Bali pada umumnya tetap lestari.
2.      Kepercayaan (Beliefe)
Menurut Rousseau et al (1998), kepercayaan adalah wilayah psikologis yang merupakan perhatian untuk menerima apa adanya berdasarkan harapan terhadap perilaku yang baik dari orang lain.
Subak sebagai sistem sosial ditinjau dari kepercayaannya dibagi menjadi dua diantaranya:
a.       Kepercayaan yang rasional (Ilmu Pengetahuan dan teknologi)
Kepercayaan akan Ilmu pengetahuan dan Teknologi yang dimaksudkan di sini adalah bahwa petani di Bali dalam prakteknya menggunakan ilmu pengetahuan sebagai pedoman dalam bercocok tanam dan mengelola sawahnya. Misal: Petani memberlakuan rotasi tanam padi-palawija-padi (corp rotation),  Panca Usaha Tani.
Teknologi pertanian digunakan untuk membantu meringankan pekerjan petani. Teknologi dalam sistem subak ada dua,:
Teknologi Keras : Traktor, hand sprayer, tresser, penyosohan beras, seeder dll
Teknologi Lunak: Kelompok tani, KUD, Subak
b.         Kepercayaan yang irasional ( Nilai Tradisional dan hal-hal Gaib)
Kepercayaan yang irasional meliputi kepercayaan akan adanya Tuhan, adanya makhluk yang tak kasat mata (gaib) dan kepercayaan akan adanya niskala dan sekala. Misalnya : di Kawasan Subak Jati Luih, Kecamatan Penebel, Kabupaten Tabanan, ditemukan setidaknya ada 13 jenis upacara yang dilakukan oleh para petani di lingkungan subak, baik yang berada di kawasan Warirsan Budaya Dunia (WBD) maupun yang berada di luar kawasan WBD. Adapun ketiga belas jenis upacara tersebut antara lain : (1) upacara magpag toya; (2) nuasain (ngerastiti pangwiwit nandur); (3) ngerasakin (mecaru di carik); (4) nyepi di carik I (selama 3 hari setelah padi berumur 1 bulan); (5) nyepi di carik II (selama 2 hari setelah padi berumur 2 bulan); (6) nyepi di carik III (selama 1 hari setelah padi berumur 3 bulan); (7) upacara mohon air suci ke pekendungan; (8) upacara mohon air suci ke pura bedugul; (9) upacara ngusaba; (10) upacara nganyarin; (11) mantenin padi di lumbung; (12) upacara nuunang tegteg; dan (13) upacara ngutang tain asep. Tujuan dari upacara itu bukan lain adalah untuk menghormati dewa-dewi dan leluhur. Untuk menjaga tanaman petani dari kerusakan dan kegagalan panen. Karna Masyarakat bali percaya adanya niskala dan sekala.Misalnya petani melewatkan salah satu upacara penting yang ada di subak maka bias saja terjadi hal-hal yang dapat merugikan petani, seperti serangan hama yang tak terkendali dan kerusakan lainnya.
3.      Perasaan/Sentimen
Unsur sentimen pada dasarnya merupakan keadaan kejiawaan manusia yang berkenan dengan situasi alam sekitarnya, termasuk di dalamnya perasaan/sentimen antar sesama manusia. Perasaan terbentuk melalui hubungan yang menghasilkan suatu kejiwaan tertentu yang samapai pada tingkat tertentu harus dikuasai agar tidak terjadi ketegangan jiwa yang berlebihan. Ada tiga indikator yang digunakan untuk melihat implementasi perasaan/sentimen, sebagai berikut :
a.       Anggota subak merasa mempunyai kepentingan/tujuan yang sama.
b.      Anggota subak merasa senasib dan sepenanggungan yang sama.
c.       Anggota subak merasa mempunyai kebudayaan/falsafah yang sama.
Menurut Sudarta (2005), perasaan adalah menyangkut aspek emosional dalam arti apa yang bisa menyentuh dan menyatukan perasaan anggota dan kelompok. Perasaan atau sentimen anggota subak terbentuk karena adanya ketergantungan bersama terhadap sumber air irigasi, dan keterikatan terhadap adanya pura yang harus dikelola oleh subak yang bersangkutan.
Seperti contohnya suatu anggota subak mempunyai kepentingan atau tujuan yang sama, yaitu kepentingan untuk mendapatkan irigasi dari sumber atau bendungan yang sama. Mereka sama-sama mempunyai tujuan untuk membudidayakan tanaman padi, dalam upaya mendapatkan hasil tanaman padi sebagai bahan pangan utama, dan hal ini menyebabkan mereka lebih bersatu dan lebih kompak dalam melaksanakan dan menyelesaikan pekerjaan yang menyangkut kepentingan bersama, melalui mekanisme gotong royong. Subak-subak di Bali berlandaskan Tri Hita Karana dan semua anggota subak ini menganut agama hindu, hal ini menyebabkan mereka merasa mempunyai kebudayaan yang sama dan menciptakan kerjasama dalam suasana yang harmonis, dalam upaya mencapai tujuan yang diinginkan.
4.      Norma
Norma adalah pedoman tendang prilaku yang diharapkan atau pantas menurut kelompok atau masyarakat atau biasa dosebut dengan peraturan sosial. Norma sosial merupakan patokan tingkah laku yang diwajibkan atau dibenarkan dalam situasi-situasi tertentu dan merupakan unsur paling penting untuk meramalkan tindakan manusia dalam sistem sosial. Umumnya setiap kelompok mempunyai norma untuk dimanfaatkan sebagai alat pengontrol, tentang baik dan buruk. Indikator-indikator yang mengukur subsistem norma ini adalah:
a.       Memiliki norma yang sebagian besar atau keseluruhannya tertulis, sehingga formal adanya.
b.      Norma dipahami dan diaati oleh para anggotanya.
c.       Pimpinan kelompok berkewajiban mengingatkan dan menjelaskan kepada anggota yang lupa dan belum tahu tentang norma kelompok tersebut.
Pada sistem subak, norma dan etik/ moral dalam peraturan subak yang disebut dengan awig-awig (peraturan tertulis) dan juga parerem (peraturan tidak tertulis, namun telah disepakati dalam suatu konsensus dalam rapat-rapat subak). Parerem pada umumya disepakatai dalam rapat subak, kalau ada kasus-kasus tertentu yang muncul dalam pengelolaan organisasi subak, namun ternyata belum diatur secara spesifik dalam awig-awig. Awig-awig pada umumnya mengatur tentang hal-hal yang bersifat normatif. Seperti batas-batas subak, pelaksanaan upacara agama di kawasan subak, larangan-larangan di kawasan subak, iuran anggota subak,dll. Sedangkan parerem pada umumnya mengatur hal-hal yang lebih teknis, dan pada umumnya dapat berubah, sesuai dengan kondisi pada saat itu. Misalkan tentang besarnya denda, tentang waktu tanam dll.
5.      Sanksi
Sanksi adalah suatu bentuk imbalan atau balasan diberikan kepada seseorang atas perilakunya. Sanksi dapat berupa sanksi positif, contohnya hadiah(reward) da nada pula berupa sanksi negative, contohnya hukuman (punishment). Sanksi diberikan atau ditetapkan oelh masyarakat untuk menjaga tingkah laku anggotanya agar sesuai dengan norma yang berlaku. Menurut Sudarta(2005) untuk mencirakan kelompok yang dinamis, maka berkaitan dengan sanksi perlu beberapa hal seperti:
a.       kelompok harus mempunyai norma yang dibarengi dengan sanksi
b.      sanksi tersebut harus jelas dan dipahami oleh setiap anggota kelompok
c.       pemimpin atau pemimpin bertugas mengawasi, termasuk mengenakan sanksi
d.      efektivitas saksi untuk mencegah pelanggaran norma kelompok oleh anggota.
Pada organisasi subak, sanksi diatur dalam awig-awig atau pararem, berdasarkan kesepatan atau consensus. Contohnya, apabila pengurus subak mengikuti rapat atau toidak mengikuti pola tanam, dll akan dikenakan sanksi yang telah ditetapkan oleh pemimpin dan anggota subak bisa berupa uang, dan sanksi untuk melaksanakan upacara guru piduka(sanksi secara sosial). Pelaksanaan sanksi upacara keagamaan karena dianggap berbuat dosa, sehingga harus melakukan upacara, agar kawasan yang bersangkutan sudah leteh(tidak suci)
6.      Status dan Peranan
Status dan peranan merupakan dua komponen yang saling bergandengan atau tidak dipisahkan satu sama lain dalam suatu sistem sosial(kelompok atau organisasi). Setiap anggota kelompok memiliki status tertentu dan berdasarkan status itu menjalankan peranan tertentu.
a.       Peranan merupakan aspek dinamis dari status(kedudukan). Berkaitan dengan peranan, dikenal ada role perception(peranan yang dimengerti), yakni dimana peranan dimengerti oleh seorang yang memiliki kedudukan tertentu dalam kelompok.
b.      Status merupakan posisi atau tempat seseorang dalam suatu kelompok atau diartikan sebagai suatu pengakuan atas sifat atau peranan seseorang yang dianggap terhormat atau tidak
Pada subak, elemen yang harus diperhatikan:(a)setiap kedudukan dilengkapi dengan peranan(hak dan kewajibak, (2)anggota memahami kedudukan dan peranannya masing-masing, (3) peranan yang dijalankan oleh setiap anggota, sesuai dengan status yang dimilikinya,(4) peranan yang satu diketahui anggota lain, (5) ada koordinasi dan kerjasama secara intern dan ekstern kelompok
Contohnya apabila anngota subak memiliki kedudukan sebagai ketua, sekretaris, bendahara, atau sebagai anggota melalui suatu rapat sehingga status diketahui oleh semua anggota.  Misalnya pemegang kekuasaan tertinggi dalam oragnisasi subak adalah sedahan agung, berkedudukan di kantor bupati dan diangkat oleh bupati dengan tugas:
a.       Mengatur pengairan dan persediaan air diwilayah kabupaten
b.      Memecahkan persoalan  yang timbul antarsubak yang tidak sanggup diselesaikan bawahannya
c.       Memunggut pajak
d.      Mrngkoordinasi upacara yang berhubungan  dengan subak di tingkat kabupaten
e.       Kemudia hak untuk sedahan agung yakni digaji oleh pemerintah.

7.      Kekuasaan (power)
Kekuasaan didefinisikan sebagai suatu kesanggupan untuk menguasai orang atau pihak lain, seperti menggerakan, mengendalikan dan mengambil keputusan / kebijakan). Kekuasaan mempunyai banyak komponen, tetapi ada dua komponen yang penting yaitu wewenang (authority) dan pengaruh (influence). Wewenang adalah hak yang dibenarkan (legitimate right) kepada seseorang untuk mempengaruhi orang atau pihak lain. Sedangkan pengaruh adalah kesanggupan untuk mengontrol orang atau pihak lain dengan tidak menggunakan wewenang.
Implementasi kekuasaan pada subak dilihat dari empat indikator sebagai berikut:
a.          kekuasaan seorang anggota subak sesuai dengan kedudukannya.
b.          kemampuan pemimpin menggerakan anggota subak.
c.          kemampuan pemimpin mengontrol / mengendalikan anggota subak.
d.         kemampuan pemimpin mengambil keputusan atau menentukan kebijakan.
Kekuasaan setiap anggota di subak anggabaya, sesuai dengan kedudukannya. Semakin tinggi kedudukannya anggota subak dalam kepengurusan subak, semakin tinggi pula kekuasaannya. Sebaliknya, semakin rendah kedudukan anggota subak dalam kepengurusan subak, semakin rendah pula kekuasaannya. Seperti umumnya subak – subak di Bali, di subak Anggabaya pekaseh mempunyai kedudukan dan kekuasaan tertinggi. Namun dalam menjalankan tugas – tugas kepemimpinan tetap di bawah koridor awig – awig dan pararem subak yang berlaku.  Contohnya: Pengambilan keputusan dan kebijakan yang dilakukan sendiri oleh pekaseh, umumnya menyangkut hal – hal penting yang sifatnya mendeasak dan perlu mendapat penanganan cepat. Di sini dapat dilihat bahwa kekuasaan sangat mempengaruhi segala jenis tindakan atau keinginan namun dari tindakan atau keinginan tersebut berlandaskan atau berada di bawah naungan awig – awig dan pararem.
8.      Jenjang sosial (social rank)
Jenjang sosial timbul karena manusia atau anggota sistem sosial membuat berbagai macam derajat (rank) di antara mereka sendiri. Jadi, derajat sosial menghasilkan pelapisan sosial di dalam sistem sosial. Sejatinya jenjang sosial adalah suatu kedudukan yang menggabarkan kekuasaan atau prestise, yang membedakan antara anggota yang satu dengan anggota lainnya dalam sistem sosial. Gambaran mengenai implementasi elemen jenjang sosial subak Anggabaya sebagai sistem sosial yang akan dibahas berikut ini berdasarkan tiga indikator, yaitu a). di dalam subak ada sistem perpanjangan yang jelas, b). sistem penjenjangan itu dipahami oleh anggota subak, dan c)sistem penjenjangan terbut merupakan sumber motivasi bagi anggota subak untuk kemajuan. Contoh: Dalam susunan pengurus subak anggabaya seperti telah dibahas sebelumnya, dapat di pahami bahwa di subak tersebut terdapat sistem penjenjangan yang jelas, yakni mulai dari jenjang sosial terendah sampai dengan jenjang sosial tertinggi. Tingkat yang lebih tinggi atau jenjang yang lebih tinggi disebut pekaseh turut disusul dengan pangliman, penyarikan, patengan, kelianmunduk, juru arah, krama subak.
9.      Fasilitas
Fasilitas dapat berupa lahan pertanian, peralatan, harta, barang-barang dan kemudahan yang tersedia dan digunkan untuk mencapai tujuan sistem sosial. Bagi masyarakat pedesaan, tanah atau lahan pertanian merupakan fasilitas yang terpenting karena merupkan sumber kehidupan yang utama. Tanah atau lahan pertanian dapat berupa lahan sawah, tegalan, perkebunan, perhutanan, termasuk sungai dan danau yang ada di sekitarnya. Di sawah, tegalan, dan lahan pertanian itu terjadi interaksi sosial yang menandakan adannya sistem sosial seperti:
a.        Antara petani satu dengan petani lainya sama-sama memanen padi di satu lahan pertanian yang sama.
b.      Interaksi antara pemilik sawah dengan petani penggarap melakukan negosiasi lahan yang akan ditanami kelapa sawit diperkebunan.
c.       Anggota subak melakukan gotong –royong membersihkan parit yang ada dikawasan subak mereka.
Fasilitas utama irigasi subak (palemahan) berupa pengalapan (bendungan air), jelinjing (parit), dan sebuah cakangan (satu tempat masuk air ke bidang sawah garapan anggota subak) untuk setiap petani anggota subak. Jika di suatu lokasi terdapat dua atau lebih cakangan yang berdekatan maka ketinggian cakangan-cakangan tersebut sama (kemudahan air mengalir masuk ke sawah masing-masing petani sama), tetapi perbedaan lebar lubang cakangan masih bisa ditoleransi sesuai dengan perbedaan luas sawah bidang garapan petani. Pembuatan, pemeliharaan, dan pengelolaan penggunaan fasilitas irigasi subak dilakukan bersama krama (anggota) subak.
10.  Wilayah
Wilayah merupakan ruang, tempat sistem sosial itu bertahan. Setiap desa memiliki wilayah tertentu yang membatasi antar satu desa dengan desa lainnya begitu juga subak.  Masing-masing subak memiliki Pura Ulun Sui sebagai tempat memohon berkah kepada Sang Pencipta agar pertanian mereka mendapatkan hasil yang melimpah. Setiap kelompok subak memiliki wilayah teritorinya masing-masing dan terhubung antara satu subak dengan subak yang lainnya, karena terkait dengan proses pembagian air bagi setiap subak. Kepala subak disebut Pekaseh, sedangkan asistennya disebut Petajuh. Para anggota subak terdiri dari para pemilik sawah di kawasan subak dan bisa diwakilkan oleh masing-masing penggarapnya. Diwilayah subak inilah terjadi sistem sosial yang menghasilkan komunikasi. Contoh: antara 2 orang atau lebih di kalangan petani, baik membicarakan pembagian air di satu wilayah dengan wilayah lainya. Sehingga terjalin interaksi yang harmonis dan tidak tercipta konflik atas pembagian air dilahan pertanian tersebut.


KESIMPULAN
Subak diyakini merupakan pilar kebudayaan Bali yang sangat penting, sehingga bila eksistensi lembaga tradisional tersebut mulai terancam, tidak solid dan bahkan tidak berlanjut, maka selain sektor pertanian akan menghadapi permasalahan. Perlu adanya transformasi dalam subak tanpa menghilangkan nilai-nilai budaya didalamnya seperti pembentukan wadah koordinasi antar subak, pemberian status badan hukum dan melakukan kerjasama dengan LSM dan pihak-pihak terkait dalam kegiatan pertanian dan pelestarian alam.
Pemerintah harus lebih menyadari akan pentingnya keberadaan subak sebagai warisan budaya serta sebagai organisasi kesejahteraan petani Bali serta turut membangun kerja sama dengan organisasi subak itu sendiri secara berkesinambungan.


  
SUMBER ARTIKEL

Budiasa, I., W. (2010).Peran Ganda Subak Untuk Pertanian Berkelanjutan Di Provinsi Bali. Jurnal AGRISEP, Vol. 9 No.2
Guntoro, S. (1996).Wisata  Agro  Di  Bali  Majalah  Warta  Pemda. Diterbitkan  Untuk  HUT  Pemda  Bali  ke-38  14 Agustus.
Mahdalena, N. (2016). Nilai Kearifan Lokal “Subak” Sebagai Modal Sosial Transmigran Etnis Bali. Jurnal Akuntansi Multiparadigma JAMAL. Vol. 7 No. 2
Mbete, A., M., et al. (1998).Proses & Protes Budaya Persembahan Untuk Ngurah Bagus. Denpasar: PT. Offset BP Denpasar.
Norken I., N., I., K., S. dan I.G.N.Kerta Arsana (2015). Aktivitas Aspek Tradisional Religius Pada Irigasi Subak:Studi Kasus Pada Subak Piling, Desa Biaung, Kecamatan Penebel, Kabupaten Tabanan. Laporan Penelitian Program Magister Teknik Sipil. Program Pascasarjana Universitas Udayana Denpasar.
Pradnyawathi, N., L., M. & Adnyana, G., M. (2013). Pengelolaan Air Irigasi Sistem Subak. Jurnal DwijenAGRO. Vol. 3 No. 2.
Suputra, I., K. (2008). Efektivitas Pengelolaan Sumber Air Untuk Kebutuhan Air Irigasi Subak di Kota Denpasar. Tesis Program Pascasarjana Universitas Udayana.Denpasar
Windia. W. (2013). Penguatan Budaya Subak Melalui Pemberdayaan Petani. Jurnal Kajian Bali Vol. 3 No. 2.
_________., Sumiyati., Sudana, G. (2015). Aspek Ritual Pada Sistem Irigasi Subak Sebagai Warisan Budaya Dunia. Jurnal Kajian Bali Vol. 5 No. 1
Wiguna A., A. dan Surata. (2008). Multifungsi Ekosistem Subak dalam Pembangunan Pariwisata. Yogyakarta: Aksara Indonesia


Tidak ada komentar:

Posting Komentar