Oleh : I GUSTI NYOMAN RAI WIDIASIH
UPACARA MAGEDONG-GEDONGAN (GARBHA WEDANA)
I.
PENDAHULUAN
Kebudayaan Bali merupakan satu sosok kebudayaan yang unik
dengan jati diri yang khas. Jati diri tersebut merupakan rajutan fisik, symbol,
kelembagaan dan gaya yang bersifat lokal, terpadu dengan sistem kepercayaan,
sistem filosofis yang menekankan sifat ekonomis yang dijiwai Agama Hindu.
Masyarakat Bali masa kini sebagai refleksi masyarakat
transformatif yang bergerak semakin heterogen dengan dua kebudayaan yaitu, Kebudayaan Tradisional dan
Kebudayaan Modern. Disisi lain, Kebudayaan Bali mencakup unsur-unsur yang
sangat banyak beragam, salah satu diantaranya adalah unsur upacara.
Manusia yang terlahir kedunia memiliki empat macam tahap
kehidupan yang dikenal dengan istilah Catur
Asrama, yang bagian-bagiannya terdiri dari Brahmacari, Grihasta, Wanaprasta, dan Sanyasin Asrama. Setiap Asrama
memiliki tujuannya masing-masing. Setiap pemeluk Hindu harusnya menjalankan
masing-masing tahapan dalam kehidupan agar kehidupan berjalan berimbang yaitu
dengan mengawali sebagai seorang brahmacari
dengan menuntut ilmu sebanyak-banyaknya, lalu memasuki masa grihasta yaitu berumah tangga, dan
bermasyarakat, selanjutnya mencoba untuk terlepas dari sifat-sifat keduniawian
yaitu wanaprasta dan benar-benar
terlepas dari dunia keduniawian yaitu sanyasin.
Agama Hindu adalah agama yang telah menciptakan kebudayaan
yang sangat kompleks di bidang astronomi, ilmu pengetahuan, filsafat dan
lain-lain sehingga timbul bermacam-macam pemahaman oleh para ahli yang juga
berpengaruh terhadap candi-candi. Di Indonesia agama Hindu mempunyai
bentuk
candi tersendiri yang di pengaruhi oleh tradisi suku Jawa sehingga berlainan
dengan candi-candi yang terdapat di India. (Abu, 1991, p. 122)
Salah satu harapan suami istri setelah Pawiwahan adalah
mempunyai keturunan atau anak yang diharapkan menjadi anak yang Suputra. Untuk mendapatkan anak yang Suputra banyak hal yang harus dilakukan.
Pertemuan suami istri dalam menciptakan putra yang Suputra tidak boleh sembarangan. Proses pertemuan suami istri tidak
dapat dilakukan hanya karena dorongan hawa nafsu sex semata, tetapi harus
dilakukan berdasarkan kesadaran rokhani yang mantap. (Maswinara, p. 242)
Seorang anak yang baru lahir, menunjukan tanda-tanda
kegembiraan, ketakutan, dan kesedihan, di mana dalam hal ini tak dapat
dijelaskan secara material, kecuali kita hanya menduga bahwa anak tersebut
merasakan hal-hal tertentu yang berhubungan dengan ingatannya dalam kehidupan
masa lalunya, yang membuktikan bahwa ada kelahiran sebelumnya yang juga pernah
dialami oleh Sang Roh. Naluri anak yang demikian lahir mencari putting susu
ibunya membuktikan bahwa Roh si anak walaupun telah menanggalkan badan kasar
sebelumnya dan mengenakan badan kasar yang baru, masih mengingat
pengalaman-pengalaman dari badan-badan sebelumnya. (Maswinara, Proses
Terbentuknya Bayi Di Dalam Kandungan, 1998)
II. PEMBAHASAN
1.
Upacara Bayi Dalam Kandungan
Upacara Magedong-gedongan adalah Upacara Kehamilan. Menurut
Kanda Pat Rare mengatakan dalam proses kehamilan karena “Kama Jaya” (Sperma
dari Ayah) bertemu dengan “Kama Ratih” (Ovum dari Ibu) terjadilah pembuahan.
Semakin besar terwujudlah Jabang Bayi. Upacara Megedong-gedongan adalah upacara
yang ditujukan kepada Bayi yang masih berada di dalam Kandungan dan merupakan
Upacara pertama dilaksanakan pada saat Bayi berumur 5 bulan Bali (kurang lebih
6 Bulan kalender), karena wujud Bayi sudah dianggap sempurna.
Pada
waktu
hamil telah menginjak umur 6 bulan saka maka para Dewata telah lengkap
menganugrahi organ tubuh manusia (lontar Angastyaprana), maka calon ayah dan
calon ibu sudah menyiapkan diri untuk melakukan upacara Magedong-gedongan.
Pelaksanaan Upacara Magedong-gedongan berfungsi sebagai
penyucian terhadap Bayi. Disisi lain juga berarti agar kedudukan Bayi dalam
Kandungan agar baik kuat tidak abortus. Secara bathiniah agar Sang Bayi kuat
mulai setelah lahir menjadi orang yang berbudi luhur, berguna bagi Keluarga dan
Masyarakat demikian juga dimohonkan keselamatan atas diri si ibu agar sehat,
selamat waktu melahirkan.
2. Pentingnya Upacara Magedong-gedongan
Upacara Magedong-gedongan adalah salah satu bentuk
pelaksanaan upacara manusa yadnya. Upacara ini dilakukan ketika bayi masih
dalam kandungan si ibu. (I. B. Putu Sudarsana, 2001)
Magedong-gedongan berasal dari kata “gedong” yang berarti
gua garba. Gua artinya pintu yang dalam atau pintu yang ada di dalam, garba
artinya perut. Jadi, gua garba artinya pintu yang dalam, berada pada perut si
ibu. Dalam hal ini yang dimaksud kehdupan pertama itu adalah si Bayi. Untuk keselamatan bayi dalam perut
ibu inilah dilakukan upacara megedong-gedongan.
Upacara magedong-gedongan ini mempunyai makna bersyukur dan
berterima kasih kehadapan Tuhan atas segala anugrahnya. Dan mendoakan janin
yang lahir nanti selamat dan sempurna, juga merupakan salah satu unsur
pendidikan prenatal kepada janin yang masih di dalam kandungan dengannn upacara
ini secara rohani dia nantinya lahir menjadi anak yang taat beragama.
Kenapa dinamakan upacara magedong-gedongan? Mungkin hal ini
terkait dengan salah satu perangkat yang digunakan dalam pelaksanaan upacara
tersebut yaitu terdapat sebuah gedong atau bangunan gedong yang dibuat dari
daun janur, dan didalamnya diisi sebuah bungkak kelapa
gading
yang dirajah (digambar) seorang bayi. Gedong yang digunakan tersebut merupakan
symbol kandungan, sedangkan bungkak kelapanya adalah symbol si bayi yang berada
dalam kandungan. Disamping itu, tujuan upacara ini adalah agar anak yang akan
lahir kelak menjadi orang yang berguna di masyarakat dan dapat memenuhi harapan
orang tuanya.
Ada beberapa masalah yang harus diluruskan tentang
pelaksanaan upacara magedong-gedongan yaitu ada anggapan bahwa upacara
magedong-gedongan hanya dilakukan oleh wangsa tertentu, anggapan seperti ini
tidak benar sebab upacara magedong-gedongan adalah upacara manusa yadnya yang
pertama dan dilakukan terhadap ibu yang hamilnya sudah berumur. Dan satu lagi
ada anggapan bahwa upacara ini hanya dilakukan pada saat hamil pertama, hamil
selanjutnya pun harus dilakukan upacara magedong-gedongan ini.
3. Upacara Magedong-gedongan sebagai Upaya Pendidikan anak dalam Kandungan
Dalam ajaran agama Hindu upacara magedong-gedongan diyakini
sebagai salah satu bentuk pendidikan anak dalam kandungan. Hal ini karena,
upacara megedong-gedongan dapat memberikan efek
yang positif bagi ibu dan anak yang sedang dikandungnya. Si ibu yang
melaksanakan upacara magedong-gedongan merasa terlindungi, sedangkan anak yang
ada di dalam kandungan mengalami perasaan nyaman yang dirasakan oleh ibunya.
Upacara Megedong-gedongan adalah upacara yang terutama
ditujukan untuk bayi yang ada di dalam kandungan dan merupakan upacara pertama
yang dialami oleh si bayi sejak terciptanya sebagai manusia jasmani bayi
dianggap sempurna wujudnya ketika kandungan sudah berumur lebih dari 5 bulan
(perhitungan Bali) atau 6 bulan kalender. Oleh karenanya upacara tersebut
dilaksanakan setelah masa ini dan sedapat mungkin sebelum si bayi lahir.
(Swarsi, 2004)
Dalam buku yang berjudul Lectures On Religion Of the Semites (1989) Robertson Smith
mengemukakan tiga gagasan mengenai soal bahwa di samping sistem keyakinan dan
doktrin, sistem upacara juga merupakan suatu perwujudan dari religi atau agama
yang memerlukan studi dan analisa yang khusus. Hal yang menarik perhatian Robertson
Smith adalah bahwa dalam banyak agama upacaranya itu tetap, walaupun latar
belakang, keyakinan, maksud atau doktrinnya berubah.
Anak yang sejak dalam kandungan mendengarkan kidung-kidung
suci dan mendapatkan percikan air suci, serta diupacarai megedong- gedongan
niscaya akan menjadi anak yang Suputra, hal
ini sesuai dengan teori adaptasi yaitu, Adaptasi adalah suatu penyesuaian
pribadi terhadap lingkungan, penyesuaian berarti mengubah diri pribadi sesuai
dengan keadaan lingkungan, juga dapat berarti mengubah lingkungan sesuai dengan
keadaan keinginan pribadi. Maksudnya, anak yang berada dalam kandungan
beradaptasi dengan kondisi atau perasaan sang Ibu yang merasakan ketenangan
dengan melaksanakan upacara megedong- gedongan.
4. Tatanan Upacara dan Upakaranya
Upacara megedong-gedongan ini dilaksanakan dengan maksud
pembersihan, pemeliharaan atas keselamatan si ibu dan anaknya disertai pula
dengan pengharapan agar anak yang lahir kelak menjadi orang berguna
dimasyarakatdan dapat memenuhi harapan orang tuanya.
Menurut Lontar Kuna Dresthi, Upacara ini dilakukan setelah
kehamilan berumur diatas lima bulan Bali (enam bulan kalender). Kehamilan yang
berumur di bawah lima bulan dianggap jasmani si bayi belum sempurna dan tidak
boleh diberi upacara sebelum usia tersebut, maka upacara itu dianggap tidak benar
karena janin belum lengkap yang dapat dikatakan sebagai manusia. Tujuan pokok
upacara tersebut adalah agar ibu dan bayi yang dikandung dalam keadaan bersih,
terpelihara dan memperoleh keselamatan, serta sebagai ungkapan terima kasih
karena janin teah dapat tumbuh sempurna dan melampaui masa krisis.
Adapun upacara pagedong – gedongan itu pada pokoknya
terdiri atas:
-
Byakala
-
Peras
-
Daksina
-
Ajuman
-
Prayascita
-
Pagedong-gedongan
(Gedong)
-
Sayut Pengambean
-
Sesayut Pemahayu
tuwuh
Pagedong-gedongan (gedong) adalah sejenis sesajen yang
berbentuk gedong (rumah-rumahan), yang didalamnya dimasukkan beberapa
perlengkapan, seperti : beras, sebutir telur ayam, klungah nyuh gading,
segulung benang, uang kepeng 225 butir, dilengkapi dengan beberapa jenis banten
lainnya, seperti: canang tubungan, dan beberapa jenis rempah-rempah.
Banten pagedong – gedongan ini merupakan simbolik dari
perut ibu yang menggambarkan si bayi beserta saudara-saudaranya (Sang Catur
Sanak). Tujuan banten ini adalah mengandung arti simbolik agar kandungan si ibu
menjadi selamat, dan pemeliharaan keselamatan si bayi agar kuat nidasi, serta
selamat ada dalam kandungan, dapat berproses dengan sempurna sampai pada saat
kelahirannya nanti. Dan terakhir adalah upacara Ngelukat Bobotan. Upacara ini
agak jarang dilakukan masyarakat.
Kata Ngelukat Bobotan itu mengandung pengertian, peleburan
segala dosa dan kotoran (Ngelukat) dari kandungan (bobotan) seorang ibu. Jadi
upacara ngelukat bobotan ini adalah suatu upacara yang bertujuan melenyapkan
atau melebur segala noda kotoran (leteh) suatu kandungan dengan sarana
bebantenan, sesajen. Adapun sesajen (banten) yang digunakan dalam upacara
ngelukat bobotan ini, antara lain yang
terpenting
adalah : Air (tirta) penglukatan, Canang, Peras, Daksina, Lis, Isuh-isuh, serta
Banten Penglukatan di paon (dapur), biasanya berupa peras pengambean. Di
haturkan kehadapan Bhatara Brahma, agar beliau berkenan untuk melebur kotoran,
leteh pada ibu hamil.
Mantra yang biasa digunakan oleh para pendeta untuk memuja
Tirtha penglukatan tersebut :
“Om Sang Hyang Ayu munggah
pritiwi, pritiwi melomba-lomba, angebekin bwana, Om penglukatan dacamala,
kalukat metu sira anadi dewa, kalukat metu anadi bhujangga, kalukat metu sira
anadi jadma manusa, kalukat mameneng kapanggih sukha sugih, saisining rat bwana
kabeh, sapangangoning bumi,kelod kauh yeh minagakensudha dewa, sudamanusa, Om
sa ba ta a i na ma si wa ya”
Dari makna mantra tersebut diatas dapat disimpulkan bahwa,
tujuannya adalah memohon keselamatan dan kesucian agar ibu beserta bayinya
menjadi selamat, dan bersih lahir batin. Ucapan mantra itu mengandung
pengertian dan pengharapan agar ibu dan bayi dikandungnya mempunyai sifat-sifat
Dewa ( kebaikan), Bhujangga (orang yang memiliki ilmu pengetahuan, sastra dan
ilmu agama), dan juga memiliki sifat-sifat kemanusiaan. Disamping juga
bertujuan agar hidupnya nanti memperoleh kesenangan, kekayaan dengan berbagai
isi dunia dan lain-lainnya.
Upacara Ngelukat Bobotan ini biasanya dilakukan bila suatu
kehamilan itu mengenai wuku wayang, khususnya Tumpek Wayang. Karena hari yang
berwuku wayang di anggap sebagai hari yang jelek, kotor, leteh. Dan merupakan
hari (wuku)nya Bhuta Kala, yang mempunyai pengaruh-pengaruh negative terhadap
kehidupan manusia di dunia.
Dalam beberapa tingkatan upakaranya, sebagaimana juga
disebutkan dalam siwagama, Pagedong - gedongan ini terdiri dari beberapa
tingkatan upakara yaitu :
·
Bila Upakaranya yang kecil terdiri
dari byakala dan prayascita (untuk pembersihan), serta sesayut pengambean,
peras, penyeneng, dan sesayut pemahayutuwuh (untuk tataban).
·
Tingkatan upakara pagedong-gedongan
yang lebih besar terdiri dari byakala, prayascita dan panglukatan untuk
pabersihan sedangkan untuk tataban sama untuk tingkatan kecil dilengkapi banten
pagedongan manah. Jika upakaranya dilaksanakan pada hari-hari tertentu seperti
pada hari sabtu keliwon wuku Wayang (Tumpek Wayang), maka selain memohon
penglukatan pada hari tersebut, juga dimohonkan penglukatan di sungai yang
besar atau pancoran dengan pembuangan air yang deras dengan susunan acara
sebagai berikut:
1. Ibu
hamil diantar kesuangai atau pancoran bertongkat bungbung (seruas bambu yang
telah dibuang ruasnya), diikat dengan benang satu “tukel” ujung benang dipegang
oleh suami. Ada juga yang membuat permandian sementara dirumah dan
perjalanannya diwujudkan dengan mengelilingi tempat tersebut.
2. Sesampainya
di permandian, terlebih dahulu menghaturkan banten persaksian / atur uning
disertai menghaturkan pengresikan diteruskan kepada si Ibu hamil.
3. Selanjutnya
Si Ibu hamil disuruh mandi, mencuci rambut dan
selama mandi tetap menggunakan pakaian.
4. Setelah
selesai mandi lalu berganti pakaian dilanjutkan dengan bersembahyang diakhiri
dengan penglukatan.
5. Priyuk
untuk memohon penglukatan dengan perlengkapa (bunga dll) yang ada di dalamnya.
Ada juga yang menggunakan sangku sudamala.
6. Setelah
selesai melukat dipermandian, lalu kembali kerumah (bertongkat bungbung) untuk
mebyakala dan meprayascita
dihalaman
rumah atau dihalaman merajan / sanggah sesuai kebiasaan, dilanjutkan
bersembahyang di merajan sesuai dengan petunjuk pimpinan upacara. Menurut
lontar kuno Drsti hanya si suami yang bersembahyang sedangkan si istri / si Ibu
hamil duduk disebelahnya.
7. Setelah
itu mejaya-jaya, serta ngayab/natab banten pegedongan dan tataban. Upacara ini
dilaksanakan dikamar tidur ibu hamil dan
banten pagedongan dibiarkan sampai lewat tiga hari, sedangkan banten lainnya
boleh diambil/dilungsur pada hari itu. Khusus untuk bangunan pagedongan dengan
klungah nyuh gading, segulung benang, uang kepeng 225 butir, dilengkapi dengan
beberapa jenis banten lainnya, seperti canang tubungan dan beberapa jenis
rempah-rempah dibiarkan di kamar si Ibu hamil hingga melahirkan, dan saat
“nyakit” bukaan akan melahirkan, untuk mempercepat proses melahirkan, klungah
nyuh gading tersebut di kasturi, diminum airnya, bila isinya habis, diisi
kembali dengan tirta, kemudian tirtha tersebut diminumkan kepada si ibu.
Mamtram yang digunakan untuk
upacara pagedong-gedongan ini adalah: (http://www.babadbali.com/canangsari/banten/magedong2an.htm)
Om Sang
Hyang Paduka Ibu Pertiwi Bhetari Gayatri, Bhetari Sawitri, Bhetari Suparni,
Bhetari wastu, Bhetari Kedep, Bhetari Angukuni,
Bhetari Kundang Kasih, Bhetari Kamajaya-Kamaratih, Samudaya, iki tadah saji
aturan manusanira si (sebutkan
nama yang di upacarai) ajakan
sarongwangan ira amangan anginum, menawi ana kirangan kaluputan ipun den agung
ampuranen manusaniro, mangke ulun
aminta nugraha ring sira den samua aja sira angedonging, angancingin muwang
anyangkalen, uwakakena selacakdana uwakakena den alon sepunganenuta anak-anakan
denipun den apekik dirghayusa yowana weta urip tan ana saminiksan ipun. Om
Siddhirastu Swaha.
Artinya :
Om Sang
Hyang Widhi dalam manifestasi Bhatari Gayatri, Bhatari Sawitri, Bhatari Suparni, Bhatari Wastu, Bhatari Kedep,
Bhatari Angkuni, Bhatari Kundang Kasih, Bhatari Kamajaya Kamaratih, seperti
Yang Mulia Hyang Widhidara – Widhidari, Hyang Kuranta – Kuranti, kesemuanya
silahkan menikmati persembahan hambamu
si (nama yang di
upacarai), sertakan semuanya menikmati makanan – minuman, seandainya ada yang
kurang karena kelupaan olehnya, mohon dimaafkan hambamu, hamba mohon
waranugraha Hyang Widhi semoga tidak mendapatkan halangan, bukakanlah pintu
keselamatan, panjang umur dan kebahagiaan, semoga permohonan hamba terpenuhi.
III. KESIMPULAN
Upacara di Bali yang masih termasuk upacara tradisional,
merupakan suatu mata rantai yang tidak dapat dipisahkan dengan tattwa/filsafat,
yaitu merupaka tujuan dan pada ajaran agama Hindu, serta susila; yaitu aturan –
aturan yang patut dilaksanakan untuk mencapai tujuan.
Upacara Megedong – gedongan adalah Upacara yang ditujukan
kepada Bayi yamg masih berada di dalam kandungan dan merupakan upacara pertama
yang dilaksanakan pada saat Bayi berumur 5 bulan Bali (± 6 Bulan kalender),
karena wujud Bayi sudah dianggap sempurna.Pelaksanaan Upacara Magedong-gedongan
berfungsi sebagai penyucian terhadap Bayi.
Tujuan Pokok Upacara tersebut adalah agar Ibu dan bayi yang
dikandung dalam keadaan bersih, terpelihara, dan memperoleh keselamata, serta
sebagai ungkapan terima kasih karena janin telah dapat tumbuh sempurna dan
melampaui masa krisis. Disamping itu, tujuan utama upacara iniadalah agar anak
yang akan lahir kelak menjadi orang yang berguna di masyarakat dan dapat
memenuhi harapan orang tuanya.
DAFTAR PUSTAKA
Abu,
A. (1991). Perbandingan Agama. Jakarta:
Rineka Cipta.
http://www.babadbali.com/canangsari/banten/magedong2an.htm.
I.
B. Putu Sudarsana, M. (2001). Ajaran
Agama Hindu (Uparengga). Bali: Yayasan Dharma Acarya.
Maswinara, I.
W.
Maswinara, I. W. (1998). Proses
Terbentuknya Bayi Di Dalam Kandungan. Surabaya: Paramita.
Swarsi, S. G. (2004). Upacara
Daur Hidup (Bayi Dalam Kandungan s/d Satu Bulan Tujuh Hari). Surabaya:
Paramitha.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar