Adat, Tradisi, Agama, Budaya Hindu Bali

Jumat, 03 April 2020

MAKNA SIMBOL NYASA RUPA DALAM AGAMA HINDU

MAKNA SIMBOL NYASA RUPA
DALAM AGAMA HINDU

Oleh 
I Made Sudiantara
NPM : 191122
Mata kuliah : Pendidikan Agama Hindu

PENDAHULUAN 
Manusia sebagai mahluk sosial budaya tidak pernah terlepas dari penggunaan simbol. Makna simbol dalam kehidupan manusia bukan saja berguna untuk menyampaikan ekspresi jiwa atau idenya, tetapi juga diperlukan untuk mengikat tindakan manusia sebagai arah orientasi.
Simbol atau lambang tersebut merupakan sesuatu yang bersifat fungsional bagi kehidupan manusia. Di dalam kehidupan sehari-hari jelas dapat dilihat betapa pentingnya arti serta peranan simbol tersebut, contohnya : setiap ada upacara pemelaspasan bangunan suci maupun bangunan untuk perumahan selalu diisi dengan rerajahan (gambaran huruf) yang sering disebut “ulap-ulap”. Hal ini menunjukkan bahwa bangunan suci maupun perumahan sudah disucikan dan baru boleh menghaturkan persembahan berupa banten atau sesajen maupun sudah bisa ditempati.
Dapat pula diketahui secara pasti,  bahwa bangsa dan agama apapun yang dianutnya, tidak lepas dari penggunaan simbol atau lambang dalam kehidupannya, hanya saja jenis simbol atau lambang yang dipergunakan itu berbeda-beda. Misalnya lukisan burung Garuda yang bertuliskan “Bhinneka Tunggal Ika” adalah lambang negara Indonesia, lambang Swastika sebagai lambang keagamaan dalam agama Hindu, dan banyak lagi yang lainnya.
Dalam upacara keagamaan khususnya agama Hindu, banyak sekali digunakan simbol, misalnya dari segi ritmit diwujudkan dalam bentuk bebanten atau sesaji serta alat-alat upacaranya. Simbol-simbol tersebut merupakan media bagi umat Hindu untuk mendekatkan diri dengan Sang Pencipta, mengadakan dialog dengan Yang Maha Kuasa dan memohon perlindungan dan wara nugraha-Nya.
Umat Hindu tidak seluruhnya mampu memahami makna dan fungsi di balik simbol-simbol tersebut, banyak pertanyaan yang muncul dan mereka tidak puas dengan penjelasan bila tidak bersumber pada kitab suci Weda atau susastra Hindu lainnya. Tingkat pendidikan umat Hindu pada umumnya, menuntut pula pemahaman terhadap agama Hindu lebih dalam lagi termasuk pemahaman terhadap simbol-simbol tersebut.Simbol-simbol dalam agama Hindu sangat terkait dan tidak dapat dipisahkan dengan ajaran ketuhanan (teologi), karena simbol-simbol tersebut merupakan ekspresi untuk mendekatkan diri manusia kepada-Nya. Simbol-simbol tersebut berupa arca, pratima untuk para dewa, wahana dewata atau kendaraan para dewa, bangunan suci sebagai sthana untuk memuja-Nya. Di samping juga berupa mantra, mudra, yatra, rerajahan, huruf-huruf suci, juga persembahan suci berupa sesajen yang beraneka ragam dan lain-lain (Titib, 2001:1).
Tiap-tiap simbol mempunyai makna dan fungsi tertentu serta dengan pemahaman terhadap makna dan fungsi tersebut, umat Hindu mengembangkan apresiasi terhadap simbol-simbol tersebut, yang pada akhirnya dapat meningkatkan sraddha dan bhakti umat dan akhirnya menuntun tingkah lakunya dalam kehidupan ini.
Dalam ajaran agama Hindu terdapat konsepsi Ista Dewata yaitu bentuk-bentuk tertentu sebagai simbol dari Tuhan Yang Maha Esa atau  Ida Sanghyang Widhi Wasa yang dipilih untuk dipuja dalam melaksanakan persembahyangan meditasi atau semadhi (Santhi, 1983 : 8).
Tuhan yang disimbolkan dalam Ista Dewata itu seperti : padmasana, benda-benda tertentu (Pratima), gambar-gambar dan lainnya. Sesungguhnya bukanlah obyek dari Ista Dewata itu yang disembah atau dipuja melainkan Tuhan Yang Maha Esa atau manifestasi-Nya. Untuk sampai pada tingkat yang lebih tinggi tentang adanya Tuhan, maka seseorang harus berjuang terus dengan penuh kesujudan. Ia hendaknya mulai berusaha melihat Tuhan setidak-tidaknya dalam suatu obyek dengan jalan mengkonsentrasikan objek itu sendiri sebagai Tuhan.
Sesungguhnya, umat Hindu berpikir tentang Tuhan melalui banyak jalan dan menyembah berbagai bentuk. Dalam hal ini, Tuhan diberi nama sendiri-sendiri oleh para Maharsi, untuk membantu umat Hindu dalam memuja-Nya. Ini berarti ketidakterbatasan bentuk dari Tuhan Yang Maha Esa untuk memanifestasikan diri-Nya,  agar dapat  dipuja  menurut  keinginan  dan  kapasitas  serta  kemampuan pemuja-Nya.Agama Hindu menyadari keterbatasan psikologi seseorang. Tidak semua orang dalam suatu tingkat tertentu dapat mengungkapkan Tuhan dalam bentuk abstraknya tanpa wujud nyata, untuk mengarahkan pikiran menuju dan memudahkan konsentrasi. Maka dari itulah diperlukan suatu bentuk tertentu (Pratima), Padmasana ataupun gambar-gambar yang nyata.
Untuk menuju Tuhan berdasarkan ajaran agama Hindu terdapat empat jalan sebagai usaha manusia untuk dapat memahami sifat-sifat dan keadaannya. Keempat jalan itu disebut dengan Catur Marga yaitu : Raja Yoga Marga (jalan melalui renungan batin), Jnana Marga (jalan melalui pengalaman ilmu pengetahuan), Karma Marga (jalan melalui pengorbanan, tingkah laku dan perbuatan), dan Bhakti Marga (jalan melalui sujud bhakti atau penyerahan diri). 
Keempat jalan ini mempunyai cara-cara tersendiri dan tidak semua orang dapat menempuh semua jalan itu. Walaupun demikian, setiap orang boleh memilih jalan yang dianggap tepat dan dapat dilaksanakan sesuai dengan kemampuannya. Untuk mencapai tujuan hidup beragama, dalam agama Hindu banyak menggunakan simbol atau lambang yang disebut dengan Nyasa Rupa. Nyasa Rupa dapat diartikan menggunakan sebagai asalnya, seperti : membuat gambar atau huruf-huruf, bentuk mantra-mantra dan lain sebagainya.
Meskipun umat Hindu telah mengetahui dan melihat langsung bentuk-bentuk Pelinggih Padmasana, bebanten atau sesaji serta upacara, gambar-gambar, Pratima, mantra-mantra dan lain-lainnya, akan tetapi mereka belum mengetahui secara jelas bahwa semua itu merupakan Nyasa Rupa dari  Ida Sanghyang Widhi yang diwujudkan ke dalam bentuk-bentuk tertentu, agar dengan mudah menghubungkan diri kepada Tuhan atau Ida Sanghyang Widhi. Oleh karena itulah, penulis sangat tertarik untuk membuat tulisan dengan judul “Makna Simbol Nyasa Rupa dalam Agama Hindu”.
Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, maka tulisan ini membahasa tentang (1) Apakah makna simbol Nyasa Rupa dalam agama Hindu?.

PEMBAHASAN
Makna Simbol Nyasa Rupa Dalam Agama Hindu
Karena banyaknya bentuk Simbol Nyasa Rupa dalam Agama Hindu, maka dalam penelitian ini hanya akan membahas simbol Nyasa Rupa berupa padmasana, swastika dan padma.
Padmasana
Kata padmasana berasal dari kata padma dan asana yang artinya tempat duduk dari bunga Teratai. Umumnya daun bunga Teratai itu selalu berjumlah delapan lembar, sehingga tepat sekali dipergunakan sebagai simbol atau lambang AstaiƧwarya yang menguasai delapan penjuru mata angin. Bunga Padma selalu dikaitkan dengan linggih dewa-dewa ataupun linggih Sanghyang Widhi serta merupakan bunga yang dianggap mempunyai kesucian yang lebih dari yang lain.
Sedangkan Padmasana dalam pengertian umum di masyarakat Bali sekarang tidak lain adalah sebuah bangunan yang puncaknya berbentuk kursi dan dibelakangnya berisi lukisan angsa dan garuda serta dasarnya memakai Badawangnala dililit oleh dua ekor naga.
Meskipun dalam bangunan ini tidak ada melukiskan bunga Teratai, baik di dalam struktur maupun hiasannya. Untuk mengetahui hal ini perlu kiranya dipetik satu bait puja sebelum Ida Padanda Siwa maupun Budha pada waktu ngelinggihang atau mensthanakan Sanghyang Widhi, adapun puja beliau adalah sebagai berikut.

Purwaka Weda Bhuda
Om om kurnahriya namah
Om om Anantasanaya namah
Om om Singasanaya namah
Om om Padmasanaya namah
Om om Dewasanaya namah

Purwaka Weda Siwa

Om om Kurnagriya namah
Om om Anantasanaya namah
Om om Caturiswaryaya namah
Om om Padmasanaya namah
Om om Dewa Pratistaya namah (Putra, 2005;19)

Meskipun di dalam puja Purwaka Weda Budha dan Purwaka Weda Siwa ini ada sedikit perbedaan di mana singhasana dalam Budha diganti dengan caturiswarya dalam Siwa dan Dewasana diganti dengan dewa Prastista, ternyata perbedaan ini tidak mengubah maksud atau hakekatnya karena singasana itu adalah simbol dari segi empat. Untuk lebih jelasnya kiranya perlu dikutip petikan dari “Karanagama” sebagai berikut  
Singhasana catur
Anantanca Trilokanam
Padranca vartulakaran
Satkonan vimalacanam
Yogasanam Casta konan,... dan seterusnya.

Terjemahannya   :

Singhasana adalah segi empat
dan Anantasana adalah segitiga
dan Padmasana adalah bulat
Vimalasana adalah asana yang segi enam
Yogasana adalah asana segi delapan
.................... dan seterusnya  (Putra, 2005; 19)

Dalam uraian di atas dapat diketahui bahwa Ida Pedanda sebelum memuja, beliau membuat Padmasana dalam wujud mantra. Kini perlu diteliti lebih jauh apakah ada hubungannya puja purwaka Ida pedanda dengan bentuk bangunan Padmasana yang lazim  dijumpai di Bali.  
Pertama disebutkan dalam puja adalah Kurmagni yang tidak lain adalah Badawangnala (Badawang api). Adapun di dalam bangunan Padmasana, Badawangnala ini pulalah yang menjadi dasar, dengan demikian sudah sesuai. Pada bait kedua disebutkan Anantasana. Anantasana artinya segitiga. Di dalam bangunan Padmasana, Anantasana dilukiskan dengan naga, yang badannya melilit Badawangnala (bentuk datar) dengan kepala mencuat ke atas dan kalau ditarik garis lurus (┴) akan menjadi segitiga.
Kata Anantasana itu ada hubungannya dengan naga Anantaboga, tetapi di sini lebih cenderung kepada bentuk segitiga yang ada hubungannya dengan sikap ular kobra yang ada di India, dengan kepalanya selalu berdiri dalam sikap waspada.
Segitiga itu juga merupakan simbol dari tiga naga yaitu anantaboga yang berasal dari penjelmaan Bhatara Brahma, naga Basuki yang berasal dari penjelmaan Bhatara Wisnu, dan naga Taksaka yang berasal dari penjelmaan Bhatara Iswara, pada saat Sanghyang Tri Murti ingin menyelamatkan manusia dari penderitaan. Demikianlah  disebutkan di dalam Sri Purwana  Tattwa dan  Siwa  Gama (Putra, 2005 : 20). Selanjutnya pada bait ketiga ada disebutkan Singgasana atau Caturiswarya. Singgasana yang diartikan kursi kebesaran, secara kenyataan bentuknya memang segi empat, memang betul kita jumpai pada bagian atas dari bangunan Padmasana.
Dalam bait keempat disebutkan Padmasana dan bait kelima disebutkan dewa Pratista. Mengenai bait kelima dewa Pratista (dewa berdiri) memang tidak dilukiskan di dalam bangunan karena Beliau baru ada di atas Padmasana kalau sudah ada upacara atau setelah dipujai oleh Ida Pedanda. Mengenai bait keempat yaitu Padmasana dapat dijumpai di dalam puja (Stawa) saja sedangkan bentuk Padma tidak pernah dilukiskan di atas singgasana, lalu di mana bentuk Padma itu terletak, padahal Padma inilah terpenting sehingga bangunan itu bernama Padmasana. Apakah cukup dengan puja-puja saja?. Untuk itu perlu diteliti satu sumber lagi yang merupakan persyaratan isi sebuah bangunan Padmasana. Adapun yang dimaksud adalah “Pedagingan” atau “Pesimpenan”.
Di dalam Lontar Widhisastra ada menyebutkan jenis pedagingan untuk gedong, meru dan Padmasana serta bangunan lainnya yang masing-masing ada perbedaannya. Pedagingan untuk Padmasana terdiri dari banten suci, peras dan sebagainya yang terdiri dari benda logam (Panca Datu) adalah lima logam yaitu : mas (kuning), perak (putih), tembaga (merah), besi (hitam) dan permata (warna campuran). Sebagai akar pesimpenan (pedagingan) adalah uang bolong, logam, mas, perak, tembaga, besi ini diwujudkan dalam bentuk kuwali, perabot pande (perkakas pande) jarum biasanya dibuat dari besi atau baja,. mas, perak, tembaga dibuat bentuk berupa bedawang, naga, kursi, padma dengan ditengah-tengahnya berisi mirah (permata). Selain itu dibuatkan juga “Sampian”, tumpeng, udang, yuyu, nyalian dan sebagainya. Tetapi yang terpenting di antara pesimpen ini adalah bedawang, naga, kursi dan padma (yang berdaun delapan dengan sarinya permata). Bedawang dan naga ditaruh di dasar bangunan padma. Kursi di tengah (madya dari padmasana) dan padma yang bersarikan permata ini disimpan di bagian puncak dari bangunan padmasana.
Disinilah letak rahasia dari bangunan tersebut yang dinamakan Padmasana, karena memang demikianlah bangunan itu bagian puncaknya berisi padma, sehingga antara puja dan bangunan tersebut tidak ada pertentangan. Di dalam bangunan Padmasana banyak memakai hiasan-hiasan yang dipakai sebagai simbol antara lain  :
Bedawangnala
Di dalam Purana dilukiskan bahwa api kemarahan yang lahir dari Bhagawan Breghu berwujud sebagai aurvagni yang di buang ke dasar lautan. Di dalam lontar Kanravasrama disebutkan bahwa dasar dari gunung Mahameru itu adalah Bedawangnala. Di dalam dongeng-dongeng di Bali disebutkan bahwa dasar bumi ini adalah Badawangnala. Agar dunia ini tidak bergerak atau gempa, maka bedawangnala ini diikat oleh naga. Kalau naga ini terlena (lengah) dan bedawangnala bisa sampai bergerak maka terjadilah gempa dan jika demikian, maka manusia cepat-cepat memukul kentongan atau apa saja yang bisa berbunyi gaduh, dengan tujuan agar naga itu bangun dari tidurnya dan melakukan kewajibannya kembali mengikat bedawangnala itu. Ditinjau dari segi arti kata, maka bedawangnala berarti bedawang api. Di dalam upacara membangun sebuah Padmasana selalu sebagai dasar dipergunakan batu merah yang disurati dengan huruf “Ang”. Adapun huruf Ang itu adalah simbol dewa Brahma sebagai penguasa panas atau api. Berdasarkan uraian di atas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa bedawangnala adalah simbol panas api di dalam bumi.
Naga
Lukisan naga yang melilit bedawangnala itu kadang-kadang dilukiskan satu ekor, dua ekor dan bahkan sering pula pada bagian atas singgasana yang berwujud sebagai kursi, sebagai lengan atau dinding samping kursi digambarkan berupa dua ekor naga bersayap. Di dalam mythologi Siwagama dan Sri Purana Tattwa disebutkan bahwa setelah kami diciptakan oleh Bhatari Uma dan Bhatara Siwa, lengkap dengan manusia serta segala isinya, maka suatu saat terjadi bencana, di mana tumbuh-tumbuhan tidak bisa hidup, air tidak berkasiat, serta udara menimbulkan penyakit, maka belas kasihanlah Sanghyang Tri Murti, sehingga Beliau turun ke dunia untuk membantu manusia. Setelah sampai di dunia Bhatara Brahma masuk ke dalam tanah (perthiwi) dan berwujudlah Beliau sebagai Sanghyang Amartabhoga. Bhatara Wisnu terjun ke air dan menjadilah Beliau sebagai Sanghyang Naga Basuki serta Bhatara Iswara terjun di udara menjelmalah Beliau menjadi Naga Taksaka. Mengambil kisah dari mithologi ini dapat disimpulkan bahwa bedawangnala itu dililit oleh Anantabhoga yaitu kulit bumi, oleh Naga Basuki yaitu samudra dan sungai-sungainya serta oleh Naga Taksaka yaitu udara atau atmosfir. Di atas bumi dan atmosfir ini barulah dewa-dewa bertahta, ada kiblat timur, barat, utara dan selatan. Inilah yang dilukiskan dengan catur lokapala, lukisan segi empat atau singgasana. Puncaknya adalah Ida Sanghyang Widhi. Kesimpulannya Padmasana adalah gambar bumi, oleh karena manusia ingin mendulukan kemakmuran dan kesejahteraan.
Garuda
Burung garuda adalah burung yang menjadi mithos dalam agama Hindu dan sangat populer atau banyak penggunaannya di dalam upacara-upacara di Bali. Misalnya : burung garuda dipergunakan untuk menghias bagian belakang padmasana, bagian belakang dari bale (wadah), di taruh di bale gede, dipakai kober dan di dalam banten pedudusan, nasi yang digambarkan berbentuk garuda yang dinamai nasi garuda dan banyak lagi penggunaan-penggunaan simbol garuda itu. Sekarang timbul pertanyaan mengapa burung garuda yang dipakai dan menempati kedudukan yang istimewa di dalam pandangan agama Hindu ? Hal ini dapat dijelaskan dengan mengambil cerita dari Adi Parwa, bagian yang mengenai “Sang Garuda”. Adapun ringkasan ceritanya sebagai berikut  :
Sang Kadru dan Sang Wirata adalah istri-istri dari Bhagawan Kasyapa. Sang Kadru berputra naga-naga yang ribuan jumlahnya sedangkan Sang Winata berputrakan Sang Arura dan Sang Garuda. Pada suatu saat Sang Kadru dan Sang Winata membicarakan tentang warna kuda Ucchaisrawa yang keluar dari pemutaran Gunung Mandaragiri, Sang Kadru mengatakan  warna kuda itu hitam, sedangkan Winata sebaliknya yaitu putih. Keduanya saling teguh mempertahankan pendapatnya dan akhirnya mereka sepakat untuk bertaruhan mengenai kebenaran warna kuda itu, siapa yang kalah akan menjadi budak dari yang menang.
Setelah  itu Sang Kadru pulang berjumpa dengan putranya para naga itu, serta menceritakan jalannya perbantahan yang berakhir dengan taruhan. Para naga lalu memberitahu pada ibunya bahwa warna kuda Ucchaisrawa itu memang betul-betul putih, oleh sebab itu bersedihlah Sang Kadru dan minta tolong pada Sang Naga bagaimana menghindar dari kekalahan dan perbudakan. Sang Naga mendapat akal dan hari itu pula mereka bersama-sama pergi ke tempat kuda Ucchaisrawa dan beramai-ramai menyemburkan bisanya pada tubuh kuda itu, karena kehebatan bisa naga itu, maka berubahlah warna kuda tersebut dari warnanya yang putih kemudian menjadi hitam.
Besoknya setelah Sang Kadru dan Sang Winata bersama-sama membuktikan rupa kuda itu, ternyata memang hitam, sehingga kalahlah Sang Winata dan selanjutnya menjadi budak. Demikianlah kerja Sang Winata sehari-hari mengembala ular dan sore hari baru pulang. Setelah Sang Garuda lahir, maka bertanyalah Sang Garuda atas kepergian ibunya setiap hari. Sang Winata memberitahu duduk persoalannya. Kemudian Sang Garuda meminta agar dialah yang menggantikan tugas mengembala itu. Permintaan itu disetujui oleh Sang Winata, jadilah Sang Garuda budak dari para naga.
Setelah lama menjadi pengembala, bertanyalah Sang Garuda kepada para naga, bagaimana caranya serta apapun tebusannya yang bisa digunakan agar dia berhenti jadi budak. Sang Naga memberitahu Sang Garuda boleh berhenti jadi budak, kalau bisa memberi tirtha amertha (tirta yang menyebabkan tidak bisa mati-mati kalau dapat meminumnya).
Demikianlah Sang Garuda mencari tirtha amertha itu ke sorga sampai berperang dengan para dewa-dewa dan Bhatara Wisnu. Setelah terjadi perang dimana tidak ada yang kalah, maka Bhatara Wisnu mengusulkan suatu kompromi yaitu Sang Garuda boleh mendapatkan tirtha Amertha yaitu dengan catatan dia harus bersedia menjadi kendaraan Bhatara Wisnu. Tirtha tersebut, kemudian diserahkah kepada para naga dengan catatan sebelum meminumnya, harus bersuci-suci (mandi) terlebih dahulu. Oleh karena semua naga itu, ingin paling dulu meminum maka, semua cepat¬-cepat mandi dan meninggalkan tirtha itu tanpa penjaga di tempat yang terbuka, maka datanglah Bhatara Wisnu mengambil kembali tirtha itu karena ditinggal begitu saja. Oleh sebab itu orang-orang tua sering menasehati jangan menaruh tirtha di tempat terbuka tanpa alas canang karena dianggap tidak ada yang memiliki. Para naga yang sudah habis mandi semua kecewa karena tirtha tersebut tidak ada, lagi dan walaupun demikian berhasil juga menjilati ujung alang-alang pada bekas tirtha itu ditempatkan, maka dari itu lidah ular (naga) itu terbelah karena menjilati alang-alang (ambengan). Oleh sebab itu daun alang-alang dianggap memiliki kekuatan amertha dan dipergunakan sebagai alat untuk memercikkan tirtha serta alat-alat lainnya seperti : karawista banten Dewa-Dewi dan sebagainya. Adapun simbol yang didapat dalam cerita ini yaitu  :
Naga adalah simbol dari bumi (tanah, air dan udara yang tidak lain digambarkan sebagai induknya naga yaitu Anantabhoga, Basuki dan Taksaka).
Naga adalah simbol dari harta benda yang telah dapat menipu manusia agar menjadi budaknya.
Sang Garuda mendapat dosa warisan menggantikan ibunya menjadi budak, dan perbudakan ini bisa ditebus dengan Amertha. Kata Amertha berasal dari kata mrt artinya mati, dan Amertha artinya tidak mati-mati. Ini berarti bahwa manusia sejak lahir sudah perlu makan dan minum, serta udara bersih, sebagai simbol bahwa manusia diperbudak oleh kebutuhan tubuhnya.
Apa yang tidak mati-mati di dunia ini ? Yang tidak mati-mati adalah Ida Sanghyang Widhi. Jadi  Sang Garuda adalah simbol manusia yang sejak lahir diwarisi oleh keterikatan terhadap harta benda duniawi, berupa hasil bumi, air dan udara yang setiap hari lapar dan haus seolah-olah diperbudak oleh kebutuhan terhadap benda itu. Untuk melepaskan diri dari perbudakan dan keterikatan dari benda duniawi, maka ingatlah kepada Tuhan, dengan Amertha ini manusia bisa membebaskan diri dari keterikatan duniawi.
Jadi, patung atau gambaran garuda itu dipakai di dalam berbagai upacara penyucian dan bertujuan agar Sanghyang Atma atau jiwa seseorang bisa menyadari janganlah lagi serakah dan terikat (pamerih) baik semasih hidup maupun setelah meninggal.
Gambar Angsa
Di belakang sebuah Padmasana atau sebuah wadah sering dijumpai ada hiasan berwujud angsa. Dan anehnya angsa yang dilukiskan selalu dengan kedua sayapnya terkembang. Di dalam lontar indik Tetandingan, dapat dijumpai bahwa lukisan angsa dengan sayap terkembang itu adalah simbol dari Ongkara yaitu kedua sayapnya melukiskan ardha candra (bulan sabit), kepalanya yang mendongak ke atas adalah simbol dari nada, serta badannya yang bulat lukisan windu. Jadi angsa dengan sayapnya terkembang adalah simbol Ongkara. Di samping pada Padmasana dan wadah (bale) wujud angsa ini juga dapat dijumpai dalam penjor pemukuran (waktu nyekah) dan mungkin ada pula dalam upacara-upacara lainnya. Sehingga timbul pertanyaan mengapa justru angsa, bukan ayam atau burung yang lainnya dipakai.
Rupanya simbol dalam upacara itu mempunyai arti yang dalam. Sebagaimana diketahui angsa itu adalah satu kendaraan Sanghyang Saraswati, angsa itu adalah simbol ketenangan, warna putihnya menimbulkan kesucian, ketelitian memilih makanan walaupun paruhnya masuk ke lumpur yang busuk, tetapi lumpur itu tidak termakan, hanya makanan yang patut menjadi makanan sajalah yang dimakan.
Angsa adalah simbol dari kebijaksanaan memilih. Di samping itu angsa juga simbol kewaspadaan karena baik siang maupun malam seolah-olah tidak pernah tidur. Maka dari itu angsa  sering dipakai sebagai penjaga rumah, kalau malam-malam ada orang masuk ke dalam rumah, tentu angsa itu akan ribut (Putra, 2005 : 27).
Lambang Swastika
Swastika sebagai lambang keagamaan (religius simbol) adalah alat pembantu pengikat hati dan keyakinan untuk lebih mendekatkan perasaan kepada cita-cita hidup keagamaan. Perputaran alam semesta (Bhuwana Agung) dituangkan ke dalam lambang atau lukisan Swastika yang dapat menimbulkan getaran perasaan sebagai hasil kreasi yang memberikan inspirasi hidup dengan mengakui akan kebesaran Ida Sanghyang Widhi Wasa, manusia beserta sekalian makhluk hidup mempunyai keserasian menyesuaikan hidupnya dengan hukum alam (Cakra Menggilingan) atau Cakra Pranawa. Perwujudan keseimbangan dunia dengan romantikanya, dinamikanya dan dialektikanya adalah merupakan Kemahabesaran-Nya, yang menyerasikan siang-malam, hujan-panas, hidup-mati.
Inspirasi yang dihubungkan dengan perputaran dunia (Cakra Manggilingan) tersebut d iatas ditautkan dengan aspirasi kesucian agama menimbulkan keyakinan suci yang memberikan ketenangan, ketentraman, serta kebahagiaan hidup menurut hukum kejiwaan (spiritual Law) (Mantra, 1956 : 15). Penggunaan Lambang Swastika yang bertentangan dengan idiil kesucian dan hukum kejiwaan yang terkandung didalamnya berarti bertentangan dengan arus geraknya Cakra Manggilingan itu akan digilas sendiri oleh kekuatan magisnya. Oleh karena itulah Hitler yang mempergunakan lambang Swastika yang diletakkan miring maka ia digilas hancur karena menyelewengkan serta praktek-praktek yang bertentangan dengan arti Swastika.
Swastika adalah simbol dari keberuntungan atau keselamatan. Lambang Swastika sering ditempelkan atau digambarkan di pintu masuk, di tembok rumah, atau bangunan, bahkan pada binatang ternak. Hal ini dipercaya memberikan perlindungan dari pengaruh negatif, kekuatan jahat atau roh-roh jahat dan kekuatan alam yang dapat menimbulkan kekacauan.
Swastika juga melambangkan ilmu pengetahuan yang transenden., yang digambarkan sebagai melingkar-lingkar, karena seseorang tidak dapat begitu saja mengartikannya secara langsung. Oleh karena hakekat ilmu yang transenden itu di luar logika manusia, maka garis perpotongan yangb sederhana tidak hanya menggambarkan ruang yang direduksi dalam satu kesatuan, tetapi juga lapangan dari manifestasi eksternal yang berasal dari titik pusat “bindu”, simbol ether yang mengembang keempat penjuru dan menjadi empat unsur alam semesta. Hal ini ditunjukkan dengan cabang yang melingkar dari lambang keberuntungan berupa Swastika. Pengetahuan transenden yang merupakan aspek Ketuhanan hanya bisa dicapai secara tidak langsung, melalui jalan kanan atau kiri. Ini dilambangkan dengan dua cabang dari Swastika yang dapat dibengkokkan melingkar. Digunakan di mana saja dalam kaitan memohon keberuntungan, untuk mengingat keagungan Tuhan Yang Maha kuasa, yang tidak dapat dicapai dengan pemahaman logika dan kendali manusia (Titib, 2001; 375).
Di Bali bentuk “Swastika” yang sangat sederhana adalah tapak dara yang disimbolkan seperti tanda tambah (+)  yang juga mengandung arti mengembalikan keseimbangan, mewujudkan stabilitas baik dalam diri sendiri maupun lingkungan sekitar. Sebagaimana telah disebutkan di atas bahwa Swastika itu adalah yang terdahulu dari semua lambang-lambang yang ada. Diketemukan sejak jaman prasejarah di antara bangsa Arya penghuni negeri India dan dari sanalah menyebar keseluruhan penjuru dunia melalui musafir-musafir, sehingga sudah dikenal juga jaman perunggu di Eropa Barat sebagai suatu ragam hias meander (Agung Oka, 1968 : 18).
Perkembangan Swastika pada jaman perunggu di Eropa Barat berkisar antara tahun 2000 sampai 1000 sebelum Masehi, dapat dibayangkan betapa lama dan sangat jauh dari sumber aslinya. Kemudian sampai di Tiongkok, yang mengalami perubahan menjadi bentuk menjadi Yin dan Yang yaitu yang mengatur jalannya Tau (Peredaran Alam). Yin atau Im sama dengan Pradana atau Prakerti yaitu negatif. Yang sama dengan Purusa yaitu positif.
Padma (Bunga Teratai)
Padma ialah nama teratai yang berwarna merah, sebagai lambang kesadaran atau ilmu pengetahuan dan filsafat untuk mencapai kesucian, dekat kepada Tuhan. Padma ini dipakai juga untuk perhiasan ukir-ukiran di dalam Pura. Patung-patung atau Arca-arca yang kuna biasanya berdiri di atas padmasana, yang melambangkan tempat kesucian atau lazim di Bali disebut “Pelinggih Sanghyang Widhi”. Juga di dalam upacara-upacara Ngaben (pembakaran mayat) dan lain-lainnya. Lukisan ini selalu digunakan, yang dianggap sebagai pancaran sinar Sanghyang Widhi. Perhiasan Padma ini ditulis di atas sebuah perisai. Dari gambar Padma itu kemudian digambarkan Padma yang berdaun lancip, merupakan lidah api dan untuk sarinya sering diganti dengan huruf gaib “Ongkara”. Lukisan itu sering disebut dengan Padma “Astadala (Teratai delapan daun). Delapan daun itu adalah lambang delapan pancaran sifat agung kemahakuasaan Sanghyang Widhi yang lazim di Bali disebut “Asta IƧwarya” (Ginarsa, 1985 : 40)
Di dalam Wedaparikrama Bagian V diuraikan tentang Pasang Astadala Nyasa. Yang dimaksud dengan Pasang Astadala Nyasa adalah meletakkan daun-daun bunga Teratai pada pinggiran mulut Argha, sehingga melukiskan bentuk Maha Padma (kembang Teratai besar), sebagai lambang Padmecwara. Tiap-tiap daun bunga Teratai melukiskan satu bentuk Nyasa (simbol) yang menggambarkan kekuatan-kekuatan yang ditugaskan menjaga Amertha. Astadala adalah delapan helai daun bunga Teratai melukiskan delapan jenis kekuatan atau dewata menurut kedudukannya  pada  arah  yang masing-masing disebut dalam mantra sebagai berikut .
1. Maha Padma Mantra
Om Brahmi wicet swaha; (Purwa)
Om Maheswari wicet swaha; (Daksina)
Om Kaumari wicet swaha;  (Uttara)
Om Waisnawi wicet swaha;  (Pascima)
Om Warahi wicet swaha;  (Agneya)
Om Indrani wicet swaha;  (Airsanya)
Om Camundi wicet swaha;  (Nairrtya)
Om ganendri wicet swaha;  (Wayawya)

Terjemahannya :

Om Semoga Brahmi menjelma swaha; (Timur)
Om Semoga Mahadewi menjelma swaha; (Selatan)
Om Semoga Kaumari  menjelma swaha; (Utara)
Om Semoga Waisnawi menjelma swaha; (Barat)
Om Semoga Indrani menjelma swaha; (Tenggara)
Om Semoga Camundi menjelma swaha; (Barat daya)
Om Semoga ganendri menjelma swaha; (Barat laut)

2. Kuta Mantra :
  Om hram hrim sah Parama Ƈiwa Adityaya namah swaha.
Terjemahannya

 Om hram hrim sah sujud kepada Ƈiwa Aditya yang utama swaha.
Senada dengan hal di atas, disebutkan pula dalam Catur AiƧwarya Nyasa sebagai berikut  : Pemasangan catur AiƧwarya yaitu empat jenis bentuk saktinya IƧwara pada tiap sudut Anantasana sebagai Singgasana-Nya. Adapun mantranya adalah sebagai berikut  :
Om Rm Dharmaya simha-rupaya sweta warnaya namah
Om Rrm Jnanaya simha-rupaya raktawarnaya namah
Om Lm Waisagyaya simha-rupaya pitawarnaya namah
Om Llm  AiƧwarya  simha-rupaya krsnawarnaya namah

Terjemahannya
Om sujud kepada Rm, Hukum yang abadi, berbentuk singa yang berwarna putih.
Om sujud kepada Rrm, Pengetahuan, berbentuk singa berwarna merah.
Om sujud kepada Lm, tidak berkeinginan, berbentuk singa berwarna kuning
Om sujud kepada Llm, berkuasa berbentuk singa berwarna hitam.

Dari beberapa uraian diatas dapat dijelaskan Mantra astadala di atas menjadikan dewa hadir pada delapan kardinal arah. Dengan kehadirannya itu penjagaan amertha dianggap selesai dan karenanya ditutup dengan kuta mantra, sebagai tanda penghormatan kepada Ƈiwa Aditya yang telah menjadikan para dewa hadir.
AiƧwarya adalah kemahakuasaan Tuhan yang terdiri dari delapan kekuatan yaitu disebut anima, laghima, mahima, prapti, prakamya, waƧitwa, iƧitwa, dan yatrakamawa sayitwa, yang kalau diartikan sebagai berikut  : Anima yaitu sifat kekuasaan Tuhan yang sangat halus, Laghima yaitu sifat kemahakuasaan Tuhan yang sangat ringan, Mahima yaitu sifat kemahakuasaan Tuhan yang luar biasa besarnya dan luasnya sehingga tak terbatas oleh apapun juga, Prapti yaitu sifat kemahakuasaan Tuhan yang dapat mencapai daerah manapun juga, Prakamya yaitu sifat kuasaan Tuhan yang kehendaknya selalu berisidan tercapai, IƧitwa yaitu sifat kemahakuasaan Tuhan  yang melebihi segala-galanya sehingga merajai alam semesta ini, sehingga ia bergelar IƧa (raja), WaƧitwa yaitu sifat kemahakuasaan Tuhan yang sangat kuasa, yatrakamawasayitwa yaitu sifat kemahakuasaan Tuhan yang kehendaknya maupun kodratnya tak ada yang dapat merubahnya. Kedelapan sifat ini bersemayam pada-Nya, yang dilambangkan sebagai singasana, meliputi seluruh alam semesta. Dalam bentuk catur IƧwarya kemahakuasaan itu dihubungkan dengan letaknya pada empat penjuru alam semesta yang disebut kekuatan aktif, yang dilambangkan dengan Dharma, yaitu hukumnya, Jnana yaitu sifat pengetahuannya, Wairagya yaitu sifat sempurnanya, sehingga tidak mempunyai keinginan yang tak terpenuhi, AiƧwarya yaitu sifat kemahakuasaan-Nya yang terdiri dari delapan AiƧwarya itu dengan masing-masing kedudukannya pula. 
Kata singa (simha) dipergunakan sebagai lambang kekuasaan, singa terkenal sebagai raja seluruh binatang buas yang sangat ditakuti. Kata singa juga dihubungkan dengan arah, warna dan mudra yang harus dipergunakan sebagai identitasnya yaitu  :
1. Dharma berkedudukan di Tenggara, warna putih, mudranya Ƈara mudra.
2. Jnana berkedudukan di Barat-daya, warna merah, mudranya Ƈikha mudra.
3. Wairagya berkedudukan di Barat-laut, warna kuning, mudranya kawaca mudra.
4. AiƧwarya berkedudukan di Timur-laut, warna hitam, mudranya parasu mudra.
Dalam mantra di atas terdapat empat bentuk bijaksara yang membentuk bija mantra yaitu : Rm, Rrm, Lm dan Llm yang banyak dipakai dan artinya masing-masing adalah sebagai berikut  :
Rm (Rmkara), (Ia) yang menimbulkan perasaan yang mendalam dan selalu aktif.
Rrm, (Ramkara), (Ia) yang dapat memberikan kepuasan yang datang dari yang bercahaya terang benderang.
Lm (Lamkara), (Ia) yang dapat memberikan kepuasan yang datang dari pada-Nya kepada seluruh isi alam.
Llm (Lamkara), (Ia) yang dapat menimbulkan rasa kagum yang datang daripada-Nya.
Demikianlah beberapa bentuk Simbol Nyasa Rupa yang dapat penulis kemukakan dalam penulisan ini, agar lebih jelas diketahui tentang Simbol Nyasa Rupa tersebut.
PENUTUP
Dari uraian pembahasan sebelumnya, maka dapat penulis simpulkan makna dari simbol Nyasa Rupa dalam agama Hindu adalah bahwa untuk dapat menghadirkan Tuhan yang transenden yang  berbentuk acintya (tidak terpikirkan) dalam pikiran dan diri manusia, maka Beliau diproyeksikan dengan beragam simbol untuk mewakili keberadaan-Nya dalam kehidupan sebagai salah satu perawatan iman umat Hindu.
Sebagai akhir saran yang dapat penulis berikan adalah Nyasa Rupa yang digunakan dalam agama Hindu baik dalam bentuk benda-benda suci, patung-patung, bangunan-bangunan suci, alat-alat upacara, maupun mantra-mantra suci, penggunaannya harus dipergunakan untuk kepentingan kesucian. Begitu pula hendaknya jangan dikomersilkan dan digunakan di sembarang tempat (bukan tempat suci).
DAFTAR PUSTAKA
Adia Wiratmadja, Drs. G.K., 1977, Agama Hindu Sejarah dan Sradha.
Cudamani, 1987, Bagaimana Umat Hindu Menghayati Ida Sang Hyang Widhi (Tuhan Yang Maha Esa), Jakarta : Yayasan Wisma Karma.

Depdiknas, 2002, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta : Balai Pustaka.
Ginarsa, I Ketut, 1985, Gambar Lambang, Jakarta : CV. Kayu Mas.
Gorda, I Gusti Ngurah, 1990, Metodologi Penelitian Ilmu Sosial Ekonomi, Denpasar : Widya Kriya Gemattama.
Hadi, Sutrisno, 1981, Metodelogi Research, Yogyakarta : Yayasan Fakultas Psikologi UGM.
Kajeng, I Nyoman, dkk., 1987, Sarasamuscaya, Jakarta : Dharma Nusantara.
Kodiran, 1991, Konsep Pengembangan Nasional, Yogyakarta : Fakultas Sastra UGM.
Koentjaraningrat, Prof. DR., 1977, Metode-metode Penelitian Masyarakat, Jakarta : PT. Gramedia.
Santhi, I.B., 1983, Simbol Nyasa Rupa (Makna dan Peranannya dalam Agama Hindu), Denpasar : Warta Hindu Dharma.
Tim, 2005, Kamus Istilah Agama Hindu, Kantor Wilayah Departemen Agama Propinsi Bali
Titib, I Made, 2001, Teologi dan Simbol-simbol Dalam Agama Hindu, Surabaya : Paramita.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar