Adat, Tradisi, Agama, Budaya Hindu Bali

Jumat, 27 Maret 2020

"SUKLA" SEBAGAI CIRI KHAS KULINER MASYARAKAT HINDU BALI YANG SANGAT MENJUNJUNG TINGGI KEBERSIHAN, TATA PENGELOLAAN MAKANAN DAN PRODUKSI MAKANAN YANG SESUAI DENGAN NILAI-NILAI FILOSOFI BALI


"SUKLA" SEBAGAI CIRI KHAS KULINER MASYARAKAT HINDU BALI YANG SANGAT MENJUNJUNG TINGGI KEBERSIHAN, TATA PENGELOLAAN MAKANAN DAN PRODUKSI MAKANAN YANG SESUAI DENGAN NILAI-NILAI FILOSOFI BALI

disusun oleh :
Ni Nyoman Sumiati
NPM : 9.1.139


PENDAHULUAN

Pangan merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia. Pengertian pangan menurut Peraturan Pemerintah RI nomor 28 tahun 2004 adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati dan air, baik yang diolah maupun yang tidak diolah, yang diperuntukkan sebagai makanan atau minuman bagi konsumsi manusia, termasuk bahan tambahan pangan, bahan baku pangan, dan bahan lain yang digunakan dalam proses penyiapan, pengolahan, dan atau pembuatan makanan atau minuman. Setiap manusia hidup membutuhkan pangan untuk pertumbuhan dan mempertahankan hidup. Selain itu pangan juga berfungsi sebagai sumber energi untuk manusia melakukan aktivitas sehari-hari. Untuk menunjang semua aktivitas manusia tentunya dibutuhkan sumber pangan yang sehat dan bergizi.
Bali merupakan salah satu dari 34 provinsi yang ada di Indonesia. Bali dikenal sebagai Pulau Dewata dan Pulau Seribu Pura, dimana 83 % masyarakat Bali beragama Hindu. Belakangan ini ramai diperbincangkan makanan sukla untuk pengertian makanan yang paling layak dikonsumsi oleh warga Bali, khususnya bagi masyarakat yang beragama Hindu. Sukla adalah istilah budaya dalam masyarakat Bali dengan pengertian makanan atau persembahan yang suci. Merujuk kepada ajaran agama, makanan yang disebut sukla adalah hal – hal yang akan dipersembahkan kepada Tuhan, baik melalui dewa dewi (Istadewata) maupun persembahan kepada leluhur. Belakangan ini pengertian yang dimunculkan dalam istilah sukla ini adalah makanan yang bersih dan sehat, sehingga penggunaaan istilah sukla dapat ditemui pada warung – warung di Bali sebagai media promosi. Pengertian bersih dalam sukla ini adalah dilihat dari cara dan proses pembuatnya, tidak dilakukan di tempat yang kotor, dengan menggunakan alat yang tidak kotor, dan bahan yang digunakan merupakan bahan yang tidak kotor sehingga menghasilkan makanan sehat yang dapat dikonsumsi oleh masyarakat.
Sukla berarti suci dan bersih baik dalam proses maupun produksinya sehingga sehat bagi jasmani dan rohani. Umumnya di Bali, label "Sukla" sebagai ciri khas dalam hal kuliner yang sebenarnya berawal dari pola hidup masyarakat Hindu Bali yang sangat menjunjung tinggi kebersihan, tata pengelolaan makanan dan produksi makanan yang sesuai dengan nilai-nilai filosofi Bali.



  
PENJELASAN
Sukla
Sukla bermakna suci, artinya semua proses makanan harus menggunakan bahan yang diperlakukan suci, menggunakan perabot yang suci, dan juga harus menggunakan budaya Hindu, sebagai contoh bagaimana yang memasak dan menghidangkan makanan tidak boleh dilakukan oleh wanita menstruasi, sebelum menjual harus ada proses ngejot atau saiban sebagai wujud persembahan pada Tuhan dan adanya proses keagamaan ketika warung atau restoran diperciki oleh tirta melanting (Jumari, 2017).
Salah seorang tokoh Hindu Bali yakni Ida Pandita Mpu Jaya Prema Ananda menyampaikan bahwa sukla adalah istilah budaya dalam masyarakat Bali dengan pengertian makanan atau persembahan yang suci. Kalau merujuk pada ajaran agama, makanan atau apa pun yang disebut sukla adalah hal – hal yang akan dipersembahkan kepada Tuhan, baik melalui dewa-dewi (Istadewata) maupun persembahan kepada leluhur. Setelah dihaturkan jadilah makanan itu prasadam yang di dalam bahasa Bali dipakai kata lungsuran atau paridan (Jumari, 2017).
Mutu
Mutu merupakan sesuatu yang menjadikan suatu barang atau jasa yang memiliki arti atau berharga, tergantung dari sisi mana orang memandangnya. Pengertian mutu ditinjau dari definisi konvensional pada umumnya, yakni menggambarkan karakteristik langsung dari suatu produk seperti performansi, keandalan, mudah dalam penggunaan, dan sebagainya. Selanjutnya, pengertian mutu ditinjau dari definisi strategis menyarankan bahwa mutu adalah segala sesuatu yang mampu memenuhi keinginan atau kebutuhan pelanggan (Gasperz, 2001).
Sistem manajemen mutu merupakan sekumpulan prosedur yang terdokumentasi serta praktik-praktik standar untuk manajemen sistem yang bertujuan menjamin kesesuaian dari suatu proses dan produk (barang/jasa) terhadap kebutuhan dan persyaratan tertentu (Gaspersz, 2001). Sistem manajemen mutu memberikan gambaran organisasi dalam menerapkan praktik-praktik manajemen mutu secara konsisten untuk memenuhi kebutuhan pelanggan atau pasar. Dalam kaitan ini terdapat beberapa karakteristik umum manajemen mutu (Gaspersz, 2001), yaitu sebagai berikut.
1)      Sistem manajemen mutu berfokus pada konsistensi dari proses kerja. Hal ini sering mencakup beberapa tingkat dokumentasi terhadap standar-standar kerja.
2)      Sistem manajemen mutu berlandaskan pada pencegahan terhadap kesalahan-kesalahan yang akan timbul.
3)      Sistem manajemen mutu mencakup elemen-elemen seperti tujuan (objectives), pelanggan (customer), hasil-hasil (output), proses-proses (processes), masukan-masukan (input), pemasok (suppliers), dan pengukuran umpan balik serta umpan maju (measurements for feedback and feedforward).
Dalam sistem manajemen mutu sering terdengar istilah quality control dan quality assurance. Quality control adalah kegiatan teknik dan kegiatan memantau, mengevaluasi, dan menindaklanjuti agar persayaratan yang telah ditetapkan dapat tercapai, sedangkan istilah quality assurance berarti semua tindakan terencana dan sistematis yang diterapkan, yakni untuk meyakinkan pelanggan bahwa proses hasil kerja kontraktor akan memenuhi persyaratan. Pada saat mengontrol mutu produk yang dihasilkan harus dipersiapkan dokumen-dokumen yang berupa panduan-panduan kerja secara tertulis serta catatan/rekaman hasil kerja. Dalam setiap lingkungan, pelaksanaan proses yang konsisten merupakan kunci untuk peningkatan terus menerus yang efektif agar selalu memberikan produk (barang/jasa) yang memenuhi harapan pelanggan atau pasar.

Pengertian dan Makna Sukla
Makna Sukla yang dikenal dalam masyarakat Bali tidaklah sama dengan Halal. Secara sederhana Sukla dapat diartikan suci. Sukla atau śukla dalam bahasa Sanskerta diartikan sebagai bersih, terang, putih. Sukla erat kaitannya dengan sarana persembahan, dimana bahan-bahan persembahan dikatakan sukla bilamana belum pernah terpakai atau digunakan. Sedangkan makanan yang disebut sukla adalah makanan yang akan dipersembahkan belum dimakan oleh seseorang atau pun hewan. Misalnya makanan yang berada di dapur atau di tempat nasi belum ada yang memakannya. Bilamana makanan tersebut sudah ada yang memakannya atau mengambilnya maka tidak boleh digunakan sebagai persembahan. Makanan seperti itu sudah dianggap tidak sukla atau dinyatakan sebagai carikan (makanan sisa).
Dalam ajaran Hindu, seseorang habis memasak wajib hukumnya mempersembahkan makanan kepada leluhur, dewa, dan Tuhan. Jika memiliki hewan peliharaan, hewan lebih terdahulu diberikan makan, demikian juga bila ada tamu, tamulah terlebih dahulu makan. Setelah itu, barulah si empunya rumah menikmati makanan. Bila dalam sebuah keluarga tidak mempersembahkan makanan terlebih dahulu sebelum makan dinyatakan sebagai pencuri.
Jika kita telusuri sumber-sumber sastra suci, vedic literatur, kita mengenal konsep Tri Guna; tiga sifat alam. Ke-tiga sifat alam ini mempengaruhi berbagai aspek kehidupan dan alam semesta, termasuk makanan. Dimana makanan digolongkan ke dalam tiga jenis; makan satwika (makanan bersifat kebaikan), makan rajasika (makanan bersifat nafsu), makan tamasika (makanan bersifat kegelapan). Uraian hal tersebut dapat kita temukan dalam beberapa kitab suci, terutama dalam kitab suci Bhagavad Gita.
Makanan yang paling disukai setiap orang juga terdiri dari tiga jenis, menurut tiga sifat alam material. Demikian pula korban suci, pertapaan dan kedermawanan. Sekarang dengarlah perbedaan antara hal-hal itu. (Bhagavad-gita 17.7)
Makanan yang disukai oleh orang dalam sifat kebaikan memperpanjang usia hidup, menyucikan kehidupan dan memberi kekuatan, kesehatan, kebahagiaan dan kepuasan. Makanan tersebut penuh sari, berlemak, bergizi, dan menyenangkan hati. (Bhagavad-gita 17.8)
Makanan yang terlalu pahit, terlalu asam, terlalu asin, panas sekali atau menyebabkan badan menjadi panas sekali, terlalu pedas, terlalu kering dan berisi terlalu banyak bumbu yang keras sekali disukai oleh orang dalam sifat nafsu. Makanan seperti itu menyebabkan dukacita, kesengsaraan dan penyakit. (Bhagavad-gita 17.9)
Makanan yang dimasak lebih dari tiga jam sebelum dimakan, makanan yang hambar, basi dan busuk, dan makanan terdiri dari sisa makanan orang lain dan bahan-bahan haram disukai oleh orang dalam sifat kegelapan (Tamasika). (Bhagavad-gita 17.10).

Penerapan Sukla dalam Agama Hindu
Sebelum menjadi ikon bagi makanan layak di kalangan masyarakat Bali, istilah Sukla yang pertama kali diperkenalkan oleh Anggota DPD RI Dr I Gusti Ngurah Arya Wedakarna Mahendradatta Wedastera Putra Suyasa III pada tahun 2014. Kata Halal untuk makanan layak konsumsi bagi Umat Muslim diakui Wedakarna sudah muncul sejak beberapa tahun lalu.  Gerakan-gerakan ini sudah banyak muncul sebelum kata Sukla menjadi Ikon kelayakan konsumsi bagi umat Hindu.
Adanya gerakan-gerakan tersebut, menurut Wedakarna berpotensi menimbulkan konflik berbau SARA, pasalnya istilah yang digunakan untuk Branding produk makanan oleh pengusaha Bali tersebut merupakan istilah bagi umat Muslim. Selain itu jika merujuk pada Peraturan Perundang-Undangan, untuk menggunakan kata Haram harus disesuaikan dengan UU No. 33 tahun 2014 Tentang jaminan Produk Makanan Halal. Karena kondisi tersebut, Wedakarna bersama dengan para rohaniawan mencari padanan kata yang tepat untuk makanan layak konsumsi bagi umat Hindu ini. Setelah melakukan survei dan berkonsultasi dengan para rohaniawan Hindu, maka ditentukan kata Sukla ini, dan sejak tahun 2014 secara perlahan Sukla ini sudah menjadi gerakan moral masyarakat Hindu Bali.

Hubungan Sukla dengan Sistem Manajemen Mutu
Sistem Manjemen Mutu adalah sebuah sistem yang bertujuan untuk meningkatkan kepuasan pelanggan dan memungkinkan perbaikan yang berkelanjutan. Selain itu, Sistem Manajemen Mutu merupakan kemampuan suatu organisasi dalam menjaga kualitas mutu dari jasa atau barang yang diberikan. Tujuan dari Sistem Manajemen Mutu (Gazperz, 2002):
1.   Menjamin kesesuaian dari suatu proses dan produk terhadap kebutuhan atau persyaratan tertentu. Kesesuaian antara kebutuhan dan persyaratan yang ditetapkan pada suatu standar tertentu terhadap proses dan produk yang dihasilkan oleh perusahaan sangat penting.
2.   Memberikan kepuasan kepada konsumen melalui pemenuhan kebutuhan dan persyaratan proses dan produk yang ditentukan pelanggan dan organisasi. Keputusan pelanggan adalah reaksi emosional dan rasional positif pelanggan. Untuk mampu memberikan kepuasan kepada pelanggan, segenap personil organisasi dituntut untuk memiliki kompetensi dalam menjalankan tugas dan tanggung jawabnya masing-masing.
Dalam penjaminan mutu, suatu produk harus memenuhi standarisasi. Standarisasi adalah usaha bersama membentuk standar. Standar merupakan sebuah aturan, memberikan batasan spesifikasi dan karakteristik sebuah proses. Ada pun istilah sukla yang sering dikaitkan dengan mutu suatu produk dimana sukla adalah istilah yang sering digunakan budaya Bali sebagai gambaran persembahan yang suci. Pada ajaran agama, makanan atau apapun yang disebut sukla adalah hal-hal yang dipersembahkan kepada Tuhan. Jika istilah sukla dipakai untuk menunjukkan bahwa makanan tersebut “layak makan” secara agama sangat bertentangan. Makanan sukla adalah makanan yang bersih dan sehat. Bersih dari cara membuatnya, tidak di tempat yang kotor, tidak dengan alat yang kotor, dan bahan yang digunakan bukan bahan yang kotor.
Banyak sekali pertentangan yang muncul ketika mendengar Sukla sebagai Standarisasi Mutu pada makanan. Sebab, dikatakan bahwa sukla merupakan label agama bukan label mutu. Pemberian label sukla pada sebuah kedai makanan beberapa waktu lalu sempat menjadi kontroversi, lantaran makanan yang berlabel sukla dianggap lebih bersih, suci, dan segala bentuk kebaikan yang dibandingkan dengan makanan yang diberi label non-sukla. Hal ini, memicu pertentangan terutama bagi pengusaha non-Hindu yang memulai usahanya di Bali.
Istilah sukla berhubungan dengan hubungan antara Tuhan dengan umatnya bukan mengenai layak atau tidaknya makanan tersebut. Makanan yang baik, bersih, dan sehat belum tentu bisa disebut sukla. Penentu apakah makanan tersebut bisa dikatakan sukla atau tidak adalah apakah makanan tersebut sudah dipersembahkan atau tidak kepada Tuhan.
Sukla tidak bisa disamakan dengan halal. Perbedaannya sudah cukup jelas. Dimana sukla merujuk pada nilai spiritual sedangkan halal merujuk pada bahan dan cara pengolahannya. Kedua hal ini tidak bisa disamakan. Apalagi, dalam pemberian sertifikasi sukla, sebab hal ini berkaitan langsung dengan agama dan kepercayaan masing-masing orang.
Dr. Shri I Gusti Ngurah Arya Wedakarna, sempat mengatakan keinginan beliau dalam menjadikan Sukla sebagai label standarisasi. Hal ini, didukung baik oleh Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI), M Taufik As’adi. Sama halnya labelisasi Halal yang merupakan labelisasi yang dibuat atas kebutuhan konsumen. Labelisasi tersebut bisa memberikan rasa nyaman bagi konsumen dalam mengonsumsi makanan tersebut.
Sama halnya dengan memberikan labelisasi Sukla pada produk, jika konsumen memerlukan labelisasi Sukla untuk menjamin keamanan produk tersebut maka tidak ada salahnya jika Sukla dijadikan suatu standarisasi mutu produk. Dengan adanya labelisasi itu, maka pengusaha yang bergerak dibidang industri makanan merasa labelisasi sukla akan menyesuaikan dengan persyaratan atau perundang-undangan yang ada.
Menurut Dr. Shri I Gusti Ngurah Arya Wedakarna, secara terminologi kata sukla sudah cukup umum terutama bagi kalangan masyarakat Bali, yang mengandung arti bersih dan suci, selain itu sukla mengandung arti yang lebih luas, dimana makanan yang dianggap sukla tidak saja terpaku pada makanan bersih dan suci tetapi memperhatikan proses dalam mengolah serta menghidangkannya. Baik itu dari peralatan yang dipakai seperti penggunaan wadah khusus yang tidak bercampur dengan wadah lainnya.
Pada intinya penggunaan kata sukla pada suatu produk tidak bisa dijadikan suatu pertentangan atau dijadikan suatu bahan dalam menimbulkan provokasi. Sebab, kata sukla bisa dijadikan suatu standarisasi terhadap proses produksi suatu produk demi pemenuhan keyakinan dan kenyamanan bagi konsumen itu sendiri.
KESIMPULAN
Sukla secara sederhana dapat diartikan adalah suci. Dalam Hindu Bali Sukla terkait dengan sarana persembahan yang akan dipersembahankan yang belum dimakan. Penerapan Sukla terkait dalam makanan lebih mengarah kepada kegiatan keagamaan dan tidak spesifik pada kegiatan komersial atau hal yang lebih umum. Sukla diterapkan untuk memenuhi kebutuhan persembahan kepada leluhur, dewa, dan Tuhan. Sukla juga termasuk dalam konsep Tri Guna: tiga sifat alam dengan pengaruh dalam kehidupan dana lam semesta termasuk makanan. Ajaran Sukla ini dapat ditemukan dalam beberapa kitab suci terutama dalam kitab suci Bhagavad Gita. Pada penerapanya Sukla tidak dapat disamakan dnegan Halal. Penerapan Sukla pada konsumsi makanan menimbulkankan kontroversi karena pada prosesnya Sukla berbeda dengan sistem penjaminan mutu lainya yang berkaitan dengan proses. Kata sukla pada suatu produk tidak bisa dijadikan suatu pertentangan atau dijadikan suatu bahan dalam menimbulkan provokasi. Sebab, kata sukla bisa dijadikan suatu standarisasi terhadap proses produksi suatu produk demi pemenuhan keyakinan dan kenyamanan bagi konsumen itu sendiri.
Perlu pendalaman yang tepat mengenai ilmu dan teori yang berhubungan dengan Sukla karena Sukla sendiri tidak dapat dikatakan sebagai sistem manajemen mutu dan dapat dikatakan bisa terhadap makanan. Pemahaman yang benar mengenai Sukla perlu diterapkan agar tidak menimbulkan kontroversi atau hal-hal lain yang berkaitan dengan isu-isu pengangkatan Sukla sebagai sistem manajemen mutu.

  
SUMBER ARTIKEL

Gaspersz, Vincent. 2001. ISO 9001:2000 and Continual Quality Improvement, PT Gramedia Pustaka Utama.
Jumari. 2017. Gerakan Ekonomi Satyagraha Hindu Bali Melalui Labelisasi Non-Halal “Sukla” (Antara Kebangkitan Militansi Dan Ancaman Benih Intoleransi). http://proceedings.kopertais4.or.id/index.php/ancoms/article/download/3335/. (diakses: 28 Maret  2020, pukul: 09:00 WITA)
Suyatra, I Putu. 2017. Begini Arti Sukla Versi Arya Wedakarna. Jawa Pos. www.jawapos.com/baliexpress/read/2017/11/27787/begini-arti-sukla-versi-arya-wedakarna (diakses: 28 Maret  2020, pukul: 15:00 WITA).
Warung, Kopi. 2016. Sukla dan Halal, pemaksaan persamaan atas nama persaingan. https://bungloen.com/sukla-dan-halal-pemaksaan-persamaan-atas-nama-persaingan/ (diakses: 28 Maret  2020, pukul: 16:00 WITA).



Tidak ada komentar:

Posting Komentar