"SUKLA"
SEBAGAI CIRI KHAS KULINER MASYARAKAT HINDU BALI YANG SANGAT MENJUNJUNG TINGGI
KEBERSIHAN, TATA PENGELOLAAN MAKANAN DAN PRODUKSI MAKANAN YANG SESUAI DENGAN
NILAI-NILAI FILOSOFI BALI
disusun
oleh :
NPM : 9.1.139
PENDAHULUAN
Pangan merupakan
salah satu kebutuhan dasar manusia. Pengertian pangan menurut Peraturan
Pemerintah RI nomor 28 tahun 2004 adalah segala sesuatu yang berasal dari
sumber hayati dan air, baik yang diolah maupun yang tidak diolah, yang
diperuntukkan sebagai makanan atau minuman bagi konsumsi manusia, termasuk
bahan tambahan pangan, bahan baku pangan, dan bahan lain yang digunakan dalam
proses penyiapan, pengolahan, dan atau pembuatan makanan atau minuman. Setiap
manusia hidup membutuhkan pangan untuk pertumbuhan dan mempertahankan hidup.
Selain itu pangan juga berfungsi sebagai sumber energi untuk manusia melakukan
aktivitas sehari-hari. Untuk menunjang semua aktivitas manusia tentunya
dibutuhkan sumber pangan yang sehat dan bergizi.
Bali merupakan
salah satu dari 34 provinsi yang ada di Indonesia. Bali dikenal sebagai Pulau Dewata dan Pulau Seribu Pura, dimana 83 % masyarakat Bali beragama Hindu. Belakangan ini
ramai diperbincangkan makanan sukla untuk pengertian makanan yang paling layak
dikonsumsi oleh warga Bali, khususnya bagi masyarakat yang beragama Hindu.
Sukla adalah istilah budaya dalam masyarakat Bali dengan pengertian makanan
atau persembahan yang suci. Merujuk kepada ajaran agama, makanan yang disebut
sukla adalah hal – hal yang akan dipersembahkan kepada Tuhan, baik melalui dewa
dewi (Istadewata) maupun persembahan kepada leluhur. Belakangan ini pengertian
yang dimunculkan dalam istilah sukla ini adalah makanan yang bersih dan sehat,
sehingga penggunaaan istilah sukla dapat ditemui pada warung – warung di Bali
sebagai media promosi. Pengertian bersih dalam sukla ini adalah dilihat dari
cara dan proses pembuatnya, tidak dilakukan di tempat yang kotor, dengan
menggunakan alat yang tidak kotor, dan bahan yang digunakan merupakan bahan
yang tidak kotor sehingga menghasilkan makanan sehat yang dapat dikonsumsi oleh
masyarakat.
Sukla berarti
suci dan bersih baik dalam proses maupun produksinya sehingga sehat bagi
jasmani dan rohani. Umumnya di Bali, label "Sukla" sebagai ciri khas
dalam hal kuliner yang sebenarnya berawal dari pola hidup masyarakat Hindu Bali
yang sangat menjunjung tinggi kebersihan, tata pengelolaan makanan dan produksi
makanan yang sesuai dengan nilai-nilai filosofi Bali.
PENJELASAN
Sukla
Sukla
bermakna suci, artinya semua proses makanan harus menggunakan bahan yang
diperlakukan suci, menggunakan perabot yang suci, dan juga harus menggunakan
budaya Hindu, sebagai contoh bagaimana yang memasak dan menghidangkan makanan
tidak boleh dilakukan oleh wanita menstruasi, sebelum menjual harus ada proses
ngejot atau saiban sebagai wujud persembahan pada Tuhan dan adanya proses keagamaan
ketika warung atau restoran diperciki oleh tirta melanting (Jumari, 2017).
Salah
seorang tokoh Hindu Bali yakni Ida Pandita Mpu Jaya Prema Ananda menyampaikan
bahwa sukla adalah istilah budaya dalam masyarakat Bali dengan pengertian
makanan atau persembahan yang suci. Kalau merujuk pada ajaran agama, makanan
atau apa pun yang disebut sukla adalah hal – hal yang akan dipersembahkan
kepada Tuhan, baik melalui dewa-dewi (Istadewata) maupun persembahan kepada
leluhur. Setelah dihaturkan jadilah makanan itu prasadam yang di dalam bahasa
Bali dipakai kata lungsuran atau paridan (Jumari, 2017).
Mutu
Mutu
merupakan sesuatu yang menjadikan suatu barang atau jasa yang memiliki arti
atau berharga, tergantung dari sisi mana orang memandangnya. Pengertian mutu
ditinjau dari definisi konvensional pada umumnya, yakni menggambarkan
karakteristik langsung dari suatu produk seperti performansi, keandalan, mudah dalam
penggunaan, dan sebagainya. Selanjutnya, pengertian mutu ditinjau dari definisi
strategis menyarankan bahwa mutu adalah segala sesuatu yang mampu memenuhi
keinginan atau kebutuhan pelanggan (Gasperz, 2001).
Sistem
manajemen mutu merupakan sekumpulan prosedur yang terdokumentasi serta
praktik-praktik standar untuk manajemen sistem yang bertujuan menjamin
kesesuaian dari suatu proses dan produk (barang/jasa) terhadap kebutuhan dan
persyaratan tertentu (Gaspersz, 2001). Sistem manajemen mutu memberikan gambaran
organisasi dalam menerapkan praktik-praktik manajemen mutu secara konsisten
untuk memenuhi kebutuhan pelanggan atau pasar. Dalam kaitan ini terdapat
beberapa karakteristik umum manajemen mutu (Gaspersz, 2001), yaitu sebagai
berikut.
1) Sistem
manajemen mutu berfokus pada konsistensi dari proses kerja. Hal ini sering
mencakup beberapa tingkat dokumentasi terhadap standar-standar kerja.
2) Sistem
manajemen mutu berlandaskan pada pencegahan terhadap kesalahan-kesalahan yang
akan timbul.
3) Sistem
manajemen mutu mencakup elemen-elemen seperti tujuan (objectives), pelanggan
(customer), hasil-hasil (output), proses-proses (processes), masukan-masukan
(input), pemasok (suppliers), dan pengukuran umpan balik serta umpan maju
(measurements for feedback and feedforward).
Dalam
sistem manajemen mutu sering terdengar istilah quality control dan quality
assurance. Quality control adalah kegiatan teknik dan kegiatan memantau, mengevaluasi,
dan menindaklanjuti agar persayaratan yang telah ditetapkan dapat tercapai,
sedangkan istilah quality assurance berarti semua tindakan terencana dan sistematis
yang diterapkan, yakni untuk meyakinkan pelanggan bahwa proses hasil kerja
kontraktor akan memenuhi persyaratan. Pada saat mengontrol mutu produk yang
dihasilkan harus dipersiapkan dokumen-dokumen yang berupa panduan-panduan kerja
secara tertulis serta catatan/rekaman hasil kerja. Dalam setiap lingkungan,
pelaksanaan proses yang konsisten merupakan kunci untuk peningkatan terus
menerus yang efektif agar selalu memberikan produk (barang/jasa) yang memenuhi
harapan pelanggan atau pasar.
Pengertian dan Makna
Sukla
Makna
Sukla yang dikenal dalam masyarakat Bali tidaklah sama dengan Halal. Secara
sederhana Sukla dapat diartikan suci. Sukla atau śukla dalam bahasa Sanskerta
diartikan sebagai bersih, terang, putih. Sukla erat kaitannya dengan sarana
persembahan, dimana bahan-bahan persembahan dikatakan sukla bilamana belum
pernah terpakai atau digunakan. Sedangkan makanan yang disebut sukla adalah
makanan yang akan dipersembahkan belum dimakan oleh seseorang atau pun hewan.
Misalnya makanan yang berada di dapur atau di tempat nasi belum ada yang
memakannya. Bilamana makanan tersebut sudah ada yang memakannya atau
mengambilnya maka tidak boleh digunakan sebagai persembahan. Makanan seperti itu
sudah dianggap tidak sukla atau dinyatakan sebagai carikan (makanan sisa).
Dalam
ajaran Hindu, seseorang habis memasak wajib hukumnya mempersembahkan makanan
kepada leluhur, dewa, dan Tuhan. Jika memiliki hewan peliharaan, hewan lebih
terdahulu diberikan makan, demikian juga bila ada tamu, tamulah terlebih dahulu
makan. Setelah itu, barulah si empunya rumah menikmati makanan. Bila dalam
sebuah keluarga tidak mempersembahkan makanan terlebih dahulu sebelum makan
dinyatakan sebagai pencuri.
Jika
kita telusuri sumber-sumber sastra suci, vedic literatur, kita mengenal konsep
Tri Guna; tiga sifat alam. Ke-tiga sifat alam ini mempengaruhi berbagai aspek
kehidupan dan alam semesta, termasuk makanan. Dimana makanan digolongkan ke
dalam tiga jenis; makan satwika (makanan bersifat kebaikan), makan rajasika
(makanan bersifat nafsu), makan tamasika (makanan bersifat kegelapan). Uraian
hal tersebut dapat kita temukan dalam beberapa kitab suci, terutama dalam kitab
suci Bhagavad
Gita.
Makanan
yang paling disukai setiap orang juga terdiri dari tiga jenis, menurut tiga
sifat alam material. Demikian pula korban suci, pertapaan dan kedermawanan.
Sekarang dengarlah perbedaan antara hal-hal itu. (Bhagavad-gita 17.7)
Makanan
yang disukai oleh orang dalam sifat kebaikan memperpanjang usia hidup,
menyucikan kehidupan dan memberi kekuatan, kesehatan, kebahagiaan dan kepuasan.
Makanan tersebut penuh sari, berlemak, bergizi, dan menyenangkan hati. (Bhagavad-gita
17.8)
Makanan
yang terlalu pahit, terlalu asam, terlalu asin, panas sekali atau menyebabkan
badan menjadi panas sekali, terlalu pedas, terlalu kering dan berisi terlalu
banyak bumbu yang keras sekali disukai oleh orang dalam sifat nafsu. Makanan
seperti itu menyebabkan dukacita, kesengsaraan dan penyakit. (Bhagavad-gita
17.9)
Makanan
yang dimasak lebih dari tiga jam sebelum dimakan, makanan yang hambar, basi dan
busuk, dan makanan terdiri dari sisa makanan orang lain dan bahan-bahan haram
disukai oleh orang dalam sifat kegelapan (Tamasika). (Bhagavad-gita 17.10).
Penerapan Sukla dalam
Agama Hindu
Sebelum
menjadi ikon bagi makanan layak di kalangan masyarakat Bali, istilah Sukla yang
pertama kali diperkenalkan oleh Anggota DPD RI Dr I Gusti Ngurah Arya Wedakarna
Mahendradatta Wedastera Putra Suyasa III pada tahun 2014. Kata Halal untuk
makanan layak konsumsi bagi Umat Muslim diakui Wedakarna sudah muncul sejak
beberapa tahun lalu. Gerakan-gerakan ini
sudah banyak muncul sebelum kata Sukla menjadi Ikon kelayakan konsumsi bagi
umat Hindu.
Adanya
gerakan-gerakan tersebut, menurut Wedakarna berpotensi menimbulkan konflik
berbau SARA, pasalnya istilah yang digunakan untuk Branding produk makanan oleh
pengusaha Bali tersebut merupakan istilah bagi umat Muslim. Selain itu jika
merujuk pada Peraturan Perundang-Undangan, untuk menggunakan kata Haram harus
disesuaikan dengan UU No. 33 tahun 2014 Tentang jaminan Produk Makanan Halal.
Karena kondisi tersebut, Wedakarna bersama dengan para rohaniawan mencari
padanan kata yang tepat untuk makanan layak konsumsi bagi umat Hindu ini.
Setelah melakukan survei dan berkonsultasi dengan para rohaniawan Hindu, maka
ditentukan kata Sukla ini, dan sejak tahun 2014 secara perlahan Sukla ini sudah
menjadi gerakan moral masyarakat Hindu Bali.
Hubungan
Sukla dengan Sistem Manajemen Mutu
Sistem
Manjemen Mutu adalah sebuah sistem yang bertujuan untuk meningkatkan kepuasan
pelanggan dan memungkinkan perbaikan yang berkelanjutan. Selain itu, Sistem
Manajemen Mutu merupakan kemampuan suatu organisasi dalam menjaga kualitas mutu
dari jasa atau barang yang diberikan. Tujuan dari Sistem Manajemen Mutu
(Gazperz, 2002):
1. Menjamin
kesesuaian dari suatu proses dan produk terhadap kebutuhan atau persyaratan
tertentu. Kesesuaian antara kebutuhan dan persyaratan yang ditetapkan pada
suatu standar tertentu terhadap proses dan produk yang dihasilkan oleh
perusahaan sangat penting.
2. Memberikan
kepuasan kepada konsumen melalui pemenuhan kebutuhan dan persyaratan proses dan
produk yang ditentukan pelanggan dan organisasi. Keputusan pelanggan adalah
reaksi emosional dan rasional positif pelanggan. Untuk mampu memberikan
kepuasan kepada pelanggan, segenap personil organisasi dituntut untuk memiliki
kompetensi dalam menjalankan tugas dan tanggung jawabnya masing-masing.
Dalam
penjaminan mutu, suatu produk harus memenuhi standarisasi. Standarisasi adalah
usaha bersama membentuk standar. Standar merupakan sebuah aturan, memberikan
batasan spesifikasi dan karakteristik sebuah proses. Ada pun istilah sukla yang
sering dikaitkan dengan mutu suatu produk dimana sukla adalah istilah yang
sering digunakan budaya Bali sebagai gambaran persembahan yang suci. Pada
ajaran agama, makanan atau apapun yang disebut sukla adalah hal-hal yang
dipersembahkan kepada Tuhan. Jika istilah sukla dipakai untuk menunjukkan bahwa
makanan tersebut “layak makan” secara agama sangat bertentangan. Makanan sukla
adalah makanan yang bersih dan sehat. Bersih dari cara membuatnya, tidak di
tempat yang kotor, tidak dengan alat yang kotor, dan bahan yang digunakan bukan
bahan yang kotor.
Banyak
sekali pertentangan yang muncul ketika mendengar Sukla sebagai Standarisasi
Mutu pada makanan. Sebab, dikatakan bahwa sukla merupakan label agama bukan
label mutu. Pemberian label sukla pada sebuah kedai makanan beberapa waktu lalu
sempat menjadi kontroversi, lantaran makanan yang berlabel sukla dianggap lebih
bersih, suci, dan segala bentuk kebaikan yang dibandingkan dengan makanan yang
diberi label non-sukla. Hal ini, memicu pertentangan terutama bagi pengusaha
non-Hindu yang memulai usahanya di Bali.
Istilah
sukla berhubungan dengan hubungan antara Tuhan dengan umatnya bukan mengenai
layak atau tidaknya makanan tersebut. Makanan yang baik, bersih, dan sehat
belum tentu bisa disebut sukla. Penentu apakah makanan tersebut bisa dikatakan
sukla atau tidak adalah apakah makanan tersebut sudah dipersembahkan atau tidak
kepada Tuhan.
Sukla
tidak bisa disamakan dengan halal. Perbedaannya sudah cukup jelas. Dimana sukla
merujuk pada nilai spiritual sedangkan halal merujuk pada bahan dan cara
pengolahannya. Kedua hal ini tidak bisa disamakan. Apalagi, dalam pemberian
sertifikasi sukla, sebab hal ini berkaitan langsung dengan agama dan
kepercayaan masing-masing orang.
Dr.
Shri I Gusti Ngurah Arya Wedakarna, sempat mengatakan keinginan beliau dalam
menjadikan Sukla sebagai label standarisasi. Hal ini, didukung baik oleh Ketua
Majelis Ulama Indonesia (MUI), M Taufik As’adi. Sama halnya labelisasi Halal
yang merupakan labelisasi yang dibuat atas kebutuhan konsumen. Labelisasi
tersebut bisa memberikan rasa nyaman bagi konsumen dalam mengonsumsi makanan
tersebut.
Sama
halnya dengan memberikan labelisasi Sukla pada produk, jika konsumen memerlukan
labelisasi Sukla untuk menjamin keamanan produk tersebut maka tidak ada
salahnya jika Sukla dijadikan suatu standarisasi mutu produk. Dengan adanya
labelisasi itu, maka pengusaha yang bergerak dibidang industri makanan merasa
labelisasi sukla akan menyesuaikan dengan persyaratan atau perundang-undangan
yang ada.
Menurut
Dr. Shri I Gusti Ngurah Arya Wedakarna, secara terminologi kata sukla sudah
cukup umum terutama bagi kalangan masyarakat Bali, yang mengandung arti bersih
dan suci, selain itu sukla mengandung arti yang lebih luas, dimana makanan yang
dianggap sukla tidak saja terpaku pada makanan bersih dan suci tetapi
memperhatikan proses dalam mengolah serta menghidangkannya. Baik itu dari
peralatan yang dipakai seperti penggunaan wadah khusus yang tidak bercampur
dengan wadah lainnya.
Pada
intinya penggunaan kata sukla pada suatu produk tidak bisa dijadikan suatu
pertentangan atau dijadikan suatu bahan dalam menimbulkan provokasi. Sebab,
kata sukla bisa dijadikan suatu standarisasi terhadap proses produksi suatu
produk demi pemenuhan keyakinan dan kenyamanan bagi konsumen itu sendiri.
KESIMPULAN
Sukla
secara sederhana dapat diartikan adalah suci. Dalam Hindu Bali Sukla terkait
dengan sarana persembahan yang akan dipersembahankan yang belum dimakan.
Penerapan Sukla terkait dalam makanan lebih mengarah kepada kegiatan keagamaan
dan tidak spesifik pada kegiatan komersial atau hal yang lebih umum. Sukla
diterapkan untuk memenuhi kebutuhan persembahan kepada leluhur, dewa, dan
Tuhan. Sukla juga termasuk dalam konsep Tri Guna: tiga sifat alam dengan
pengaruh dalam kehidupan dana lam semesta termasuk makanan. Ajaran Sukla ini
dapat ditemukan dalam beberapa kitab suci terutama dalam kitab suci Bhagavad
Gita. Pada penerapanya Sukla tidak dapat disamakan dnegan Halal. Penerapan
Sukla pada konsumsi makanan menimbulkankan kontroversi karena pada prosesnya
Sukla berbeda dengan sistem penjaminan mutu lainya yang berkaitan dengan
proses. Kata sukla pada suatu produk tidak bisa dijadikan suatu pertentangan
atau dijadikan suatu bahan dalam menimbulkan provokasi. Sebab, kata sukla bisa
dijadikan suatu standarisasi terhadap proses produksi suatu produk demi
pemenuhan keyakinan dan kenyamanan bagi konsumen itu sendiri.
Perlu
pendalaman yang tepat mengenai ilmu dan teori yang berhubungan dengan Sukla
karena Sukla sendiri tidak dapat dikatakan sebagai sistem manajemen mutu dan
dapat dikatakan bisa terhadap makanan. Pemahaman yang benar mengenai Sukla
perlu diterapkan agar tidak menimbulkan kontroversi atau hal-hal lain yang
berkaitan dengan isu-isu pengangkatan Sukla sebagai sistem manajemen mutu.
SUMBER ARTIKEL
Gaspersz, Vincent. 2001. ISO 9001:2000 and Continual Quality
Improvement, PT Gramedia Pustaka Utama.
Jumari. 2017. Gerakan Ekonomi Satyagraha
Hindu Bali Melalui Labelisasi Non-Halal “Sukla” (Antara Kebangkitan Militansi
Dan Ancaman Benih Intoleransi). http://proceedings.kopertais4.or.id/index.php/ancoms/article/download/3335/.
(diakses: 28 Maret 2020, pukul: 09:00
WITA)
Suyatra, I Putu. 2017. Begini Arti Sukla Versi Arya Wedakarna.
Jawa Pos. www.jawapos.com/baliexpress/read/2017/11/27787/begini-arti-sukla-versi-arya-wedakarna
(diakses: 28 Maret 2020, pukul: 15:00
WITA).
Warung, Kopi. 2016. Sukla dan Halal, pemaksaan persamaan atas nama persaingan. https://bungloen.com/sukla-dan-halal-pemaksaan-persamaan-atas-nama-persaingan/
(diakses: 28 Maret 2020, pukul: 16:00
WITA).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar