Adat, Tradisi, Agama, Budaya Hindu Bali

Minggu, 29 Maret 2020

YADNYA SESA

YADNYA SESA 
Oleh
Ni Ketut Supadmi

I.Pendahuluan

Kewajiban bagi setiap Grahasta Asrama melakukan Panca Yadnya adalah melunasi tiga hutangnya itu agar dalam Vanaprastha dan Sanyasin Asrama selanjutnya dapat memusatkan pikirannya untuk mencapai kebebasan terakhir. Jadinya yadnya itu tujuannya menyelesaikan swadharma Brahmacari dan Grhastha Asrama. Inilah konsep Yoga dalam ajaran Yadnya. Satu demi satu swardharma berdasarkan asrama diselesaikan maka orangpun akan semakin lepas dengan ikatan swardharma menurut asramanya. Kalau semuanya itu dapat dilakukan dengan sempurna maka tujuan tertinggi dari Yoga bertemunya antara Atman dengan Brahman dapat dicapai. Karena itu Panca Yandnya itu adalah suatu cara untuk memberikan tuntunan kepada umat Hindu agar dapat melakukan swadharma berdasarkan asramanya tahap demi tahap sehingga ia lepas dari ikatan swadharma tersebut. Jadinya Panca Yadnya itulah mengantarkan seseorang mencapai tujuan hidup. Wiana, (2006: 58-59).
Berdasarkan hal tersebut di atas bahwa Panca yadnya merupakan kewajiban bagi semua umat Hindu untuk melaksanakan yadnya tersebut yang didasari dengan ketulus iklasan. Karena dalam kehidupan ini Tuhan menciptakan dunia ini dengan yadnya maka manusiapun harus berkewajiban melaksanakan yadnya itu untuk alam ini yang sudah memberikan kehidupan/kamaduk sehingga mahluk hidup yang ada di dunia ini dapat hidup sesuai siklusnya.

II. Pembahasan

Yadnya Sesa : Kewajiban Grhasta Asrama.
Dalam Kitab Bhagawadgita III.10. disebutkan :  “saha-yajnah prajag srstya purovaca prajahpatih, anena prasavisyadhvam esa vo stv ista-kama-dhuk”. Sesungguhnya sejak dahulu dikatakan, Tuhan setelah menciptakan manusia melalui yadnya, berkata: dengan (cara) ini engkau akan berkembang, sebagaimana sapi perah yang memenuhi keinginanmu (sendiri). Pudja, (2019 : 115).
 Sloka Bhagawadgita di atas memiliki dimensi yang sangat luas. Salah satu dimensinya  bahwa manusia dapat berkembang dan memenuhi keinginannya yang mulia apabila ia melakukan yadnya. Dengan yadnyalah semua mahluk dapat saling pelihara dalam wujud pengabdian yang tulus. Manusia memelihara alam dan alampun pasti memelihara manusia. Dalam Bhagawadgita tersebut yang dimaksud dengan Kamadhuk itu adalah simbol alam. Alam itu disimbolkan dengan sapinya Dewa Indra yang dapat mengeluarkan susu untuk memenuhi keinginan manusia akan makanan. Sapi itu sesungguhnya lambang bumi tempat kita hidup. Panca Yadnya dalam kehidupan umat Hindu bukan hanya dilaksanakan dengan  upacara besar saja, tetapi ada juga yadnya yang dilaksanakan setiap hari yang disebut dengan nitya karma yang diwujudkan dengan melaksanakan Tri Sandya dan Yadnya Sesa.
Yadnya sesa atau banten saiban merupakan salah satu yadnya atau persembahan yang dilakukan setiap hari yang sering disebut dengan Nitya Karma. Yadnya sesa ini dilakukan setelah selesai memasak dan sebelum menikmati makanan yang telah dimasak.. Sebagaimana diketahui bahwa yadnya sebagai sarana untuk menghubungkan diri dengan Ida Sang Hyang Widhi Wasa untuk memperoleh kesucian jiwa. Tidak saja kita menghubungkan diri dengan Tuhan, juga dengan manifestasi-Nya dan makhluk ciptaan-Nya termasuk alam beserta dengan isinya. Dengan demikian yadnya merupakan persembahan dan pengabdian yang tulus iklas tanpa adanya harapan untuk mendapatkan imbalan.
Yadnya Sesa atau mebanten saiban seusai masak juga merupakan penerapan dari ajaran kesusilaan Hindu, yang menuntut umat untuk selalu bersikap anersangsya yaitu tidak mementingkan diri sendiri dan ambeg para mertha yaitu mendahulukan kepentingan di luar diri. Pelaksanaan yadnya sesa juga bermakna bahwa manusia setelah selesai memasak wajib memberikan persembahan berupa makanan, karena makanan merupakan sumber kehidupan di dunia ini.
Didalam Kitab Manawa Dharma Sastra Adhyaya III, 69  dinyatakan : “Tasam kramena sarwasam niskrtyastham maharsibhih, panca klrpta mahayajnah pratyaham grhamedhinam ,  Untuk menebus dosa yang ditimbulkan oleh pemakaian kelima alat itu para Maha Rsi telah menggariskan untuk para kepala rumah keluarga agar setiap harinya melakukan pancayadnya”. dan Adhyaya III, 75 dinyatakan : “Swadhyaye nityayuktah syaddaiwe caiweha karmani, daiwakarmani yukto hi bibhartimdam caracaram. Hendaknya setiap orang yang menjadi kepala rumah tangga setiap harinya menghaturkan mantram-mantram suci weda dan juga melakukan upacara pada para Dewa karena ia yang rajin menjalankan yadnya pada hakekatnya membantu ciptaan Tuhan baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak”. Berdasarkan kedua sloka tersebut bahwa setiap keluarga atau rumah tangga seharusnya setiap hari melaksankan yadnya untuk menebus dosa karena pemakaian alat-alat seperti tempat air, pisau, lesung dan elunya, pisau dan tempat masak setiap hari.    Dosa-dosa yang kita lakukan saat mempersiapkan hidangan sehari-hari itu bisa dihapuskan dengan melakukan Selain itu dengan tujuan agar memperoleh kehidupan dan penghidupan, dengan mengambil pijakan dari sloka Bhagawad Gita III, 13 yang berbunyi : Yadjna sistasinah santo, Mucuante sarwa kilbisaih, Bunjate te twagham papa,Ye pacanty atma karanat,  artinya Ia yang memakan sisa yadnya akan terlepas dari segala dosa, tetapi ia yang memasak makanan hanya bagi dirinya sendiri, sesungguhnya makan dosanya sendiri
Kita yakin bahwa usaha apa pun pasti menghasilkan, demikian juga dalam melaksanakan  memohon anugerah kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa untuk selalu dianugerahi benih kehidupan dan kenikmatan hidup didunia ini. Alangkah nistanya hidup ini yang hanya mengutamakan kepentingan diri sendiri, hidup untuk meyenangkan diri pribadi saja dengan mengorbankan yang lainnya, hidup yang hanya mengejar kepuasan diri pribadi sedangkan yang lainnya penuh dengan kesengsaraan dan kemelaratan, maka manusia yang demikian tidak ada bedanya dengan pribadi seorang pencuri.

Hakekat Yadnya Sesa.
Dari penjelasan tadi tentu umat Hindu  harus menyadari untuk memberikan persembahan dengan beryadnya, seperti halnya mempersembahkan makanan atau yadnya sesa. Makanan merupakan sumber kehidupan dan karena adanya makanan, maka semua makhluk di jagat raya ini dapat hidup. Persembahan makanan dalam bentuk yadnya sesa walaupun wujudnya sangat sederhana dan nampaknya kecil, namun hakikat yadnya sesa itu sangatlah mulia dan luhur, yang mengandung makna spiritual untuk menenteramkan kehidupan makhluk yang lainnya. Makanan yang dinikmati manusia bukan semata-mata merupakan hasil usahanya sendiri saja, tetapi manusia memperolehnya secara bersama-sama antara makhluk yang satu dengan makhluk yang lainnya. Serta diperlukan pula bantuan dari unsur kekuatan alam yang disebut dengan “Panca Maha Butha” yakni adanya kekuatan tanah (pertiwi), air (apah), panas (api atau teja), angin (bayu), ether (akasa). Adanya nasi atau makanan ini juga berkat kekuatan atau kemahakuasaan Ida Sang Hyang Widhi Wasa melalui maifestasinya yang disebut dengan Tri Murti yakni tiga macam kekuatan Tuhan dalam melindungi dan menganugerahi umatnya. Beras dapat dimasak atau dimatangkan menjadi nasi berkat adanya tiga kekuatan tadi yakni Dewa Brahma dengan kekuatan panasnya, Dewa Wisnu dengan kekuatan airnya, dan Dewa Siwa dengan kekuatan penyupatannya. Dari ketiga kekuatan tersebut menyatu secara bersama-sama sehingga bermula dari beras hingga menjadi matang dan diperolehlah nasi itu.
Proses inilah yang merupakan suatu kerjasama manusia baik secara Sekala maupun Niskala sehingga dapat menikmati makanan.
Oleh karena manusia menikmati makanan ini atas dasar kebersamaan dan merupakan pemberian, maka patutlah makanan itu di persembahkan kembali pada kekuatan alam lainnya melalui yadnya sesa atau banten saiban itu sendiri. Dengan demikian dapatlah di artikan bahwa yadnya sesa merupakan persembahan umat Hindu dengan mempersembahkan sebagian kecil dari makananya yang berupa nasi, lauk-pauk, sayur-sayuran dan garam yang dialasi dengan taledan yang terbuat dari daun pisang, yang secara rutin dilaksanakan setiap hari sehabis makanan itu dimasak dan setelah itu baru dinikmatinya. Persembahan yadnya sesa ini di sesuaikan dengan kebutuhan masing-masing terutama pada tempat-tempat yang dianggap penting. Kita sebagai umat Hindu dan sebagai umat manusia yang diciptakan dengan yadnya, maka sudah sepatutnyalah kita melaksanakan yadnya ; baik untuk menyucikan diri, mendekatkan diri pada Tuhan maupun sebagai ucapan terima kasih kita pada apa yang telah kita peroleh di dunia ini.
Hakikat pelaksanaan Yajna Sesa  dapat bermakna bahwa umat Hindu dimanapun berada senantiasa membiasakan diri untuk mendahulukan kepentingan umum atau para dharma dari pada kepentingan pribadi atau swadharma. Juga berarti untuk mendahulukan dharma bakti dan kewajiban daripada pamrih atau kehendak menurut hak untuk diri sendiri. Jadi Yadnya Sesa sebaiknya memang dilakukan sehabis memasak karena pada saat itu makanan bisa dibilang masih suci (sukla). Jadi persembahkanlah dahulu makanan yang kita masak untuk kepada para dewa sebelum kita hidangkan untuk diri sendiri.
Dalam ajaran agama  Hindu, Tuhan di puja sebagai yang ngiyangin 'mengisi' berbagai aspek kehidupan, tempat ruang dan waktu. Seperti pasar, kebun, sawah, pohon besar, batu besar, kantor, peternakan, perdagangan, kekayaan, kesehatan, kesenian, ilmu pengetahuan, kerajinan untuk menyebut beberapa contoh. Hampir tidak ada aspek kehidupan yang lepas dari kemahakuasaan Ida Sang  Hyang Widhi Wasa. Dalam pemujaan, Tuhan dikehendaki hadir, dihadirkan, dinginkan oleh umat Hindu (ista) dimohon, diundang hadir pemujanya sehingga Ida Sang Hyang Widhi Wasa yang dipuja adalah Tuhan sebagai personal god, Tuhan yang berpribadi yang menjadi junjungan, dimuliakan penyembahnya. Ista Dewata dipandang sebagai 'tamu' yang dimohon kehadiran-Nya menyaksikan sembah bhakti umat. Cara menghadirkan-Nya baik sewaktu-waktu seperti piodalan, hari suci, purnama, tilem disebut naimitika karma. Sementara dalam keseharian disebut nitya karma seperti: Tri Sandya, doa, Yadnya Sesa.
Yadnya sesa, persembahan kecil dan sederhana disebut saiban. Disejajarkan dengan  yang artinya persembahan berupa makanan. Umat Hindu meyakini bahwa apa yang diterimanya bersumber dari Ida Sang Hyang Widhi Wasa oleh karenanya kita punya kewajiban mensyukuri kembali dengan mempersembahkan kembali kepada-Nya. Tujuan yadnya sesa adalah moksartham jagadhita ya ca iti dharma. Tujuan yadnya menurut Bhagawadgita adalah kebahagian dan pembebasan dosa. "istan bhogan hi vo deva dasyante yajna-bhavitah, tair dattan apradayaibhyo yo bhunkte stena eva sah. Sesungguhnya keinginan untuk mendapat kesenangan telah diberikan kepada-mu oleh para dewa karena yajnamu, sedangkan ia yang telah memperoleh kesenangan tanpa memberi yajna sesungguhnya adalah pencuri”. Yajna-sistasinah santo, mucyante sarvakilbisaih, bhujante te tv agham papa, ye pacanty atma-karanat. Ia yang memakan sisa yajna akan terlepas dari segala dosa (tetapi) Ia yang memasak makan hanya bagi diri sendiri, sesungguhnya makan dosa”. Bhagawadgita III.12-13.
Berdasarkan sloka Bhagawadgita di atas maka sudah seharusnya setiap keluarga untuk mempersembahkan apa yang sudah didapat untuk penghidupannya, karena kalau tidak keluarga itu adalah pencuri.  Dipelihara oleh yadnya, para dewa akan memberimu kesenangan yang kau ingini. Ia menikmati pemberian-pemberian yang kau ingini. Ia yang menikmati pemberian ini tanpa memberi balasan kepadanya adalah pencuri). Orang-orang yang baik memakan apa yang tersisa dari yadnya, mereka terlepas dari dosa. Tapi mereka yang jahat yang menyediakan makanan hanya untuk kepentingan sendiri, mereka makan dosanya sendiri.
Pelaksanaan Yajna Sesa atau banten saiban ini ditujukan kehadapan :
Ida Sang Hyang Widhi Wasa beserta semua manifestasinya (Sang Hyang Siwa Raditya atau Sang Hyang Surya) suguhan ditempatkan diatas atap rumah atau di atas tempat tidur pada pelangkiran yang telah disediakan.
Dewa Brahma bertempat di tungku atau tempat memasak.
Dewa Wisnu bertempat di tempat menyimpan air atau bisa juga disumur.
Dewa Amerta atau Dewi Sri bertempat di penyimpanan beras atau nasi.
Ibu Pertiwi bertempat di halaman rumah yang juga ditujukan kehadapan bhuta-bhuti.
 Penunggun Karang bertempat di Tugu.
 Bhatara-Bhatari dan roh suci leluhur bertempat di Merajan dan Sanggah yang lainnya.
Serta pada tempat-tempat yang lainnya yang dipandang perlu dan jumlahnya disesuaikan dengan kebutuhan setempat.
Tempat-tempat melakukan yadnya sesa atau mesaiban jika menurut Manawa Dharmasastra adalah: Sanggah Pamerajan, dapur, jeding tempat air minum di dapur, batu asahan, lesung, dan sapu. Kelima tempat terakhir ini disebut sebagai tempat di mana keluarga melakukan Himsa Karma setiap hari, karena secara tidak sengaja telah melakukan pembunuhan binatang dan tumbuhan di tempat-tempat itu. Di dalam Kitab Manawa Dharma Sastra Adhyaya III 69 dan 75 dinyatakan: Dosa-dosa yang kita lakukan saat mempersiapkan hidangan sehari-hari itu bisa dihapuskan dengan melakukan yadnya sesa.
Sarana yadnya sesa berupa hasil masakan dapur: nasi, garam, lauk pauk beralaskan daun atau sejenis sebagai wadah banten. Disiapkan juga tirta (air suci) dan dupa. Di atas daun disuguhkan sejumput nasi, garam dan lauk pauk hasil masakan sukla, bukan surudan, sebagai ungkapan 'suksmaning manah' kita telah dikaruniai amerta, sebagai anugerah yang bisa kita nikmati bersama keluarga.
Setelah siap dilanjutkan dengan menghaturkan banten saiban setelah melakukan (1) Suci Laksana: tubuh dan pikiran suci, bersih. (2) Berbusana: adat ringan, jika pakaian kerja, pakailah selendang (3) Haturkan ditempat yang diyakini menjadi sumber pemberi kehidupan seperti: dapur, sumur, tengah halaman, tempat beras dan tempat-tempat lainnya (4) Dihaturkan dengan ayaban tangan arah keluar, percikan tirta dan nyala dupa. (5) Doa mantra di palinggih leluhur "Om buktyantupitara dewam, bukti mukti wara swadah, Ang Ah". Untuk Para Dewata mantranya "Om Dewa Amukti, Sukham bhawantu, Purnam Bhawantu, Sriyam Bhawantu, nama namah swaha". Jika di halaman, ditujukan kepada para Bhuta Kala doanya "Om sarwabhuta pratebhyah swaha"

Doa-doa dalam Yadnya Sesa atau Mesaiban
Yadnya Sesa yang ditujukan kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa melalui Istadewata ditempat air,dapur,beras/tempat nasi dan pelinggih/pelangkiran doanya adalah:
OM ATMA TAT TWATMA SUDHAMAM SWAHA, SWASTI SWASTI SARWA DEWA SUKHA PRADHANA YA NAMAH SWAHA.
Artinya: Om Hyang Widhi, sebagai paramatma daripada atma semoga berbahagia semua ciptaan-Mu yang berwujud Dewa.
Yadnya Sesa yang ditujukan kepada simbol-simbol Ida Sang Hyang Widhi Wasa yang bersifat bhuta, yaitu Yadnya Sesa yang ditempatkan pada pertiwi/tanah doanya:
OM ATMA TAT TWATMA SUDHAMAM SWAHA, SWASTI SWASTI SARWA BHUTA, KALA, DURGHA SUKHA PRADANA YA NAMAH SWAHA.
Artinya: Om Sang Hyang Widhi, Engkaulah paramatma daripada atma, semoga berbahagia semua ciptaan-Mu yang berwujud bhuta,kala dan durgha.


Simpulan

Simpulannya sebuah tradisi Hindu di Bali yaitu Yadnya Sesa/mesaiban merupakan sebuah tradisi yang menghaturkan atau mempersembahkan apa yang dimasak atau disajikan untuk makan di pagi hari kepada Tuhan beserta manifestasi-Nya terlebih dahulu dan barulah sisanya kita yang memakannya. Semua sebagai wujud syukur kita kepada Tuhan dan menebus dosa atas dosa membunuh hewan dan tumbuhan yang diolah menjadi makanan.












Daftar Pustaka
Pudja, G, 2019.           Bhagawadgita ( Pancama Veda). Penerbit Paramita Surabaya.

Pudja, G, dan Rai Sudharta, Tjokorda, 1977/1978. Manawadharmasatra (Manu Dharmasatra) atau Weda Smrti. Departemen Agama RI.
Wiana, I Ketut. 2006. Menyayangi  Alam Wujud Bhakti Pada Tuhan. Penerbit Paramita Surabaya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar