Adat, Tradisi, Agama, Budaya Hindu Bali

Selasa, 31 Maret 2020

BENARKAH IDA DANG HYANG DWIJENDRA ADALAH SEORANG PENDETA BUDDHA??????

Wayan Suyasa: Masa-masa akhir perjalanan Danghyang Nirartha
 








BIOGRAFI
RJALANAN DANGHYANG NIRARTHA

x


oleh 
I NYOMAN GIRI YASA
19.01.059


Time for Share: Kata-kata Bijak Guru Gede Prama

PENDAHULUAN

LATAR BELAKANG
Ilmu perbandingan agama-agama telah diajarkan di berbagai perguruan tinggi di Indonesia dengan tujuan untuk : (1) Mengetahui berbagai aspek dari agama-agama itu sendiri baik menyangkut sejarah kelahirannya, proses perkembangannya, proses masukknya ke Indonesia serta pokok-pokok ajarannya (2) Mengambil manfaat semaksimal mungkin dari nilai-nilai agama tersebut sehingga dapat meperkokoh rasa persatuan dan kesatuan. (3) Untuk melenyapkan kecurigaan dan pandangan sempit serta kefanatikan yang dapat mengancam kesatuan nasional. (4) |Untuk dapat menambah rasa saling menghargai dan saling menghormati antara umat beragama untuk mewujudkan kerukunan nasional. (5) Umat beragama diharapkan dapat berperan aktif dalam pembangunan nasional.
Dalam sebuah dharma wacana yang berjudul Kesedihan, Kebahagiaan dan Kebebasan  dihadiri oleh kira-kira 3.000 peserta yang dipublikasikan tanggal 27 November 2018 di gedung Artcentre Bali beliau menjawab pertanyaan seorang peserta yang menanyakan “, apakah benang merah antara Hindu dan Budha di Bali, kenapa banyaknya Pura yang dekat dengan Konco di Bali?” Beliau menjawab “, dua kali sejarah pulau Bali itu ekstrim, dimana pada abad ke 10 – 11 ekstrim kiri (orang Bali siap berkelahi dengan sekte-sektenya), raja mengundang pendeta budha Ida Mpu Kuturan. Yang menata, mendamaikan dan membangun pura adalah Pendeta Budha (Ida Mpu Kuturan). Abad 16 bali mengalami ekstrim kanan. Bali mengalami jaman keemasan lewat raja Dalem Watu Renggong di Klungkung. Lagi-lagi ketika tatkala Bali mengalami ekstrim kanan jaman keemasan yang datang mendampingi raja adalah Pendeta Budha dari jawa Ida Dang Hyang Dwijendra. Dengan kata lain, sejarah sedang bertutur kalau tempat ini mau ketitik ekstrim maka selalu mengundang sesuatu datang dari Jawa dan dua-duanya yang datang adalah pendeta Budha…………….…”.
Pernyataan Gede Prama tentu mengagetkan, karena sepanjang pengetahuan penulis Ida Dang Hyang Dwijendra atau yang dikenal Dang Hyang Nirarta, di Bali Ida Pedanda Sakti Wawu Rauh dan Tuan Semeru, di Sumbawa adalah Pendeta Siwa. Dalam Dwijendra Tatwa yang disusun oleh IBG Agastia disebutkan beliau adalah putra dari Dang Hyang Asmaranatha yang menjadi purohita Wilwatikta (Majapahit). Beliau merupakan saudara dari Dang Hyang Angsoka yang dianggap sebagai leluhur pendeta Buddha di Bali, sedangkan Dang Hyang Nirartha merupakan leluhur pendeta Siwa di Bali. Oleh karena itu perlu adanya penelusuran literatur dan sejarah perkembangan agama Hindu di Bali yang untuk menjawab pertanyaan, “APAKAH BENAR IDA DANG HYANG DWIJENDRA PENDETA BUDDHA???”. 
TUJUAN 
  1. Tujuan Umum
Mengenal siapakah Dang Hayang Nirarta yang merupakan tokoh agama dan spiritual di Bali abad ke 16. 
  1. Tujuan Khusus
  1. Mengetahui asal-usul Dang  Hyang Nirartha
  2. Mengetahui sejarah perjalanan Dang Hyang Nirartha
  3. Mengetahui Pokok-pokok Ajaran Dang Hyang Nirartha

PEMBAHASAN

BIOGRAFI SINGKAT GEDE PRAMA 
Nama Lengkap : Gede Prama
Alias : Prama
Profesi : Pengusaha
Agama : Hindu
Warga Negara : Indonesia

Pria berkacamata kelahiran Bali ini sukses meniti karir yang gemerlap dan cemerlang hingga menduduki kursi tertinggi jabatan (CEO) pada banyak perusahaan. Namun, kesuksesan yang tak diraihnya dalam waktu sekejap tersebut nyatanya 'dilempar' begitu saja menginjak usianya yang ke-39.
Sebuah goncangan hebat mampir dalam kehidupan Gede Prama menginjak usia 39 tahun. Berturut-turut dalam kurun waktu tak sampai tiga tahun, ketiga orang yang ia cintai meninggalkan dirinya untuk selamanya. Ayah, ibu, dan ibu mertuanya meninggal bersamaan dengan cobaan berat yang melilitnya di kantor. Saat itu, ia mengaku bahwa semakin keras dan semakin memberontak ia pada keadaan, maka semakin ia tidak berdaya. Lalu, perlahan-lahan ia mulai melepaskan diri dan berserah pada keadaan, dan saat itulah ia mulai memasuki dunia sufi. Buku-buku miliknya yang mayoritas tentang buku bisnis kemudian dialihkan dan berganti menjadi buku filosofi karangan Kahlil Gibran, David Bohn, Krisnamurti, Michel Foucault, Aikido Morihei, dan Jalaludin Rumi.
Bukan tanpa alasan ia kemudian lari dan semakin memperdalam ilmu filosofi, ketertarikannya pada dunia filosofi rupanya bermula saat dirinya masih kecil. Ibunya kerap kali memberikan wejangan yang bersumber dan menghasilkan kebaikan. Wejangan-wejangan tersebut rupanya menginspirasinya untuk selalu berpikir positif pada setiap tingkah laku. Hingga pada satu titik bernama keyakinan, pria yang akrab disapa Prama ini meyakinkan diri bahwa dirinya dapat menjadi seorang yang sukses di bidang filosofi. 
Memutuskan sebagai seorang pelayan dengan ketekunan yang tinggi ternyata bukanlah hal yang sepenuhnya salah. Bahkan, melalui metode spiritual yang ia kembangkan, namanya semakin banyak dikenal oleh masyarakat luas. Ketertarikannya pada dunia pelayanan inilah yang kemudian mengantarkan lulusan Universitas Lancaster, Inggris ini bertemu langsung dengan Dalai Lama, pengajar spiritual dari India dan Lama Zopa Rinpoche, dan YA Thich Nhat Hanh untuk semakin memperdalam ilmu spiritualnya.
Kini, tak hanya bekerja sebagai pelayan dan Direktur Dynamics Consulting, Prama juga aktif memberikan seminar-seminar motivasi di sisi kegiatan menulisnya. Puluhan buku motivasinya telah banyak diterbitkan sejak tahun 1997 hingga kini. (Riset dan Analisa: Atiqoh Hasan Last Update 7/3/2014)

ASAL USUL DANG HYANG NIRARTA / DANG HYANG DWIJENDRA
SIWA BUDDHA
Jawa Buda (Śiwa Buddha) merupakan ajaran agama Śiwa yang sudah bercampur dengan ajaran agama Buddha Mahāyāna/Tantrayāna (Wajrayāna) dan ajaran Jawadīpa. Ajaran ini mencapai puncak keemasannya pada masa Majapahit. Masyarakat Jawa sering kali menyebut ajaran ini dengan istilah agama Buda (baca: agomo Budo) saja dan penganutnya disebut wong Jawa Buda (baca: wong Jowo Budo). Naskah-naskah Jawa Baru sering juga menyebut istilah agama Buda ini. Buda di sini tidak merujuk kepada agama Buddha belaka, melainkan lebih kepada sinkretisme dari ajaran agama Śiwa, agama Buddha Mahāyāna/Tantrayāna (Wajrayāna), dan ajaran Jawadīpa. Dalam rontal-rontal pra-Islam di Jawa, nama ajaran ini dengan sangat jelas disebut sebagai Śiwa Buddha atau Buddha Wiśwa atau Śiwa Sogata. Ajaran Jawa Buda lantas berkembang pesat di Bali. Di Bali sendiri terjadi pemisahan antara ajaran agama Śiwa dan ajaran agama Buddha. Pemisahan ini diprakarsai oleh Danghyang Dwijendra—yang lantas dikenal dengan nama Danghyang Nirartha atau Panḍita Śakti Wawu Rawuh—seorang brahmana asal Daha (Kediri) yang pada abad 15 menyingkir ke Bali seiring hancurnya Majapahit dan berkuasanya Kesultanan Dêmak Bintara di tanah Jawa. Ajaran agama Śiwa yang menyempal dari ajaran Jawa Buda kemudian dikenal di Bali dengan nama agama Tīrtha. Pada perkembangan selanjutnya, seiring teguhnya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), agama Tīrtha lantas dikenal dengan nama agama Hindhu Bali yang sampai hari ini masih dipeluk oleh mayoritas penduduk Bali. Nama Hindhu sendiri tidak dikenal oleh masyarakat Jawa dan Bali setidaknya sampai abad 19. ( Damar Shashangka . Bogor, Jum'at Legi, 04 Juli 2019 https://www.facebook. com/massaylarosbanyuwangi/posts /2282440405210268/)

DANG HYANG NIRARTHA
Dang Hyang Nirartha sendiri mendapatkan diksa atau penahbisan dua kali, yaitu penahbisan pertama oleh Buddhis Mahayana, dan penahbisan yang kedua tradisi Siwa Siddhanta. Oleh karena itu, ia menyandang sebutan Dang Hyang Dwi Jendra, atau Dang Hyang, pendeta suci yang mendapatkan Dwi Jendra atau penahbisan dua kali. 
Ia juga mengajarkan Islam wetu telu di Lombok yang hingga kini dimiliki masyarakat masih ada. Ada pun salah satu sastra kakawin Jawa kuna ini dihidupkan kembali pada acara  proyek mindful,  Minggu (14/10) di XXI Lounge, Ciputra World, Surabaya, oleh grup band zaman baru asal Solo, Astakosala Volk dengan judul Alamkara Kakawin Hanang Nirartha, yang berisikan kerinduannya pujangga di tanah airnya di Jawa sementara itu tersisa di Bali. (http://buddhazine.com/bertamasya-ke-masa-jawa-silam-dengan-sastra-jawa-kuna/
Goris yang dikutif dari dalam artikel I Made Sendra yakni Membangun Image Bali Sebagai Destinasi Religious Tourism: Studi Geneaologi Perjalanan Dharmayatra (Pilgrimage) Danghyang Nirarta ke Bali mengatakan Dang Hyang Nirartha menguasai berbagai pengetahuan tentang keagamaan, kesusastraan, pemerintahan, dan ilmu usada (pengobatan) sehingga dijuluki Ida Pedanda Sakti Wawu Rauh. Sementara gelar Dang Hyang Dwijendra dikarenakan beliau selain penganut aliran Siwa juga Bodha (Sogata).
Dalam Dwijendra Tatwa yang disusun oleh IBG Agastia disebutkan beliau adalah putra dari Dang Hyang Asmaranatha yang menjadi purohita Wilwatikta (Majapahit). Beliau merupakan saudara dari Dang Hyang Angsoka yang dianggap sebagai leluhur pendeta Buddha di Bali, sedangkan Dang Hyang Nirartha merupakan leluhur pendeta Siwa di Bali. "Sebuah naskah yang dimiliki oleh informan Ida Bagus Ketut Kajeng memberikan keterangan, bahwa Dang Hyang Asmaranatha mempunyai dua orang putra yaitu Dang Hyang Angsoka dan Dang Hyang Nirartha," tulis Agastia.

Dang Hyang Asmaranatha adalah putra Dang Hyang Angsoka (namanya sama  dengan putra beliau), Dang Hyang Angsoka adalah putra Sri Bahula Candra, Sri Bahula Candra adalah putra Sri Peradah (Empu Beradah), Sri Peradah adalah putra Mpu Tanuhun, Mpu Tanuhun adalah putra Mpu Bajra Satwa, dan Mpu Bajra Satwa adalah putra Sri Mahadewa. Dalam garis keturunan ini ada nama Mpu Beradah, yang memiliki peran penting dalam pemerintahan Raja Airlangga di Jawa Timur. ( Bali 6 months ago  in  BALI , DANG HYANG NIRARTHA , HINDU , PENDETA , SEJARAH https://www.telusurbali.com/2019/09 / mengenal- asal-usul-dang-hyang-nirartha.html?m=1)



Pada akhir abad ke – 15, kerajaan Majapahit mengalami keruntuhan. Selain disebabkan karena faktor dari dalam, yaitu perang saudara (Perang Paregreg) untuk menjadi penguasa di Majapahit, faktor dari luar juga menjadi penyebab keruntuhan salah satu kerajaan Hindu terbesar ini, yakni serangan dari Kerajaan Demak yang beragama Islam. Akibat dari hal tersebut, agama Hindu akhirnya surut oleh pengaruh agama Islam, dimana penduduk di Majapahit dan sekitarnya serta pulau Jawa pada umumnya akhirnya beralih keyakinan ke Agama Islam. Orang – orang Majapahit yang tidak mau beralih agama dari Hindu ke Islam akhirnya memilih meninggalkan Majapahit.
Mereka memilih tinggal di daerah Pasuruan, Blambangan, Banyuwangi, dimana sebagian besar masyarakatnya masih memeluk agama Hindu. Selain itu beberapa diantara mereka bahkan menetap di daerah pegunungan, seperti : Pegunungan Tengger, Bromo, Kelud, Gunung Raung (Semeru). Sedangkan beberapa dari mereka yang masih tergolong arya dan para rohaniawan memilih untuk pergi ke Bali, hal itu disebabkan karena saat itu di Bali pengaruh Agama Hindu masih sangat kuat. Oleh karena itu mereka mencari perlindungan di Bali, selain untuk melarikan diri dari Majapahit dan pengaruh Islam di Jawa.
Salah seorang dari rohaniawan tersebut adalah Danghyang Nirartha atau Danghyang Dwijendra. Danghyang Nirartha datang ke Bali pada tahun 1489 M, pada masa pemerintahan Raja Sri Dalem Waturenggong. Danghyang Nirartha datang ke Bali dalam rangka dharmayatra, akan tetapi dharmayatranya tidak akan pernah kembali lagi ke Jawa. Karena di Jawa (Majapahit) Agama Hindu sudah terdesak oleh Agama Islam. Namun kendatipun demikian, ternyata Danghyang Nirartha juga mempelajari agama Islam, bahkan Beliau menguasai Agama Islam, tetapi keislamannya tidak sempurna. Ini terbukti dari pengikut – pengikutnya, yaitu orang – orang Sasak di Pulau Lombok yang mempelajari Islam dengan sebutan Islam Telu (Islam Tiga).
Terlepas dari hal tersebut, Danghyang Nirartha adalah penganut Agama Hindu yang sempurna. Seperti para leluhurnya, Danghyang Nirartha memeluk Agama Siwa, yang lebih condong ke Tantrayana. Agama Siwa yang diajarkan oleh Danghyang Nirartha adalah Siwa Sidhanta, dengan menempatkan Tri Purusa, yaitu Paramasiwa, Sadasiwa, dan Siwa. Dari tiga aspek ini Sadasiwalah yang diagungkannya. Untuk itu, dibuatkanlah pelinggih khusus yakni Padmasana, dari sinilah Sadasiwa atau Tuhan Yang Maha Esa,Yang Maha Kuasa, Yang Maha Ada, yang bersifat absolut, dan dipuja oleh semuanya. Oleh karena itu, setiap pura harus memiliki pelinggih Padmasana. Dengan demikian Danghyang Nirartha menjadi pembaharu Agama Hindu di Bali. Nirartha merupakan pencipta arsitektur padmasana untuk kuil Hindu di Bali. Kuil-kuil ini dianggap oleh para pengikut sebagai penjelmaan dari Shiva yang agung. Semasa perjalanan Nirartha, jumlah kuil-kuil di pesisir pantai di Bali bertambah dengan adanya kuil padmasana.
Pada waktu melakukan Dharmayatra ke Bali dari Daha, Jawa Timur. Danghyang Nirartha banyak mendirikan Pura – Pura terutama di daerah selatan pulau Bali, seperti Pura Rambut siwi, Pura Melanting, Pura Er Jeruk, Pura Petitenget dan lain-lain. Pura-pura yang didirikan oleh Danghyang Nirartha ini dikenal dengan Pura Dang Kahyangan. Selain di Bali, Danghyang nirartha juga melakukan dharmayatra ke Lombok dan Sumbawa. Bahkan di Sumbawa Danghyang Nirartha dikenal dengan sebutan Tuan Semeru. Sedangkan di Lombok dikenal dengan sebutan Haji Duta Semu, dan di Bali Danghyang Nirartha dikenal dengan sebutan Pedanda Sakti Wawu Rawuh.
Di Bali, Danghyang Nirartha menetap di Desa Mas. Dari sinipun Danghyang Nirartha menikahi anak bendesa Mas. Dari pernikahan in Danghyang Nirartha memiliki putra : Ida Timbul, Ida Alngkajeng, Ida Penarukan, dan Ida Sigaran.
Dalam hal keyakinan (Agama Hindu) dapat dilihat peninggalannya berupa padmasana. Walaupun dalam Bhisamanya Danghyang nirarta melarang semua keturunanya menyembah pratima (arca – arca perwujudan), namun Danghyang Nirarhta mengagungkan Sadasiwa, sebagai manifestasi Tuhan Yang Maha Esa, yang Maha Segalanya dan hampir di semua pura di Bali saat ini terdapat pelinggih padmasana untuk mengagungkan Tuhan Yang Maha Esa. 
Dalam perkembangan selanjutnya, Danghyang Nirartha diangkat menjadi Nabe, sekaligus sebagai pendeta utama kerajaan Gelgel akhirnya beliau moksa di Pura Uluwatu
Dalam penyebaran agama beliau mendapat gelar yang cukup banyak antara lain :     
  1. Danghyang Nirartha, semasih menganut Budha. 
  2. Danghyang Dwi Jendra, sbg penganut Budha dan Siwa. 
  3. Ida Bethara Sakti Wawu Rawuh setelah mencapai Bali. 
  4. Pangeran Sangupati, setelah memberikan bebayon terhadap nelayan di Ponjok Batu Singaraja. 
  5. Tuan Semeru setelah beliau mencapai Sumbawa. 
  6. Imam Mahdi oleh masyarakat Islam. 
  7. Kong Hu Chu oleh masyarakat Tionghwa.

SELINTAS AJARAN-AJARAN DANG HYANG NIRARTHA
Ada dua Bhisama dari danghyang nirarta kepada seluruh keturunannya, yaitu;
1.    Seluruh keturunannya tidak diperkenankan menyembah pratima (arca – arca  perwujudan).
2.    Seluruh keturunanya tidak diperkenankan sembahyang di Pura yang tidak memakai atau tidak ada pelinggih Padmasana.
Disini tampak jelas sekali ajaran Siwa dan beliau berharap semua putra-putranya selalu ingat akan ajaran dan arsitektur besar karya beliau.
Dang Hyang Nirarta juga memberikan nasihat kepada putra-putranya, antara lain tentang kewajiban pendeta :
1.     Tidak boleh minum tuak atau segala minuman beralkohol
2.     Menghindari segala hal yang menyebabkan mabuk
3.     Tidak boleh makan daging sapi, karena ia sebagai ibu yang memberikan susu kepada kita.
4.     Tidak makan daging babi rumahan (peliharaan)
5.     Tidak memakan daging ayam peliharaan
6.     Menghindari segala hal kotor, baik sekala maupun niskala
7.     Tidak boleh iri hati
8.     Tidak boleh mengambil istri orang lain dan berzina.
Berdasarkan uraian ajaran beliau diatas tampaknya beliau menempatkan susila sangat tinggi diatas segalanya. Hal ini mengingatkan kita pada ajaran Agama Budha yang didasari pada Pancasila yang harus selalu ditaati.
*10 (SEPULUH) PESAN DARI DANG HYANG NIRARTHA*
1. Tuwi ada ucaping haji, utama ngwangun tlaga, satus reka saliunnya, kasor ento utamannya, ring sang ngangun yadnya pisan, kasor buin yadnyane satus, baan suputra satunggal. ( bait 5 )
Terjemahan :
Ada sebenarnya ucapan ilmu pengetahuan utama, Orang yang membangun telaga banyaknya seratus, kalah keutamaannya itu oleh orang yang melakukan korban suci sekali Korban suci yang seratus ini, kalah oleh anak baik seorang.
2. Bapa mituduhin cening, tingkahe menadi pyanak, eda bani ring kawitan, sang sampun kaucap garwa, telu ne maadan garwa, guru reka, guru prabhu, guru tapak tui timpalnya. ( bait 6 )
Terjemahan : 
Ayahnda memberitahumu anakku, tata cara menjadi anak, “jangan durhaka pada leluhur”, orang yang disebut guru, tiga banyaknya yang disebut guru, Guru reka Guru prabhu Guru tapak (yang mengajar) itu.
3. Melah pelapanin mamunyi, ring ida dane samian, wangsane tong kaletehan, tong ada ngupet manemah, melah alepe majalan, batise twara katanjung, bacin tuara bakat ingsak. ( bait 8 )
Terjemahan :
Lebih baik hati-hati dalam berbicara, kepada semua orang, Tak akan ternoda keturunannya Tak ada yang akan mencaci maki Lebih baik hati-hati dalam berjalan, Sebab kaki tak akan tersandung, Tidak akan menginjak kotoran.
4. Uli jani jwa kardinin, ajak dadwa nah gawenang, patut tingkahe buatang, tingkahe mangelah mata, gunannya anggon malihat, mamedasin ane patut, da jua ulah malihat. ( bait 10 )
Terjemahan :
Mulai sekarang lakukan, lakukanlah berdua, Patut utamakan tingkah laku yang benar, Seperti menggunakan mata, gunanya untuk melihat, memperhatikan tingkah laku yang benar, jangan hanya sekedar melihat.
5. Tingkahe mangelah kuping, tuah anggon maningehang, ningehang raose melah, resepang pejang di manah, da pati dingeh-dingehang, kranannya mangelah cunguh, anggon ngadek twah gunanya. ( bait 11 )
Terjemahan : Kegunaan punya telinga, sebenarnya untuk mendengar, mendengar kata-kata yang benar, camkan dan simpan dalam hati, jangan semua hal didengarkan.
6. Nanging da pati adekin, mangulah maan madiman, patutang jua agrasayang, apang bisa jwa ningkahang, gunan bibih twah mangucap, de mangucap pati kacuh, ne patut jwa ucapang. ( bait 12 )
Terjemahan :
Jangan segalanya dicium, sok baru dapat mencium, baik-baiklah caranya merasakan, agar bisa melaksanakannya Kegunaan mulut untuk berbicara, jangan berbicara sembarangan, hal yang benar hendaknya diucapkan.
7. Ngelah lima da ja gudip, apikin jua nyemakang, apang patute bakatang, wyadin batise tindakang, yatnain twah nyalanang, eda jwa mangulah laku, katanjung bena nahanang. ( bait 13 )
Terjemahan :
Memiliki tangan jangan usil, hati-hati menggunakan, agar selalu mendapat kebenaran. Begitu pula dalam melangkahkan kaki, hati-hatilah melangkahkannya, bila kesandung pasti kita yang menahan (menderita) nya.
8. Awake patut gawenin, apang manggih karahaywan, da maren ngertiang awak, waluya matetanduran, tingkahe ngardinin awak, yen anteng twi manandur, joh pare twara mupuang. ( bait 14 )
Terjemahan : 
Kebenaran hendaknya diperbuat, agar menemukan keselamatan, jangan henti-hentinya berbuat baik, ibaratnya bagai bercocok tanam tata cara dalam bertingkah laku, kalau rajin menanam tak mungkin tidak akan berhasil.
9. Tingkah ne melah pilihin, buka anake ka pasar, maidep matetumbasan, masih ya nu mamilihin, twara nyak meli ne rusak, twah ne melah tumbas ipun, patuh ring ma mwatang tingkah. ( bait 15 )
Terjemahan : 
Pilihlah perbuatan yang baik, seperti orang ke pasar, bermaksud hendak berbelanja, juga masih memilih, tidak mau membeli yang rusak, pasti yang baik dibelinya, sama halnya dengan memilih tingkah laku.
10. Tingkah ne melah pilihin, da manganggoang tingkah rusak, saluire kaucap rusak, wantah nista ya ajinnya, buine tong kanggoang anak, kija aba tuara laku, keto cening sujatinnya. ( bait 16 )
Terjemahan :
Pilihlah tingkah laku yang baik, jangan mau memakai tingkah laku yang jahat, betul-betul hina nilainya, ditambah lagi tiada disukai masyarakat, kemanapun di bawa tak akan laku, begitulah sebenarnya anakku.
Sumber : Sejarah Puri Pemecutan, komentar dalam sebuah posting di Forum Diskusi Jaringan Hindu Nusantara (ref2) (http://sejarahharirayahindu.blogspot.com/2012/02/danghyang-nirarta.html)

KESIMPULAN 

Untuk melenyapkan pandangan sempit serta kefanatikan dan untuk dapat menambah rasa saling menghargai dan saling menghormati antara umat beragama untuk mewujudkan kerukunan nasional maka  berdasarkan pemaparan literature diatas maka dapat kita pahami beberapa hal yang merupakan yang mendasar dari artikel ini :
  1. Gede Prama adalah seorang guru spiritual dengan dasar pendidikan dan pengalaman yang sangat baik, jadi apapun yang beliau sampaikan kepada masyarakat banyak melalui ceramah-ceramahnya pasti berdasarkan atas literatur yang dapat dipertangungjawabkan secara akademis.
  2. Dang Hyang Nirartha sendiri mendapatkan diksa atau penahbisan dua kali, yaitu penahbisan pertama oleh Buddhis Mahayana, dan penahbisan yang kedua tradisi Siwa Siddhanta. Oleh karena itu, ia menyandang sebutan Dang Hyang Dwi Jendra, atau Dang Hyang, pendeta suci yang mendapatkan Dwi Jendra atau penahbisan dua kali. 
  3. Danghyang Nirartha datang ke Bali dalam rangka dharmayatra, akan tetapi dharmayatranya tidak akan pernah kembali lagi ke Jawa. Selain di Bali, Danghyang Nirartha juga melakukan dharmayatra ke Lombok dan Sumbawa. Bahkan di Sumbawa Danghyang Nirartha dikenal dengan sebutan Tuan Semeru. Sedangkan di Lombok dikenal dengan sebutan Haji Duta Semu, dan di Bali Danghyang Nirartha dikenal dengan sebutan Pedanda Sakti Wawu Rawuh. Ini menandakan bahwa pengetahuan beliau dibidang agama, sosial dan spiritual sangat luar biasa.
  4. Selintas ajaran beliau adalah ajaran siwa sidantha  (tidak boleh menyembah arca dan tidak boleh bersembahyang di pura yang tidak ada padmasananya) yang didasari susila yang ketat  kepada anak-anaknya. Hal ini merupakan sinkretisme ajaran Siwa Buddha.
Sebagaimana genta yang dipakai untuk muput upacara agama di Bali. Bagian bawah genta adalah stupa (lambang Agama Budha) dan bagian atasnya adalah Lingga (lambang Siwa), yang selanjutnya beliau lebih perdalam dalam karya arsitektur yang besar yaitu bangunan Padmasana yang ada hampir disetiap pura di Bali.
  1. Apakah benar Dang Hyang Nirartha pendeta Buddha?.....silahkan pembaca yang menjawab. 

DAFTAR PUSTAKA

Ali, Mukti, H.A Tt, Ilmu Perbandingan Agama
Damar Shashangka . Bogor, Jum'at Legi, 04 Juli 2019 https://www.facebook. com/ massaylaros banyuwangi /posts /2282440405210268/
Sejarah Puri Pemecutan, komentar dalam sebuah posting di Forum Diskusi Jaringan Hindu Nusantara (ref2) (http://sejarahharirayahindu.blogspot.com/2012/02/danghyang-nirarta.html)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar