Adat, Tradisi, Agama, Budaya Hindu Bali

Sabtu, 04 April 2020

SIMBOL MISTIK “OM”

SIMBOL MISTIK “OM”

OLEH
I KADEK BUDIARTA
NPM: 19.I.046

SEKOLAH TINGGI KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
AGAMA HINDU AMLAPURA
2020

Kata Pengantar

“Om Swastyastu”
Puji syukur kami ucapkan kehadapan Ida Sang Hyang Widi Wasa, karena berkat rahmat-Nya kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Simbol Mistik “OM”.  ini dengan tepat waktu.
Penulis tentu menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna dan masih banyak terdapat kesalahan serta kekurangan di dalamnya. Untuk itu, penulis mengharapkan kritik serta saran dari pembaca untuk makalah ini, supaya makalah ini nantinya dapat menjadi makalah yang lebih baik lagi. Kemudian apabila terdapat banyak kesalahan pada makalah ini penulis mohon maaf yang sebesar – besarnya.
Demikian, semoga makalah ini dapat bermanfaat. Terima kasih.
Om santih, santih, santih, Om


Amlapura, Maret 2020
Penulis


BAB I
PENDAHULUAN 

Latar Belakang
Dalam sejarah pemikiran ada dua arti simbol yang sangat berbeda satu sama lainnya, yaitu dalam pengertian agama dan dalam sistem logika atau ilmu pengetahuan. Dalam agama simbol dipandang sebagai ungkapan indrawi atas realitas yang transenden, sementara dalam sistem logika atau ilmu pengetahuan, simbol atau lambang memiliki arti sebagai tanda yang abstrak.
Simbol merupakan contoh terbaik tentang bentuk ekspresi pengalaman keagamaan yang bercorak endeiktik. Endeiktik adalah bentuk pengekspresian pengalaman keagamaan dengan menggunakan isyarat atau bentuk-bentuk terselubung lainnya. Simbol-simbol keagamaan memperlihatkan ciri umum dari segala macam simbol dan merupakan gambaran penting yang berfungsi membantu pikiran dan jiwa orang yang sedang melakukan pemujaan untuk memahami realitas spiritual. (Djam'annuari, 1998)
Pemujaan yang merupakan perwujudan cinta manusia kepada Tuhan ini adalah inti, nilai dan makna kehidupan yang sebenarnya. Adapun cara pemujaannya tergantung pada agama, kepercayaan, kondisi dan situasinya. (Sujarwo, 1999)
Agama Hindu sangat kaya dengan berbagai simbol, penampilannnya sangat indah dan menarik hati setiap orang yang melihatnya. Bagi umat Hindu simbol-simbol tersebut menggetarkan kalbu dan mereka berusaha memahami makna yang terkandung di balik symbol-simbol tersebut. Simbol-simbol tersebut merupakan media bagi umat Hindu untuk mendekatkan diri dengan Sang Pencipta, mengadakan dialog dengan Yang Maha Kuasa dan memohon perlindungan-Nya. (Titib, 2003)
RUMUSAN MASALAH
Apa pengertian simbol Agama ?
Apa itu simbol sakral Hindu ?
Dari mana asal usul “OM” (AUM) ?
Kenapa “OM” (AUM) disebut Simbol Mistik ?

Tujuan Penulisan 
Untuk mengetahui apa pengertian simbol Agama 
Untuk mengetahui apa itu simbol sakral Hindu 
Untuk mengetahui dari mana asal usul “OM” (AUM) ?
Untuk mengetahui Kenapa “OM” (AUM) disebut simbol mistik 


BAB II
PEMBAHASAN  

Pengertian Simbol Agama
Simbol berasal dari Yunani kata symboion dari syimballo (menarik kesimpulan berarti memberi kesan). Simbol atau lambang sebagai sarana atau mediasi untuk membuat dan menyampaikan suatu pesan, menyusun sistem epistimologi dan keyakinan yang dianut.
Simbol di sisi lain adalah “artifisial”, “penunjuk”, dan termasuk dalam dunia makna manusia. Maka pengetahuan manusia pada dasarnya adalah simbolik. Perbedaan antara agama dan ilmu, menurut Cassirer, adalah jika agama dan mite “menyatukan” simbol dengan yang ditandai (signified), maka ilmu (seperti bahasa sehari-hari dan common sense) membedakan antara keduanya dan dari pembedaan itu dihasilkan “sistem relasi.” (Morris, 2007)
Kata ‘simbol’ (Inggris : symbol) mengandung arti : untuk sesuatu atau juga menggambarkan sesuatu, khususnya untuk menggambarkan sesautu yang immaterial, abstrak, ustu idea, kualitas, tanda-tanda suatu objek, proses dan lain-lain (Coulson, 1978) 
Pendapat lain, kata ‘simbol’ berasal dari bahasa Greek, “sum-ballo” yang mengandung arti “saya bersatu bersamanya”, “:penyatuan bersama”. Apakah yang dapat disatukan bersama dalam simbol itu, di satu pihak adalah bentuk, dan nilai harfiah, di pihak lain kehidupan yang membimbing kita. (Reede, 1989). Sementara itu, Sekhar Gosh menyatakan bahwa kata ‘simbol’ berasal dari kata “symbolon” (dalam bahasa Greek) yang berarti tanda dan dengan tanda itu seseorang mengetahui atau mengambil kesimpulan tentang sesuatu. Di dalam bahasa Sanskerta kata simbol disebut “pratika” yang mengandung arti “yang datang ke depan, yang mendekati”. Dengan demikian kata ini mengandung makna menunjukkan, menampilkan atau menarik kembali sesuatu dengan analogi kualitas kepemilikan atau dengan mengasosiasikan ke dalam fakta atau pikiran. (Sekhar Gosh, 1990) 
Simbol Sakral Hindu
Buddhisme, Jainisme, Sikhisme dan Zoroastrianisme. Hal ini digunakan baik sebagai symbol dan sebagai suara dalam ibadah, ritual nyanyian, kinerja sakramen dan ritual, yoga dan tantra. Dalam agama Hindu itu dihormati sebagai Brahman dalam bentuk word (Askshara) dan suara (sabda).
Samhita Taittirya menjelaskan penggunaannya dan signifikansi dalam ritualVeda dengan cara berikut:
AUM adalah Brahman. AUM adalah semua. AUM, ini sesungguhnya adalah kepatuhan. Pada mengucapkan, “membaca”, mereka membaca. Dengan AUM, mereka menyanyikan nyanyian saman. Dengan Aum, som, mereka melafalkan doa-doa. Dengan Aum imam mengucapkan Advaryu respon. Dengan Aum satu assents dengan penawaran untuk menembak. Withy Aum seorang Brahmana mulai membaca,mungkin saya mendapatkan Brahman, dengan demikian berharap, Brahman, sesungguhnya ia memperoleh.
Asal Usul “OM” (AUM)
Ada banyak teori mengenai asal-usul suku kata OM. Max Mueller mengusulkan bahwa mungkin telah berasal dari kata kuno “Ayam”, yang digunakan pada zaman prasejarah dalam arti Thatto mengacu pada obyek yang jauh. Menurut Swami Sankarananda, kata mungkin telah berasal dari nama seorang dewa Somathe penting yang disebutkan dalam Weda sering dan dengan siapa ritual esoteric banyak terkait. Kata ini juga terkait dengan suara napas dan getaran halus dan potensi tinggi universal yang dapat didengar secara internal dalam pesawat halus sebagai suara yang mendalam (Pranava nada) oleh pakar sepanjang waktu.
Ada kemungkinan bahwa kata mungkin telah diintegrasikan ke dalam agama Veda dari beberapa tradisi pertapa India Kuno. Upanishad Chandogya menceritakan bagaimana Aum suku kata yang dikeluarkan keluar dari Brahma saat ia merenung atas dunia yang ia ciptakan dalam tahap awal penciptaan. Dari merenung yang pertama muncul pengetahuan tiga kali lipat (trayi vidya) dan kemudian Bhur suku kata, Bhuvah dan Suvah. Ketika ia merenung atas mereka (Bhur, Bhuvah dan Suvah), Aum suku dikeluarkan keluar dari mereka. Dengan demikian secara simbolis, Aum mewakili seluruh ciptaan diwujudkan dalam tiga pesawat, yaitu bumi, wilayah pertengahan dan langit.
Simbol Mistik “OM” (AUM)
Didalam Agama Hindu ada banyak simbol yang mencerminkan agama Hindu sendiri. Salah satu simbol yang selalu ada dan terucap setiap mantram yang ada dalam Agama Hindu, yaitu “OM”. Kata “OM” (AUM) merupakan aksara suci yang sering diucapkan setiap melakukan persembahyangan khususnya orang Hindu. Menurut kitab Mandukya Upanisad, “OM” (AUM) berarti realitas di semua Alam. Ini diwakili oleh suku kata yaitu A + U + M.
A artinya Keadaan sadar, fisik / alam semesta di luar
U artinya Keadaan mimpi, mental / alam semesta di dalam
M artinya Keadaan tidur yang mendalam, dimana tidak ada yang dialami. 
Suku kata tunggal “OM” (AUM) merupakan hasil dari kombinasi harmonis dari tiga suara dasar yang dapat dihasilkan oleh organ tubuh manusia. Hal ini dapat dilihat bahwa keseluruhan mekanisme vocal manusia beroperasi optimal apabila ia mengucapkan atau melafalkan suara “OM” sesuai dengan khaidah-khaidah Veda.
Akaara, dihasilkan dari system yang paling dalam, tempat dimana Kundalini berada. Tenggorokan mengambil peran yang sangat pentng dalam mengekspresikan suara ini. Ukaara, tahap kedua, dimana suara mulai di tenggorokan meluncur ke atas ke ujung lidah. Makaara, suara berkonsentrasi pada organ vocal yaitu bibir. (Suamba, 1999)
Jadi dapat dilihat bahwa dalam memproduksi suara “OM”, keseluruhan Pindanda, wujud mikrokosmis dari Brahmanda yang makro, muncul dalam wujudnya yang nyata. Maka dari itu suku kata tunggal ini secara tepat dapat dikatakan menyimpulkan Brahman yang meresapi dan menjiwai segalanya yang ada di alam semesta.
Signifikasi mantra “OM” dapat dilihat pada kitab-kitab Upanishad dan pada sebagian besar kitab-kitab suci Hindu. Untuk menyebut beberapa saja, Taittireeya, Chkandogya dan Mandookya, Upanishad menaruh perhatian yang serius terhadap betapa hebat kekuatan suara “OM” ini. Sebagai contoh, Anuvaka ke delapan dari Siksha Valli pada Taittireeya Upanishad hampir seluruhnya membahas simbol mistik “OM” ini. “Om ini Brahman Om iti idam sarvam. Om iti etada nukriti,” dst. “Om iti samaani gaayanti,” dst.
Menurut Upanishad ,”OM” merupakan titik konsentrasi bagi siswa kerohanian yang lebih intelektual dari pada emosional,bagi orang yang mengambil jalan Jnana Yoga dari pada BHakti Yoga. “OM” merupakan Lingga bagi pemujaan intelektual pada pura yang bersemayam di dalam diri kita. Ketika memusatkan pikiran pada suku kata tunggal “OM”, tiga komponen sebagai bagiannya yaitu A, U, dan M menjadi pusat konsentrasi dengan acuan khusus kepada keadaan Jagrat, Swapna  dan Sushupti, yaitu masing-masing keadaan terjaga atau sadar, mimpi dan tidur pulas. 
Sebagai total perjalanan kita adalah totalitas perjalanan dalam keadaan Jagrat, Swapna  dan Sushupti. “OM” menyimbulkan keselamatan jagat,dunia kosmis atau kesadaran murni. Itulah sebabnya mengapa para yogi agung menyatakan bahwa “OM” adalah segala akhilanda “OM iti Brahma”.
Aksara suci “OM” sebagai Pranawa secara panjang lebar dibahas dalam Narada Parivrajaka Upanishad. Menurut kitab ini aksara “OM” ini dibentuk oleh enam kelas mantra, yaitu: 
 Akaara
Ukaara
Makaara
Ardhamantra
Nada
Bindu
Kala
Kalateeta
Santi
Santyateeta
Unmani
Manonnmani
Puri
Madhyama
Pasyanti
Para
Sementara Dhyanabindu Upanishad menyebutkan 12 mantra-mantra itu menjelaskan keagungan Pranawa (OM) ini serta efek yang ditimbulkan pada tingkatan siddhi, yaitu:
Ghosini menyebabkan tercapainya kepada keadaan kesadaran super.
Vidyunmali meningkatkan yakshaloka yang merupakan tahap berikutnya dalam evaluasi
Patangini menyebabkan sadhaka mampu terbang di udara
Vayuvegini memungkinkan lari secepat angin
Namadheya memberikan jalan masuk ke dalam Pitraloka
Eindri memberikan jalan masuk ke Indraloka
Vaishnavi memberikan jalan masuk ke Vishnuloka
Sankari memberikan jalan masuk ke Vishnuloka
Mahti untuk mempengaruhi makhluk-makhluk atau penghuni-penghuni mahaloka
Dhrithi untuk mempengaruhi penghuni-penghuni mahaloka
Mouni menyebabkan sadhaka mampu mencapai dunia para muni, dan
Brahmi mencapai Brahmaloka.



BAB III
PENUTUP

3.1  Kesimpulan
Simbol atau lambang sebagai sarana atau mediasi untuk membuat dan menyampaikan suatu pesan, menyusun sistem epistimologi dan keyakinan yang dianut. Pengertian simbol tidak akan lepas dari ingatan manusia secara tidak langsung manusia pasti mengetahui apa yang di sebut simbol, terkadang simbol diartikan sebagai suatu lambang yang digunakan sebagai penyampai pesan atau keyakinan yang telah dianut dan memiliki makna tertentu, Arti simbol juga sering terbatas pada tanda konvensionalnya, yakni sesuatu yang dibangun oleh masyarakat atau individu dengan arti tertentu yang kurang lebih setandar yang disepakati atau dipakai anggota masyarakat tersebut.
“OM” sebagai aksara suci ternyata memiliki kemujaraban yang luar biasa sebagai pemusatan pikiran kepada satu titik (ekagrata). Pikiran sesuai dengan sifat-sifatnya, sangat sulit untuk didiamkan apalagi dipusatkan. Namun pemusatan kepada satu titik ini dapat dilakukan dengan pikiran ikhlas, Bhakti, tekad yang kuat dan teguh iman agar mampu memperoleh visi Tuhan Yang Maha Tinggi (Iswara).

DAFTAR PUSTAKA

Morris, B. (2007). Antropologi Agama: Kritik Teori-teori Agama Kontemporer. Yogyakarta: AK Group.
Reede, J. D. (1989). Universal Symbolism dalam Symbolism in Hinduism. Bombay: Central Chinmaya Mission Trust.
Sekhar Gosh, A. (1990). Symbolism and Spiritual Wisdom India's LIfe Breath. Bombay: Bharatiya Vidya Bhavan.
Suamba, I. B. (1999). Warta Hindu Dharma, Berdasarkan Satyam Siwam, Sundaram. Denpasar: Parisada Hindu Dharma Indonesia Pusat.
Sujarwo. (1999). Manusia dan Fenomena Budaya: Menuju Perspektif Moralitas Agama. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Titib, I. M. (2003). Teologi dan Simbol dalam Agama Hindu. Surabaya: Paramita.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar