Oleh: Putu Widyanata
BAB I
PENDAHULUAN
TUGAS PACALANG PADA
PELAKSANAAN HARI RAYA NYEPI
A.
LATAR BELAKANG
Di Bali yang mayoritas penduduknya beragama Hindu,
suasana nyepi sangat terasa.
Jalanan tampak kosong
tanpa ada satupun
kendaraan yang melintas. Bahkan kendaraan ambulans milik rumah sakit
tidak diperbolehkan keluar tanpa pengawalan petugas
keamanan desa adat (pacalang). Seperti yang terpantau pada setiap pelaksanaan Hari Raya Nyepi dari tahun ke tahun,
seluruh aktivitas warga dihentikan. Hanya pacalang yang rutin melakukan
patroli di wilayah
desa adat masing- masing. Termasuk mengantar
warga yang membutuhkan penanganan medis ke Rumah sakit. "Selama Nyepi seluruhnya menjadi
tanggung jawab pacalang, dari urusan keamanan desa juga antar warga ke rumah sakit
kalau diperlukan,". Sebagaimana SOP yang sudah
berjalan. Ketika emergency melalui
surat rekomendasi dari Bandesa/Keliang desa adat setempat serta sepengetahuan
Keliang Banjar Dinas setempat nantinya akan
meminta kepada pacalang
untuk memberikan penanganan
atas masalah yang dihadapi termasuk mengantar ke Rumah sakit jika diperlukan. "Pacalang punya kendaraan operasional di desa untuk antar ke Rumah sakit, kalau punya
kendaraan pribadi juga bisa dipakai tapi harus dikawal pacalang. Pacalang juga
diwajibkan mengetahui penyakit
yang diderita warga
yang diantar. Jika harus menginap, pacalang bisa langsung meninggalkan rumah sakit untuk
melanjutkan tugas. Sebaliknya jika hanya penanganan biasa tanpa harus menginap,
pacalang wajib menunggu untuk mengawal perjalanan pulang warga tersebut hingga
pagi pukul 06.00 Wita. Setelah itu aktivitas akan kembali normal seperti
sediakala ditandai suara kentongan/Kulkul desa adat setempat.
"Sebelum jam 6 besok
warga tidak boleh keluar atau
jalan-jalan tanpa ijin pacalang.
B.
RUMUSAN MASALAH
Permasalahan
yang diangkat dalam makalah ini yaitu :
1.
Masih
lemahnya kesadaran masyarakat akan pelaksanaan Catur Brata Panyepian
yang belum sepenuhnya dilaksanakan.
2.
Peran
tugas yang dilaksanakan oleh pacalang selalu berbenturan atas keinginan krama
yang terbiasa dialami sebagaimana hari-hari biasanya.
C. TUJUAN
Adapun
tujuan penulisan makalah ini adalah sebagai berikut :
1.
Mengulas sejarah,
syarat, tugas, hak, dan kewajiban Pacalang.
2.
Menjelaskan
bagaimana menyikapi berbagai permasalahan terkait masih lemahnya kesadaran
masyarakat dalam pelaksanaan sebagaimana diatas.
3.
Menjelaskan
kaitan diatas tupoksi/sasana pacalang saat melaksanakan swadharmanya sebagai
penjaga keamanan dan bentuk pelayanan laiinya
kepada krama desa adat.
D. MANFAAT
Manfaat yang diharapkan dapat diperoleh dari penulisan
makalah ini adalah sebagai berikut.
1.
Untuk
aparat pemerintah, prajuru desa dan krama desa adat semoga makalah ini
diharapkan bisa memberikan solusi terhadap kesadaran akan pelaksanaan hari raya
Nyepi beserta Catur Brata Panyepian.
2.
Untuk
Peneliti, dapat dijadikan referensi untuk penulisan karya ilmiah maupun
penelitian tentang tugas fungsi pacalang pada pelaksanaan hari raya Nyepi.
3.
Untuk
Penulis, tentunya dapat menambah wawasan tentang tugas Pacalang, Prajuru Desa
Adat dan Krama Desa Adat pada saat pelaksanaan hari raya Nyepi.
BAB II
PEMBAHASAN
MAKNA CATUR BRATA PENYEPIAN BAGI UMAT HINDU
Perayaan Hari Raya Nyepi tentunya
sangat ditunggu-tunggu oleh seluruh umat Hindu.
Perayaan yang hanya digelar sekali
dalam setahun itu mempunyai budaya tersendiri, dan
tentunya sangat berbeda dengan perayaan-perayaan dengan agama lainnya.
Ada empat hal yang dilarang dilakukan
selama perayaan Nyepi atau juga
disebut dengan Catur Brata Penyepian. Catur Brata Penyepian meliputi yakni :
1)
Amati Geni (tiada berapi-api/tidak menggunakan dan atau
menghidupkan api). Artinya
umat Hindu tidak
boleh mengumbar amarah, seperti
emosi dan benci.
2)
Amati
Karya (tidak bekerja). Segala aktivitas pekerjaan harus dihentikan oleh umat
Hindu dan berfokus kepada Yang Pencipta. Kemudian,
3)
Amati
Lelungan, artinya tidak boleh berpergian. Jadi, selama perayaan Nyepi,
umat Hindu harus berdiam di rumah. Terakhir,
4)
Amati
Lelanguan. Artinya tidak mengumbar hawa nafsu, tidak menikmati hiburan, tidak
mengadakan hubungan biologis antar pasangan suami istri meskipun itu sah.
Dengan fokus membaca kitab suci dan
berpuasa selama 24 jam tidak makan dan tidak minum. Dari jam 06.00 Wita pagi sampai dengan jam
06.00 Wita besok paginya, selanjutnya disebut Ngembak Geni namanya.
Artinya kita melakukan darma santi kecil-kecilan dalam arti keluarga.
MENGENAL
PACALANG, SOSOK KEAMANAN PENJAGA KHIDMAT
Pacalang pihak yang menjaga keamanan
saat upacara keagamaan digelar di Bali. Beberapa hari sebelum Hari Raya Nyepi,
masyarakat Bali melaksanakan ritual Melasti. Di antara banyaknya peserta yang
datang, terlihat beberapa orang yang menenteng keris khas Bali dengan kostum
khas sambil sesekali mengatur jalannya upacara. Mereka adalah polisi adat Bali
atau yang disebut Pacalang.
Mengutip penjelasan dari Persatuan Hindu Dharma Indonesia (PHDI) Karangasem, kata Pacalang berasal dari kata 'calang',
yang diambil dari kata 'celang', yang berarti waspada. Pacalang memiliki tugas
untuk mengamankan dan menertibkan desa, baik dalam keseharian maupun dalam
hubungannya dengan penyelenggaraan upacara adat atau keagamaan. Menurutnya
wisatawan domestik dan mancanegara yang "bandel" saat Hari Raya Nyepi
itu terkadang hal yang biasa. Hal itu dikarenakan belum adanya aturan yang
memerintahkan untuk memberi sanksi bagi orang yang melanggar aturan Catur Brata
Penyepian. Tapi kalau warga Bali yang melanggar, tentu ada sanksinya berupa
teguran simpatik, jika melanggar sesuai aturan yang sudah diketahui sendiri
bisa dianggap keblinger (keterlaluan). Duka Pacalang saat Hari Raya Nyepi
Pacalang yang sering dianggap lebih galak daripada polisi di Bali. jika masih
ada wisatawan yang keluyuran di jalanan saat Nyepi, kesalahan sebenarnya ada
pada pengelola penginapan. Pasalnya, pihaknya sudah memberi surat edaran kepada
pengelola penginapan terkait Catur Brata Penyepian. Minimal, wisatawan bisa
berkegiatan di dalam komplek penginapan saja. Namun ada pengecualian bagi
wisatawan yang memiliki anak kecil, wisatawan lansia, dan yang sedang sakit.
Dispensasi itu terkait menyalakan lampu atau penerangan, meski cahayanya hanya boleh
remang-remang. Sebagai Pacalang, sudah pasti tak menjalani
Catur Brata Penyepian bersama keluarganya di rumah. Harus dijalani dengan
ikhlas mengenai kondisi tersebut. Tak berdiam diri di rumah bukan berarti bisa
santai di jalanan. Justru harus tetap fokus karena banyak warga dan wisatawan
di Bali yang masih nekat keluar rumah saat Nyepi, apalagi tidak semua desa adat
warganya beragama Hindu saja, bisa dari umat lain, surat edaran terkait
pelaksanaan dan aturannya seperti tidak mengunakan speaker (pengeras suara)
pada saat mengumandangkan suara persembahyangannya. Khususnya wisatawan asing,
dikatakannya paling sering "kucing-kucingan" dengan Pacalang. Bahkan
mereka nekat datang ke upacara adat yang tertutup, hanya untuk sekadar
mengambil foto atau video. wisatawan asing sekarang itu sudah kurang ajar.
Mereka sering mengkadali aturan dan rambu-rambu yang sudah tertulis",
terutama pada saat hari raya Nyepi.
Dalam Lontar Purwadigama disebutkan beberapa syarat seorang
Pacalang yaitu :
a)
Pacalang
harus Nawang kangin kauh. Artinya pacalang harus tau arah mata angin dan
liku-liku wilayah tugasnya. Dengan menguasai betul wilayah tugasnya pacalang
memiliki wawasan tentang cara-cara pengamanan terutama pencegahan terhadap
adanya gangguan keamanan.
b)
Wanen
lan wirang. Artinya, seorang pacalang harus
mempunyai rasa keberanian karena benar dan bersikap membela yang benar
secara adil. Berani membela desa adat tempat dia bertugas.
c)
Celang
lan cala. Seorang pacalang harus memiliki kepekaan individual disamping
kecerdasan berfikir. Pacalang harus dapat bertindak cepat atau gesit bila ada
masalah yang butuh penanganan yang cepat. Pacalang harus bisa cepat namun
tidak tergesa-gesa, tetap berhati-hati.
d)
Rumaksa
guru. Pacalang harus memiliki sifat-sifat seorang guru, dapat membimbing dan
memberi contoh yang baik. Bila akan memberi ganjaran untuk orang lain, itu
sesuai dengan asas keadilan.
e)
Satya
Bhakti Ikang Widhi. Pacalang orang yang selalu melakukan kebaikan dan berbakti
kepada Tuhan Yang Maha Esa.
f)
Krama
Desa Adat. Yang boleh menjadi seorang pacalang adalah warga desa yang sudah
berumah tangga, karena umumnya warga yang sudah berumah tangga memiliki
kestabilan jiwa dan lebih berpengalaman. Hal ini diberlakukan untuk mencegah
adanya pacalang yang emosional dan bertindak
kasar.
HAK DAN KEWAJIBAN
PACALANG
Kewajiban adalah sesuatu yang wajib
dikerjakan, sedangkan hak adalah sesuatu yang wajar diterima setelah kita
melakukan kewajiban tersebut namun kembali ke Desa Adat itu sendiri. Hak
pacalang tidak disebutkan dalam lontar ataupun prasasti, namun berdasarkan
pengamatan pacalang memiliki beberapa hak yakni sebagai berikut :
-
Pacalang
berhak atas luputan ngayah, artinya pacalang tidak perlu lagi bergotong royong
membersihkan sampah, membangun dan merenovasi fasilitas milik desa adat.
-
Pacalang
berhak atas busana dan atribut yang menjadikan pacalang special, karena busana
dan atributnya tidak
murah.
-
Pacalang
berhak atas pembagian uang hasil denda warga desa yang melanggar peraturan.
-
Pacalang
berhak menggunakan fasilitas umum milik desa adat, sama seperti warga lainnya.
Kewajiban pacalang cukup banyak diatur oleh Lontar Purwadigama, namun memiliki
makna yang sama yakni untuk menjamin ketertiban dan keamanan warga desa adat.
KEWAJIBAN PACALANG
ANTARA LAIN SEBAGAI BERIKUT :
-
Ngupadesa,
artinya pacalang harus selalu dekat dengan desa dan warganya, jangan sampai
seorang pacalang hidup berjauhan dengan desanya demi menjamin komunikasi yang
lebih terjamin antara pacalang dengan warga
desa.
-
Atitikrama,
artinya pacalang hendaknya selalu memberikan petunjuk yang benar kepada warga
desa tempatnya bertugas. Petunjuk yang dimaksud adalah berupa arahan dan juga berupa contoh keteladanan. Warga desa
akan menghargai dan menghormati apabila pacalang tersebut telah berbuat dan
memberikan contoh yang benar.
-
Jaga
Baya Desa, artinya pacalang harus menjaga desa agar selalu berada dalam keadaan
baik, salah satu caranya dengan melakukan ronda atau keliling desa (Widia&Widnyani, 2002 : 38- 40).
BUSANA PACALANG
Menurut Lontar Purwadigama, pacalang harus mengenakan
beberapa elemen berikut.
-
Maudeng. Udeng disebut juga destar yakni penutup kepala yang
wajib digunakan oleh pacalang dengan pengaturan bentuk khusus yang maksudnya
untuk membedakan.
-
Mawastra
akancut nyotot pertiwi. Menggunakan kain dengan bagian depan dijatuhkan menuju
tanah. Hal ini sudah lumrah pada masyarakat
Bali.
-
Mekampuh
poleng. Selanjutnya kain dilapisi dengan kain hitam putih (poleng), untuk
memberi kesan berwibawa dan mempunyai makna simbolis dari kekuatan dan kesaktian.
-
Anyungklit
keris. Pacalang seharusnya membawa keris yang diselipkan di pinggangnya pada
bagain depan.
-
Masumpang
waribang. Di telinga seorang pacalang wajib diselipkan bunga pucuk arjuna.
Berdasarkan informasi di atas, dapat
kita simpulkan bahwa hanya melalui busana yang dikenakan, pacalang memiliki
karisma tersendiri. Sehingga sering kali dalam melakukan pengamanan pacalang
tidak harus melakukan banyak aktivitas, karena hanya dengan melihat udeng, kain
poleng dan keris yang dikenakan warga akan langsung mengetahui bahwa itu pacalang dan akan langsung
menghargainya. Pola interaksi semacam ini, dapat digolongkan dalam
interaksionalisme simbolik, yang hanya dengan simbol-simbol tetap dapat
memiliki persepsi dan pemahaman yang diharapkan pada masyarakat.
PERAN PACALANG
SEBAGAI SIMBOL KEKUATAN BUDAYA BALI.
Pacalang memiliki peran penting dalam
fungsi menjaga keamanan desa, sehingga harus diatur dalam Perda No 3 Tahun 2001
yang telah diubah dengan Perda 3 Tahun 2003, tentang Desa Adat. Berangkat dari
makna yang tersurat dalam Perda tersebut, dapatlah dipastikan bahwa pacalang
adalah perangkat desa yang dibentuk dan diatur dengan Hukum Adat. Dapat
diketahui bahwa Hukum Adat yang berlaku di Desa Adat di Bali adalah bersumber
dari Hukum Agama Hindu, karena itu pacalang dalam berfikir, berkata dan
bertindak tentulah tidak boleh bertentangan dengan Hukum Adat yang mengaturnya
(Hukum Agama Hindu) dan juga Hukum Nasional yang mampu memberi kenyamanan,
keamanan dan keadilan masyarakat.
Perubahan sosial memungkinkan
terjadinya peningkatan mobilitas penduduk, intensitas interaksi sesama manusia
dan perekonomian, yang
secara umum berpengaruh pada keteraturan kehidupan
masyarakat desa adat di Bali. Lebih dalam, perubahan sosial juga berpengaruh
pada peningkatan intensitas dan ragam kegiatan sosial yang berimplikasi pada
perubahan tugas dan fungsi pacalang yang ada di desa adat.Perubahan yang
terjadi pada tugas dan fungsi pacalang menimbulkan polemik di masyarakat
sehingga dipertanyakan eksistensi pacalang.
Tugas Pacalang sebagai penjaga rasa
aman masyarakat Bali untuk melakukan ritual, memberikan kesan bahwa pacalang
adalah yang unik dan tradisional. Sosok pacalang ini menjadi baru sekaligus
klasik. Dengan mendasarkan dirinya pada akar tradisi masyarakat Bali, pacalang
hadir sejalan dengan usaha membangkitkan kembalinya pariwisata di Bali. Satgas
Pacalang muncul dimana-mana, lebih-lebih paska diatur dalam peraturan daerah
yang memberikan dasar hukum bagi pembentukannya. Secara perlahan, tapi pasti,
pacalang mulai ambil bagian dalam kehidupan di Bali. Kondisi sosial budaya Bali
semakin memprihatinkan, menjadi bagian yang termarjinalkan dari pembangunan
ekonomi dan industri yang terus menerus berkembang. Berbagai ancaman seperti
ancaman terorisme, narkotika, dan pola hidup westernisasi yang tidak selalu
berdampak positif sangat mengkhawatirkan. Tidak banyak yang bisa dilakukan oleh
masyarakat tanpa adanya wadah ataupun bantuan dari pihak yang lebih berwenang.
Berdasarkan Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 3 Tahun 2001 tentang Desa Adat
yang telah diubah menjadi Perda
3 Tahun 2003, yang selanjutnya diganti menjadi Perda 4
Tahun 2019 Tentang Desa Adat di Bali diatur pada BAB VII Lembaga Adat, Bagian
Kesatu Umum pasal 43 Nomor 2 huruf d.
KEHORMATAN DAN KEIKHLASAN
Menjadi Pacalang adalah murni tugas
sosial. Tidak bisa menolak mandat yang diberikan oleh prajuru dan krama desa.
Menjadi Pacalang adalah sebuah kehormatan. Terkait faktor ekonomi, Pacalang
tidak mendapat gaji apalagi fasilitas seperti asuransi kesehatan. Padahal
Pacalang secara tidak langsung dituntut untuk selalu fit
dalam menjalankan tugasnya. Lagi-lagi ikhlas menjadi jawaban. "Banyak
anggota Pacalang yang harus mengatur jadwal kerjanya masing-masing, bahkan
sampai dimarahi atasannya karena ia harus menjalankan tugas menjadi
Pacalang", masih jarang Pemerintah Daerah yang peduli dalam memberikan fasilitas
berupa kendaraan operasional untuk Pacalang, semoga ke depannya ada perhatian
dari para pemimpin daerah dan pusat yang memperhatikan kondisi Pacalang.
Pacalang sebenarnya tidak lebih ditakuti daripada polisi tapi mungkin lebih
disegani, khususnya oleh para wisatawan mancanegara, karena kostumnya yang
tradisional. Berbeda dengan polisi atau tentara yang seragamnya hampir sama di
semua negara. "Banyak turis asing yang bertanya tentang apa itu Pacalang,
tugasnya apa saja, mereka tahu bahwa kami tidak digaji,
dipilih oleh warga, menjaga kesakralan ritual agama,
dan sebagainya, maka mereka semakin segan.
A.
KESIMPULAN
BAB III
PENUTUP
Pacalang merupakan kelompok keamanan
tradisional Bali yang bertugas menjaga keamanan dan ketertiban desa adat tempat
pacalang tersebut bertugas. Berbagai ancaman terhadap kebudayaan Bali seperti
kejahatan narkotika, terorisme, korupsi, semakin menghilangnya budaya Bali
akibat modernisme sangat mengkhawatirkan. Kondisi tersebut yang membuat
masyarakat membutuhkan kelompok keamanan tradisional yang mampu menjadi simbol
sekaligus benteng untuk menunjukkan kekuatan dari kebudayaan Bali. Berdasarkan
tugas, fungsi dan kewajibannya pacalang telah dibentuk untuk menjadi pionir
masyarakat dalam mempertahankan keberadaan budaya Bali. Pacalang dari masa ke
masa telah beralih fungsi tidak hanya untuk menjaga kelancaran
upacara adat, namun juga menjaga acara dan aktivitas
politik karena, pacalang masih disegani oleh masyarakat. Kesan wibawa pacalang
yang diikuti dengan busana yang mendukung membuat pacalang memiliki kekuatan
tersendiri untuk menjaga kestabilan masyarakat dalam desa adat di Bali.
Dewasa ini, penanganan masalah keamanan
bagi masyarakat Bali menjadi prioritas utama, karena jumlah penduduknya semakin
bertambah, semakin heterogen dan hidupnya semakin kompleks, yang nantinya dapat mengganggu
ketenteraman dan ketertiban masyarakat yang memungkinkan terjadinya kerawanan
sosial. Dengan mempedomani dan berpegang teguh pada sumber-sumber kepatutan
yang berlaku di Desa Adatnya, (mulai dari awig-awig Desa Adat dan seterusnya),
seorang pacalang harus apacalan, menyalahkan yang bersalah, dan menegur atau
mencela yang patut dicela, baik bagi setiap
krama desa adatnya
sendiri, maupun krama Desa Adatnya
yang berprilaku, beraktivitas, (masalah
maprewerti).
B.
SARAN-SARAN
Sebagai penulis dalam artikel ini,
mencoba berharap agar pacalang mendapat perhatian dari Pemerintah khususnya
pihak-pihak terkait yang tentunya juga berkewajiban atas ajegnya Budaya Bali
serta piranti didalamnya, kepada krama desa dan para wisatawan yang pada
saat-saat tertentu agar selalu mematuhi aturan yang berlaku dimasing-masing
desa adat, begitu pula pacalang tidak berubah fungsi menjadi penjaga portal,
tukang parkir dan yang patut dihindari adalah untuk tidak arogan.
DAFTAR PUSTAKA
Majelis Utama Desa Pakraman (MDP) Bali
Drs. I Wayan Astika,
M.Si (Ketua PHDI
Karangasem) Agung Rahmadsyah, CNN Indonesia
Dodo (Batam News)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar