Oleh:
Ni Made Sri Indrawati
BAB I PENDAHULUAN
UPACARA SEBELUM DAN SESUDAH
KELAHIRAN
A.
LATAR BELAKANG
Kebudayaan Bali merupakan satu sosok kebudayaan yang unik dengan
jati diri yang khas. Jati diri tersebut merupakan rajutan fisik, simbol,
kelembagaan dan gaya yang bersifat lokal, terpadu dengan sistim kepercayaan,
sistim filosofis yang menekankan sifat ekonomis yang dijiwai agama Hindu.
Masyarakat Bali masa kini sebagai refleksi masyarakat transpormatif yang
bergerak semakin heterogen dengan dua dikotomi kebudayaan yaitu : Kebudayaan
Tradisional dan Kebudayaan Modern. Disisi lain, Kebudayaan Bali mencakup unsur-
unsur yang sangat banyak beragam, salah satu diantaranya adalah unsur upacara.
Upacara di Bali yang masih termasuk upacara tradisional,
merupakan suatu mata rantai yang tidak dapat dipisahkan dari Tattwa/ filsafat;
yaitu merupakan tujuan dari pada ajaran Agama Hindu, serta Susila; yaitu
aturan-aturan yang patut dilaksanakan untuk mencapai tujuan. Ketiga unsur di
atas (Tattwa, Susila, Upacara) adalah merupakan unsur-unsur universal Agama
Hindu yang antara unsur yang satu dengan unsur yang lain, saling dipahami dan
ditaati secara terpadu sebagai acuan perilaku masyarakat Bali yang beragama
Hindu. Umat Hindu di Bali, dua unsur yaitu Etika dan Upacara telah dipahami,
walaupun terjadi penyesuaian sesuai dengan Desa, Kala Patra. Sedangkan filsafat
dari upacara tersebut, lebih cendrung dalam kenyataan masih dilaksanakan secara
Gugon Tuwon (Nak Mulo Keto). Pemahaman filsafat belum mantap, hal tersebut
menyebabkan terjadi kefanatikan dalam pelaksanaan dan belum siap berubah. Pada
hal dalam perkembangan kehidupan masyarakat yang serba maju dan
telah banyak mengalami pergeseran, mestinya dinamika Agama
harus secara harmonis berjalan dengan dinamika pembangunan.
Disamping itu pula, upacara tradisional yang masih eksis di
Bali, merupakan suatu cara utama untuk menyatakan rasa bakti umat kehadapan Ida Sang Hyang
Widhi Wasa ; kepada Leluhur,
kepada Para Rsi maupun
kehadapan para Dewa maupun terhadap sesamanya. Upacara Tradisional juga
membakukan berbagai nilai luhur maupun menata pola tingkah laku masyarakat
menjadi masyarakat yang berbudi luhur. Dan perlu pula disaring ada nilai yang
cocok pembanunan perlu di transpormasikan, sedangkan ada nilai-yang kurang
cocok untuk pembangunan secara pelan akan ditinggalkan oleh para pendukungnya.
Maka dari itu penulis mencoba untuk mengangkat tulisan "Upacara
Tradisional Daur Hidup" di Bait secara bertahap dari bayi dalam kandungan.
Sekarang coba dibahas Upacara Bayi
dalam Kandungan dengan salah satu variasi upakara (sesajen) yang dibuat.
B.
RUMUSAN MASALAH
Permasalahan yang
diangkat dalam Artikel ini yaitu :
1.
Generasi muda enggan belajar dan hanya memilih instan, sehingga
makna dan pengertian semuanya tidak diketahui
2.
Peran
tugas sebagai generasi yang tentu akan menjadi pelaku nantinya, setidaknya
dapat belajar dari sekarang.
C. TUJUAN
Adapun tujuan
penulisan Artikel ini adalah sebagai berikut :
1.
Memahami
proses upacara baik dari dalam kandungan, baru lahir dan setelahnya.
2.
Generasi
muda/pembaca setidaknya mengerti apa yang mesti dipelajari dan dilakukan agar
kelak tidak lagi terlalu menagndalkan
orang lain dalam banten dan upacara yadnyanya.
3.
Menjelaskan
secara rinci kaitan makna upacara yang dilaksanakan dan sekaligus, melestarikan
Adat, Tradisi dan Budaya bali.
D. MANFAAT
Manfaat
yang diharapkan dapat diperoleh dari penulisan artikel ini adalah sebagai
berikut.
1.
Untuk
para pembaca dari segi banten upakara, upacara dan tahapan pelaksanaannya dapat diketahui.
2.
Sambil
meneliti serta lebih menanamkan sikap kepada para Generasi Muda agar mau belajar pebantenan dan Upacaranya.
3.
Untuk
Penulis, tentunya dapat menambah wawasan tentang sarati banten, tugas dan fungsi
dalam membantu pelaksanaan yandnya.
BAB II PEMBAHASAN
1.
UPACARA BAYI DALAM
KANDUNGAN
Upacara Megedong-Gedongan adalah Upacara
Kehamilan. Menurut Kanda Pat Rare mengatakan dalam proses kehamilan karena
"Kama Jaya" (Sperma
dari Ayah) bertemu
dengan "Kama Ratih" (Ovum dari ibu) terjadilah pembuahan. Semakin besar terwujudlah
Jabang Bayi. Upacara Megedong-gedongan adalah Upacara yang ditujukan kepada
Bayi yang masih berada di dalam Kandungan dan merupakan Upacara pertama
dilaksanakan pada saat Bayi berumur 5 bulan Bali ( kurang lebih 6 Bulan kalender), karena
wujud Bayi sudah dianggap sempurna. Pelaksanaan upacara Magedong-gedongan
berfungsi sebagai penyucian terhadap Bayi. Disisi lain juga berarti agar
kedudukan Bayi dalam Kandungan agar baik kuat tidak abortus.
Secara bathiniah agar Sang Bayi kuat mulai setelah lahir
menjadi orang yang berbudi luhur, berguna bagi Keluarga dan Masyarakat Demikian
juga dimohonkan keselamatan atas diri si Ibu agar sehat, selamat waktu
melahirkan.
2. VARIASI UPACARA
Berdasarkan kenyataan di masyarakat
pelaksanaan upacara maupun upakara sangat bervariasi, menurut adat setempat dan
menurut Tukang Banten. Yang lainnya dalam Satu Desa saja bisa bervariasi, namun
inti dan maknanya yang sama. ''Beberapa Variasi Upakara sebagai berikut :
•
Variasi
I Upakara (sesajen) menurut Kanda Pat Rare adalah sebagai berikut:
-
Abyakala
-
Pagedongan
-
Sesayut Pengambean.
-
Canang
-
Daksina
•
Variasi
II, menurut salah satu variasi di Desa Batubulan sebagai berikut:
-
Dapetan Tumpeng Pitu
-
Pejati munggah ring
Dewa Hyang Guru
-
Pejati Pemangku
-
Soroan
-
Tebasan Prayascita
-
Sodaan sesuai dengan
Kondisi Merajan
•
Variasi III, untuk
pembersihan sederhana
-
Abyakala
-
Prayascita
Makna dari
upakara, jenis sesajen di atas, menurut analisis penulis : Sesajen Abyakala dan
Prayascita untuk menghilangkan pengaruh buruk dari Sang Buta Kala serta bencana
yang akan menimpa sang Bayi maupun Sang Ibu. Daksina yang diperuntukan Pemangku
merupakan ungkapan terimakasih telah ikut ngayabang Banten. Daksina juga diisi
tetapakan dari Janur yang berbentuk menyilang
(+) sebagai simbul
swastika yang artinya
semoga baik dan selamat. Yang arah ke atas memohon
keselamatan kepada Ida Sang
Hyang Widhi Wasa, sedangkan arah ke bawah
mohon keselamatan pada Buana
Agung. Salah satu variasi metanding Abyakala/Biakala
adalah sebagai berikut :
-
Alas kulit Sayut di bawah memakai sidi di atas kulit peras
pandan.
-
Nasi dibungkus daun.
-
Penek merah ditusukkan di atasnya bawang
Tabia dialasi kau.
-
Telur Ayam
-
Base Tulak (Base
5 lembar) digulung
bolak-balik, satu lembar dililit berfungsi sebagai kamben/Kain
-
Kala
Sepet = Tiing disepak kurang lebih 6 cm didalamnya diisi Sambuk.
-
Buu
Tangga Menek, Tangga Tuun, Jan Lilit linting, Lilit Lengkung dibuat dari Janur.
-
Padma (berupa Sampihan)
-
Sidi, tempat sebagai alas metanding. Sidi dibuat berlubang-
lubang.
Menurut analisis Penulis mengandung makna
agar Kala dapat disaring atau hal yang kotor dan hal yang dianggap bersih dapat
dipisahkan. Secara, simbolik
segala yang cemer
agar keluar dari Orang
Tua maupun si Jabang Bayi.
-
Kekeb
(tutup Nasi tradisional), di atas diisi takep api dari serabut kelapa yang
disilang seperti simbol Swastika. Simbol Dewa Brahma yang mengandung makna,
semoga yang reged/kotor, tidak baik secara niskala dapat
dimusnahkan oleh api
sebagai simbol Brahma.
-
Pebersihan
-
Satu
Ceper berisi isuh-isuh, diisi Bawang Merah, Uang Bolong (uang Kepeng).
-
Coblong berisi air
-
Penyeneng.
Semua Tetandingan Byakala di atas
mengandung makna untuk pebersihan dan mohon kepada Ida Sang Hyang Widi Wasa,
Kala baik yang datang di dalam diri (Buana Alit) maupun pengaruh luar di Buana
Agung dapat ditolak atau ditangkal. Demikianlah salah satu variasi cara membuat
Abyakala/Biakala.
3. UPACARA BAYI BARU LAHIR DAN MENDEM ARI-ARI
Keberadaan manusia sebagai salah satu
mahluk ciptaan Tuhan adalah memiliki kedudukan yang paling utama dan paling
mulia. Hal ini dikarenakan manusia memiliki kemampuan yang lebih dalam hal
peningkatan derajat harkat dan martabatnya.
Peningkatan derajatnya sebagai manusia dapat dilakukan
dengan memanfaatkan kelebihan yang dimilikinya yang disebut
dengan pikiran (idep), sehingga dengan pikiran ini manusia memiliki wiweka
yaitu kemampuan untuk mempertimbangkan baik buruknya sesuatu hal yang
dilakukan. Namun demikian, manusia sebagai mahluk duniawi juga tidak lepas dari
segala kekurangan, kekeliruan dan jauh dari kesempurnaan. Sehingga sering kali
manusia juga melakukan perbutan-perbuatan yang tidak sepantasnya dilakukan yang
mengarah pada dosa. Untuk mengurangi akibat dari dosa (papa) ini manusia
seharusnya melakukan suatu usaha untuk menumbuhkan kesucian dalam hati,
pikiran, perkataan dan perbuatannya dan juga dilakukan dengan upacara-upacara
keagamaan yang bertujuan untuk membersihkan segala mala (kekotoran) yang ada.
Dalam agama Hindu selalu mengajarkan pada umatnya untuk senantiasa
menjaga kesucian dalam diri baik melalui perbuatan dan juga dalam bentuk
pelaksanaan upacara. Dengan demikian umat diharapkan dapat pula melaksanakan
uapacara pembersihan diri mulai dari ia lahir sampai pada waktunya harus
kembali pada Hyang Widhi. Upacara yang diperuntukan bagi umat manusia disebut
dengan upacara Manusa Yadnya. Disini akan penulis uraikan lebih lanjut mengenai pelaksanaan Upacara untuk bayi yang baru lahir.
Upacara kelahiran (Jatakarma Samskara) Upacara ini
dilaksanakan pada waktu bayi baru dilahirkan. Upacara ini adalah sebagai ungkapan kebahagiaan atas kehadiran si
kecil di dunia. Upacara Jatakarma dilaksanakan pada waktu bayi baru dilahirkan
dan telah mendapat perawatan pertama. Upacara ini dilaksanakan Upacara Jatakarma
dilaksanakan di dalam dan di depan pintu rumah.
Upacara kelahiran dilaksanakan atau dipimpin oleh salah
seorang keluarga yang tertua atau dituakan, demikian juga untuk menanam
(mendem) ari-arinya. Dalam hal tidak ada keluarga tertua, misalnya, hidup di rantauan,
sang ayah dapat melaksanakan upacara ini.
Ari - ari
merupakan salah satu bagian penting dalam proses
perkembangan janin di dalam kandungan. Dalam tatwa Kanda
Pat disebutkan bahwa manusia lahir ke dunia dibantu oleh 4 saudara yaitu ari -
ari, lamas, darah dan yeh nyom. Ke empat saudara inilah yang menjaga bayi dalam
kandungan dan membantu proses kelahiran bayi. Setelah bayi lahir maka sang
kanda pat pergi menuju lokasinya masing untuk beryoga dan karena keteguhannya
beryoga maka keempat saudara kita tersebutlah pada akhirnya akan menjadi Sang
Suratman, Sang Jogormanik, Sang Mahakala dan Sang Dorakala
yang akan menjadi saksi perilaku kehidupan dan sebagai penuntun jalan
setelah kematian.
Pelaksanaan upacara bagi bayi yang baru lahir salah satu
maknanya adalah sebagai ungkapan rasa gembira dan shyukur atas lahirnya si bayi
ke dunia. Upakara-upakara yang dipergunakan disebut dengan Dapetan. Upakara
dapetan ini terdiri dari beberapa bagian yang disesuaikan dengan tingkatan
upacaranya, yaitu:
A.
Tingkatan Kecil :
Upakaranya: nasi muncuk kuskusan, dilengkapi dengan buah- buahan
(raka-raka), rerasmen (kacang, saur, garam, sambel dan ikan), sampian jaet, dan
canang sari/canang genten, serta sebuah penyeneng. Upakara ini dihaturkan
kepada Sang Dumadi.
B.
Tingkatan yang lebih besar
Upakaranya : sama seperti di atas hanya saja dilengkapi
lagi dengan jerimpen di wakul yaitu sebuah wakul yang berisi sebuah tumpeng
lengkap dengan raka-raka, rerasmen dan sampian jaet.
ada
pula yang menggunakan dasar sastra berikut ini : maksudnya :
Anak Alit Wawu lekad Upakarania : Nasi muncuk kukusan, wohwohan, raka-raka, rerasmen, kacang saur, garam,
sambel, ulam, sampiyan
jaet,
canang sari, canang genten, penyeneng. Katur ring Sang
Numadi. Yan ageng upekarane, maweweh
jrimpen miwah tumpeng. Munguwing ari- arine, Ri sampun kabersihan, kacelepan
ring jeroning kelapa sane sapun kabelahang dados kalih, toyane kutang. Ring
luhurne marajah ongkara, sane ring sor marajah ah,ring jeroning kelapa
kedagingan duwi-duwian miwah lekesan sagenep. Kelapane cakupang malih,
kahungkus antuk duk miwah wastra putih, raris pendem. Yan lanang ring tengen,
yan wadon ring kiwa umah meten. Iki mantran mendem: Ong sang ibu pertiwi rumaga
bayu, rumaga amertha sanjiwani, ngamertanin sarwa tumuwuh, nama sa jabang bayi
mangda dirgayusa nutugang tuwuh.
Tata pelaksanaan upacara anak yang baru lahir memiliki
beberapa tatanan dalam pelaksanaannya yaitu :
4. TATA CARA MENANAM ARI-ARI
Persiapan sebelum memulai menanam ari-ari Air kumkuman secukupnya
Boreh gading
(dibuat dari beras dan bangle)
Kelapa muda dan dibelah dua, dan ditulis dengan rerajahan,
bagian atas atu penutup dengan "Ongkara" dan bagian bawah dirajah
dengan tulisan "Ahkara ".
Serabut ijuk
Daun lontar ditulis aksara dasa bayu dengan huruf Bali,
bila lelaki tulis "ong ong ah ah 3x" dan bila perempuan tulis
"ong ong ung ung 3x".
Sebuah ngad
dengan panjang 5 cm
Batu bulitan atau
batu hitam dengan
diameter 15 – 20 cm Pohon
pandan
Sanggah tutuan beratap ijuk atau kelopak bambu Air bersih
Sebuah kwangen berisi uang bolong 11 kepeng
Duri-duri, isin
ceraken, anget-anget, dan wangi-wangian
5. PERAWATAN TERHADAP ARI-ARI :
Saat bayi lahir maka ada upacara khusus
yang harus dilakukan untuk mendem ari-ari si bayi. Saat si ibu dalam proses
bersalin maka disiapkan sebuah periuk tanah yang berisis tutup yang mana jika
bayi sudah lahir maka ari -arinya dimasukan ke dalam periuk tersebut dan dibawa
pulang. Sesampai di rumah maka oleh ayah si anak ari – ari diletakan di dalam
baskom/ember baru yang setelah itu alat tersebut tidak boleh dipakai lagi. Lalu
ari – ari tersebut di cuci dengan air. Sang ayah harus membersihkan ari - ari dengan
bersih dengan menggunakan kedua tangan, tanpa perasaan jijik dan dilakukan
dengan perasaan penuh syukur dan kasih sayang, setelah bersih lalu di bilas
dengan air kumkuman (air bunga).
Siapkan
sebuah kelapa ukuran
besar yang masih lengkap dengan kulitnya, lalu dipotong dan
dikeluarkan airnya. ari-ari atau plasenta setelah dibersihkan kemudian
dimasukan ke dalam buah kelapa yang sebelumnya sudah dibelah menjadi dua bagian
yang airnya juga telah dibuang. Bagian atas kelapa itu diisi tulisan
"Ongkara" ( þ ). Sedangkan pada bagian bawah kelapa
tersebut diisi tulisan
"Ahkara" ( ö ).
Selain dari itu ke dalam kelapa tadi dimasukan beberapa
jenis duri terung, mawar dan sebagainya. Selain duri ada bebarapa lagi yang
dimasukan yaitu sirih lekesan selengkapnya. Setelah itu kedua belahan kelapa
tadi dicakupkan dibungkus dengan ijuk dan kain putih kemudian dipendamkan.
Kalau seandainya kesulitan dalam mencari ijuk, penggunaan kain putih saja
diperbolehkan.
Tempat memendamnya adalah sesuai dengan jenis kelamin si
bayi. Kalau si bayi laki-laki maka dipendam disebelah kanan pintu balai,
sedangkan kala bayinya perempuan maka ari-arinya dipendam di sebelah kiri pintu
balai (dilihat dari dalam rumah).
Cara
menanam ari-ari
Nyalakan dupa untuk memohon perlindungan dan amertha ke hadapan Sang Hyang Ibu Pertiwi dengan
mantra :
"Om ang sri basunari jiwa mertha, trepti paripurna ye
namah suaha" Ucapan saa :
Pukulun Sang Hyang Ibu Pertiwi, pinakengulun aminta sih,
ingsun angengkap pertiwi, ngulati
amendem ari-ari, tan kenang sira keletehan,
rinaksanan denira Sang Catur Sanak, manadi pageh uripe di jabang bayi, Om sidhi
rastu yenamah swaha
Setelah mengucapkan mantra diatas barulah membuat lubang, selanjutnya
ari-ari dicuci dengan air biasa sampai bersih, sesudah itu diusapi dengan boreh
gading sampai rata, kemudian dibilas dengan
air kumkuman agar bersih. Semua air pencucinya di masukkan kelubang
tersebut.
Ari-ari dimasukkan kedalam kelapa yang dibelah menjadi dua
dan diisi ngad, lontar yang telah ditulisi diatas, kewangen yang berisi uang
bolong 11 kepeng, duri-duri, isin ceraken, anget-anget, dan wangi- wangian
dibungkus dengan serabut ijuk, serta diluar ijuk dibungkus dengan kain putih,
dibuat simpul diatasnya, dan dipasangkan kwangen
diatasnya.
Masukkan ari-ari kedalam lubang atau bangbang dengan muka kwangen
kearah halaman rumah. Sambil meletakkan didalam lubang ucapkan mantra dalam
hati :
"Om presadha
stiti sarisa sudha ya namah"
Artinya : Om Hyang Widhi Wasa dalam manifestasi sebagai
pertiwi, penguasa segala kekuatan, penguasa kehidupan menghidupi segala yang
lahir/ tumbuh, si anu (nama si bayi) semoga panjang umur.
Tata letak pembuatan lubang memiliki
etika yang berbeda antara bayi wanita dengan bayi laki-laki. Kalau bayi
laki-laki ditanam dibagian kanan pintu rumah dari kita menghadap ke halaman
rumah, sedangkan bagi bayi perempun dibagian kiri. Setelah ditanam diatasnya
ditanami pohon pandan dan batang kantawali, sebatang
buluh guna memasukkan air nantinya ke ari-ari tersebut
kemudian diletakkan sebuah batu hitam atau batu bulitan.
Diatas batu diletakkan sebuah lampu Bali
yang telah menyala dan dibiarkan tetap menyala sampai bayi kepus pusar,
kemudian ditutup dengan sangkar ayam.
Dibagian hulu dari ari-ari ditanam
ditancapkan sebuah sanggah tutuan dihiasi dengan bunga merah, lengkap berisi
sampian, gantung- gantungan, sebagai stana Sanghyang Maha Yoni.
Suguhkan
segehan beralaskan daun taru sakti (dapdap) pada ari-
ari sebanyak empat tanding antara lain :
kepelan putih satu tanding, lauknya garam menghadap ke timur kepelan
merah (bang) satu tanding, dengan lauk bawang menghadap ke selatan,
kepelan kuning satu tanding, lauk jahe menghadap ke barat, kepelan
hitam (ireng) satu tanding, lauk uyah areng menghadap ke utara
ucapan:
"ong
sang butha preta, empu semeton jrone sang rare, mangde pageh angemit"
Kemudian percikkan tetabuhan berem dan arak
kepelan putih satu tanding dengan sedikit garam, dihaturkan di sanggah
kemara (diatas tempat tidur bayi).
lakukan ritual
menghaturkan segehan ini setiap rahinan jagat, kliwon serta petemuan dina
kelahiran bayi.
Selanjutnya setiap hari diatas batu
bulitan atau batu hitam disajikan banten nasi segenggam diatas daun dapdap
dengan lauk garam dan arang. setiap selesai memandikan bayi, siramkan air
memandikan bayi tersebut di batu hitam tersebut.
Menghaturkan soda putih kuning, canang
sari pada sanggah tutuan, dengan ucapan :
“Om pakulun paduka Sang Hyang Maha Yoni maka dewaning rare astana
ring pelantaran, penyawangan, pinakengulun sang adruwe jabang bayi anganturaken
bhakti seprakaraning penek putih kuning,
maduluran kesuma, pinakengulun aminta nugeraha, kemit rareningulun
rahina kelawan wengi, anulak sarwa ala, sakwehing joti maetmahan jati, Ang…Ah amertha
sanjiwani ye namah swaha”
Menghaturkan soda pada pelinggih kemulan, dengan tujuan
memohon tirtha pasucian kehadapan Hyang Guru dengan mantra :
"Om guru rupam sadadnyanam, guru pantharanam dewam,
guru nama japet sadha,
nasti-nasti, dine-dine, Om gung guru paduke byonamah swaha"
Ucapan saa:
"Om pakulun paduka Bhatara Hyang Guru mami angaturaken
tadah saji pawitra, aminta nugraha Bhatara tirtha pengelukatan pebersihan,
nggenlumulangaken keletehan sariran ipun dijabang bayi, kelukat, kelebur de paduka Bhatara
matemahan sarira sudha
nirmala yenamah, Om sidhi
rastu ye namah swaha" Tirtha pasucian dipercikkan ketempat sanggah tutuan
dan tempat ari-ari, banten buwu, serta dapetan. Selanjutnya bayi dan ibunya
diperciki tirtha buwu dan ayabang banten dapetan.
6. MAKNA DAN TUJUAN
Makna dan tujuan yang terkandung pada upacara saat bayi
baru lahir yaitu :
Ari-ari, merupakan bagian dari kehidupan sang bayi yang
merupakan personifikasi dari Sang Catur Sanak, yaitu : Sang anta Preta
merupakan sebutan dari air ketuban atu yeh nyom sebagai personifikasi saudara
tertua dari sang bayi karena air ketuban sebagai pengantar bayi lahir ke dunia.
Sang Kala merupakan sebutan darah yg keluar pada saat melahirkan sebagai sumber
energi dari bayi sehingga bayi bisa
bergerak aktif untuk keluar dari perut Ibu Sang Bhuta merupakan sebutan untuk
selaput ari atau lamas yang membungkus tubuh bayi, berguna sebagai penetralisir
suhu udara sebelum lahir maupun saat lahir, sehingga suhunya menjadi seimbang dan sekaligus
sebagai sarana pelicin saat bayi lahir.
Sang Dengen adalah
sebutan untuk ari-ari
atau placenta yang ikut lahir. Karena ari-ari sangat berguna
sebagai sumber kehidupan bayi dalam kandungan , sebab ari-ari merupakan
transformator dan mediator zat- zat makanan dari Ibu kepada bayi dalam
pertumbuhannya sekaligus sebagai selimut dalam menjaga stabilitas suhu tubuh
bayi terhadap suhu badan si Ibu
Batu hitam atau batu bulitan
Batu bulitan mengandung makna sebagai permohonan kehadapan Sang
Hyang Widhi agar sang bayi dianugrahi panjang umur.
Pohon Pandan
Pohon pandan diwujudkan sebagai buaya putih sebagai penjaga
bayi terhadap gangguan yang bersifat black magic.
Lampu Bali
lampu ini berbahan bakar minyak kelapa yang dicampur dengan
minyak lampu wayang (tunasin ring jro dalang) serta minyak kelapa (nyuh surya).
Lampu Bali yang menyala melambangkan Sanghyang Surya Candra, yaitu memiliki
kekuatan Widia, oleh karan itu lampu tersebut ditatabkan atu ayab. Mantra :
"Om Ang Ah Surya Candra Gumelar Ye Namah Swaha"
Sangkar Ayam
Sebagai
lambang kekuatan maya Sang Hyang Widhi dan sebagai Cakra Jala (batas pandang
alam semesta). Bahwa catur sanak merupakan bagian mayanya Sang Hyang Widhi dan
merupakan unit kehidupan maya di alam semesta, serta menjadi pelindung bayi Sanggah Tutuan
Merupakan simbul dari stananya Sang Hyang Maha Yoni sebagai Dewa
pengasuh sang bayi
Banten Bhuwu
Merupakan banten penyucian terhadap bayi dan ibunya serta lingkungan
agar suci dari kecuntakaan atau sebel pada tahap permulaan
Banten Dapetan
Mengandung makna dan tujuan sebagai penyapa kehadapan roh suci
yang baru reinkarnasi menjadi bayi.
7. UPAKARA
Merajaan
Daksina, peras, soda, ketipat kelanan atau banten soda. Ayaban untuk Ibu dan
bayi: Banten dapetan asoroh, Banten ajuman putih kuning
Upakara penyucian
: Banten bhuwu asoroh
Upakara
di sanggah tutuan: Soda putih kuning, Canang burat wangi, Cangang lenga wangi,
Untuk di ari-ari : Segehan kepelan 4 soroh
Demikianlah perawatan terhadap ari-ari dianggap selesai dan
setiap ada upacara yang ditujukan pada sibayi, hendaknya ari-arinya jangan
dilupakan. Disamping itu perlu kiranya dikemukan bahwa bila keadaanya tidak
memungkinkan/ tidak mengijinkan maka ada kalanya ari-ari itu dibungkus dengan
kelapa seperti tadi kemudian dibuang dilaut.
Demikian yang dapat penulis sampaikan apabila ada
kekeliruan memohon kritik dan sarannya dan mari diluruskan secara bersama agar
sesuai dengan sastra agama. Atas segala kekurangan yang ada penulis mohon maaf
yang sebesar-besarnya karena segala keterbatasan yang ada.
8.
UPACARA TIGABULAN DAN OTONAN
Upacara tiga bulanan dan otonan sebaiknya dilaksanakan
tepat pada harinya, yaitu: untuk tiga bulan, pada hari ke 105 setelah
kelahiran. Upacara otonan pertama setelah berumur 6 bulan kalender Bali: 6x35
hari = 210 hari setelah kelahiran. Ketika berusia 105 hari
organ tubuh bayi sudah sempurna dalam arti panca indranya sudah aktif,
peredaran darah dan pencernaannya sudah normal. Aktifnya panca indra membawa
dampak positif dan negatif pada kesucian atman (roh). Tujuan upacara tiga
bulanan adalah:
Menyiapkan anak untuk waspada akan pengaruh-pengaruh panca indria.
Mengucapkan terima kasih kepada kekuatan-kekuatan Hyang
Widhi yang telah menjaga bayi sejak dalam kandungan sampai lahir yaitu :
a.
Nyama Bajang, dan
b.
Kandapat.
Bayi sudah menjadi "manusia" dan boleh diberi nama
dan kakinya boleh menginjak tanah.
Jika belum diupacarai tiga bulanan, ia masih
"cuntaka" yaitu belum suci. Namun demikian, karena berada jauh di rantau
dan juga tidak ada
yang bisa membuat upacara pada hari yang tepat, maka ketika pulang ke Bali
semua anak-anak diupacarai sekaligus. Ini namanya "pengecualian"
lebih baik terlambat dari pada tidak. Upacaranya boleh massal hanya saja
"banten peras tataban" masing-masing anak satu. Demikian juga dengan
otonan pertama, atau otonan rutin yang dilaksanakan setiap 6 bulan Bali.
Nyama bajang dan kandapat "diundang" untuk
dihaturi sesajen sebagai ucapan terima kasih karena telah merawat bayi sejak
dalam kandungan sampai lahir dengan selamat. Tattwa yang sebenarnya adalah
syukuran kehadapan Hyang Widhi atas kelahiran bayi.
Si Bayi natab banten bajang colong artinya menerima
lungsuran (prasadam) dari "kakaknya" yaitu kandapat (plasenta:
ari-ari, getih, lamas, yeh-nyom)
Si Bayi "mepetik" (potong rambut, terus digundul,
menghilangkan rambut "kotor" yang dibawa sejak lahir).
Si Bayi "mapag rare" (disambut kelahirannya) di
Sanggah pamerajan, memberi nama, dan menginjakkan kaki pertama kali di tanah
didepan Kemulan.
Si Bayi menerima lungsuran (prasadam) Hyang Kumara yaitu manifestasi
Hyang Widhi yang menjaga bayi.
Si Bayi "mejaya-jaya" dari
Sulinggih, yaitu disucikan oleh Pendeta. Symbol (niyasa)
yang digunakan dalam
upacara Tiga Bulanan:
Regek yaitu anyaman 108 helai daun kelapa gading berbentuk manusia,
sebagai symbol Nyama Bajang;
Papah yaitu pangkal batang
daun kelapa gading
sebagai symbol ari-ari, Pusuh yaitu jantung pisang
sebagai symbol getih (darah),
Batu sebagai symbol yeh-nyom, Blego sebagai symbol lamas, ayam sebagai
symbol atma,
sebuah periuk tanah
yang pecah sebagai symbol kandungan yang sudah melahirkan bayi,
lesung batu sebagai symbol kekuatan Wisnu, pane symbol Windu (Hyang
Widhi),
air dalam pane symbol akasa,
tangga dari tebu kuning sepanjang satu hasta diberi palit
(anak tangga) tiga buah dari kayu
dapdap symbol Smara-Ratih (Hyang Widhi yang memberi panugrahan kepada suami-istri).
Upacara otonan lebih sederhana dari tiga bulanan, karena
tujuannya mengucapkan syukur kepada Hyang Widhi atas karunia berupa panjang
umur, serta mohon keselamatan dan kesejahteraan.
Yang diragukan oleh ortu anda, mungkin masalah tirta dari
Sanggah Pamerajan ketika upacaranya di Jakarta. Jika upacara di Jakarta sudah seperti
di atas, atau mendekati seperti
itu, sudah cukup.
Nanti di Bali dibuatkan
tataban di Sanggah pamerajan yang dinamakan upacara "mapinton" yaitu
memperkenalkan dan melaporkan kelahiran si bayi kepada
roh leluhur yang distanakan di Sanggah Pamerajan.
Namun jika ortu berkeras juga mau mengadakan upacara tiga
bulanan dan otonan, sebaiknya turuti saja, karena beliau mungkin ingin
mencurahkan kasih sayangnya
kepada cucunya. Nah dengan demikian anda kan juga berbhakti kepada ortu dan membuat beliau senang, asal saja biayanya terjangkau.
BAB III PENUTUP
KESIMPULAN
Dari semenjak dalam kandungan sudah
dilaksanakan upacara magedong-gedongan hingga lahir ke dunia disertai oleh air,
daging, darah dan lendir yang menyertai si bayi memiliki nilai kekuatan magis ,
sebagai saudara yang ikut terlahir, namun di tanam sesuai kelamin sang bayi,
jika laki-laki di sebelah kanan pintu masuk dan jika perempuan disebelah kiri
dari pintu masuk. Selanjutnya, kepus pusar, lalu Sembilan hari, 1 bulan tujuh
hari (42) hari (tutug kambuhan), penghilangan cuntaka ibu dan anak.
Tujuan UPACARA TIGA BULANAN sudah saya
jelaskan. Yang mungkin perlu dijelaskan lebih lengkap adalah urutan upacara dan
symbol (niyasa) yang digunakan. Urutan upacara: Ayah dan ibu bayi mebeakala
dengan tujuan menghilangkan cuntaka karena melahirkan, hingga proses upacara
enam bulan/1 Oton hingga 3 Oton, lanjut majerimpen setiap 6 bulan Bali (210
hari)
SARAN-SARAN
Sebagai penulis dalam artikel ini,
mencoba berharap agar dapat menjadi reperensi untuk mendapat perhatian dari
generasi muda, sarati banten, serta bisa menjadi panduan tertulis yang dapat
disosialisasikan demi ajegnya Tradisi dan Budaya Bali.
DAFTAR PUSTAKA
S. Swarsi l Warta
Hindu Dharma NO. 433 Maret 2003
Ida Pandita Nabe
Sri Bhagawan Dwija Warsa Sandhi
Mangku
Alit Pekandelan dan Drs. I Wayan Yendra ( Buku Kanda Empat Rare)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar