Adat, Tradisi, Agama, Budaya Hindu Bali

Kamis, 26 Maret 2020

CARU DALAM AGAMA HINDU BALI

OLEH : I MADE NGASEP
NO MAHASISWA : 19.1.146
PRODI : AGAMA HINDU
JUDUL MAKALAH : CARU DALAM AGAMA HINDU BALI

MAKALAH CARU DALAM AGAMA HINDU


BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Melakukan Upacara Yadnya merupakan langkah yang diyakini sebagai kegiatan beragama Hindu yang amat penting. Karena Yadnya adalah salah satu penyangga bumi. Demikian disebutkan dalam kitab Atharwa Weda. Pemeliharaan kehidupan di dunia ini dapat berlangsung terus sepanjang Yadnya terus menerus dapat dilakukan oleh umat manusia. Demikian Pula Yadnya adalah pusat terciptanya alam semesta atau Bhuwana Agung sebagai diuraikan dalam kitab Yajur Weda. Disamping sebagai pusat terciptanya alam semesta Yadnya juga merupakan sumber berlangsungnya perputaran kehidupan yang dalam kitab Bhagawadgita disebut Cakra Yadnya. Kalau Cakra Yadnya ini tidak berputar maka kehidupan ini akan mengalami kehancuran (Mas putra, dkk. 2015: 1).
Bhuta yadnya merupakan salah satu yadnya yang diyakini oleh umat Hindu sebaga jalan untuk menjaga keharmonisan alam atau bumi agar semua unsur alam semesta akan terjaga keharmonisannya. Salah satu unsur penting dalam Bhuta yadnya khususnya upakara caru atau disebut dengan mecaru (Sudarsana, 2001). Upacara Mecaru di Bali merupakan sebuah ritual suci yang kerap digelar untuk mengharmonisasi hubungan antara manusia dengan lingkungan sekitarnya untuk keberlangsungan kehidupan selanjutnya atau mengharmoniskan unsur-unsur Panca Maha Bhuta di Bhuana Agung dan Bhuana Alit. Unsur-unsur Panca Maha Bhuta merupakan lima unsur yang menyusun alam semesta, seperti pertiwi, apah, teja, bayu, dan akasa/ether. Pertiwi adalah sesuatu di sekitar kita yang berwujud, berbentuk dan dapat dirasakan seperti besi, logam, kayu, dan lain sebagainya. Pada umumnya pertiwi lebih dikenal dengan tanah. Apah adalah segala sesuatu yang lentur, mengalir, fleksibel, luwes, mendinginkan dan tidak memiliki bentuk yang kokoh. Secara nyata wujud apah adalah elemen air. Teja merupakan elemen api, yang dapat menghasilkan panas dan cahaya. Bayu merupakan sesuatu yang menaungi atau melingkupi jagat raya. Bentuk dari elemen bayu adalah angin yang melingkupi bumi. Akasa/ether merupakan unsur ruang kosong, dengan kata lain alam tempat tinggal seluruh makhluk hidup.
Caru merupakan bagian dari upacara yadnya yang bertujuan untuk keseimbangan para bhuta sebagai kekuatan bhuwana alit maupun bhuwana agung sebagaimana disebutkan dalam kanda pat butha sehingga dengan adanya keseimbangan tersebut berguna bagi kehidupan ini. Caru yang dalam sejarahnya disebutkan diawali dari terjadinya kekacauan alam semesta yang mengganggu ketentraman hidup sebagai akibat dari godaan-godaan bhuta kala, sehingga Hyang Widhi Wasa menurunkan Hyang Tri Murti untuk membantu manusia agar bisa menetralisir dan selamat dari godaan-godaan para bhuta kala itu sehingga mulailah timbul banten “Caru” sebagaimana disebutkan dalam mitologi caru ini.
Dijelaskan pula bahwa, Caru (Mecaru; Pecaruan; Tawur) sebagai upacara yadnya yang bertujuan untuk keharmonisan bhuwana agung (alam semesta) dan bhuwana alit (diri kita sendiri/ manusia). Dengan demikian, upacara mecaru adalah aplikasi dari filosofi Tri Hita Karana, seperti yang disebutkan dalam Lontar Pakem Gama Tirta, agar terjadi keharmonisan. Upacara pecaruan ada yang dilakukan dalam bentuk kecil sehari-hari, disebut Nitya Karma, sedangkan upacara pecaruan disaat tertentu (biasanya lebih besar) disebut Naimitika Karma. Adapun jenis-jenis sebagai berikut, Caru Eka Sata, Caru Panca Sata, Caru Rsi Ghana, Caru Penolak Mrana/ Gering Tempur, Caru Panca Sanak Madurgha, Caru Bhuta Yadnya Medana-dana/ Gempong Asu, Caru Panca Sanak Agung, Caru Panca Wali Krama, Caru Panca Kelud, Caru Walik Sumpah, Caru Tawur Gentuh, Caru Tawur Agung, Tawur Eka Dasa Rudra

Mithologi yang mendasari pelaksanaan caru di Bali adalah kisah Mahabharata pada Sauptika Parwa, yakni saat Dhuryodana yang dalam keadaan sekarat masih penuh dendam dan amarah namun kematiannya belum kunjung datang. Saat itu Aswatama ingin membalaskan dendam sahabatnya itu untuk membunuh Pandawa. Dini hari ia melancarkan aksi memalukan sepanjang sejarah yakni membunuh Panca Kumara  yang masih tertidur lelap pasca perang Bharata Yudha. Panca Kumara ditebas dengan pedang Aswatama, dan pedang yang berlumuran darah para pangeran Pandawa itu dibawanya kepada Dhuryodana. Dioleskannya pedang itu disekujur tubuh Dhuryodana dan akhirnya ia bisa memperoleh kematiannya dengan tenang. Hal ini menunjukkan kekuatan negatif yang disimbolkan oleh Dhuryodana dapat menjadi tenang oleh penggunaan darah. Itulah sebabnya pada banten caru menggunakan daging dan darah lima ekor ayam sebagai simbol pengorbanan suci Panca Kumara untuk mendamaikan, menyucikan, menyomya kekuatan negatif alam semesta ini.
1.2    Rumusan Masalah
1.    Bagaimanakah hakikat caru dalam agama hindu?
2.    Bagaimanakah pembagian jenis-jenis caru dalam agama hindu?
3.    Bagaimanakah makna filosofi dari sarana caru?
 


BAB II
PEMBAHASAN

2.1    Pengertian Caru
Caru, dalam bahasa Jawa-Kuno (Kawi) artinya : korban (binatang), sedangkan ‘Car‘ dalam bahasa Sanskrit artinya ‘keseimbangan/keharmonisan’. Jika dirangkaikan, maka dapat diartikan : Caru adalah korban (binatang) untuk memohon keseimbangan dan keharmonisan. ‘Keseimbangan/ keharmonisan’ yang dimaksud adalah terwujudnya ‘Tri Hita Karana’ yakni keseimbangan dan keharmonisan hubungan manusia dengan Tuhan (parahyangan), sesama manusia (pawongan), dan dengan alam semesta (palemahan). Bila salah satu atau lebih unsur-unsur keseimbangan dan keharmonisan itu terganggu kegiatan/kejadian yang tidak baik seperti, pelanggaran dharma/dosa, atau merusak parahyangan (gamia-gamana, salah timpal, mitra ngalang), perkelahian, huru-hara yang merusak pawongan, atau bencana alam, kebakaran yang merusak palemahan, patut diadakan pecaruan. Latar belakang dalam pecaruan dikorbankan binatang karena pada mulanya, justru manusia yang dikorbankan. Jadi kemudian berkembang bahwa manusia digantikan binatang peliharaan. Caru (Mecaru; Pecaruan; Tawur) adalah suatu upacara yadnya yang bertujuan untuk keharmonisan bhuwana agung (alam semesta) dan bhuwana alit (mahluk Hidup) agar menjadi baik, indah, lestari. Upacara pecaruan ada yang dilakukan sehari-hari disebut Nitya Karma, sedangkan upacara pecaruan disaat tertentu (biasanya lebih besar) disebut Naimitika Karma. Pecaruan merupakan suatu cara agar terciptanya keseimbangan antara Alam dan mahluk Hidup karena jika keadaan alam tidak seimbang maka akan mempengaruhi kualitas dan kuantitas mahluk yang hidup di dalam alam tersebut serta caru dapat menjadi lambang dari rasa bersyukur umat kepada alam semesta yang sudah memberikan tempat hidup yang layak.


2.2    Jenis – jenis Caru
2.2.1   Jenis-jenis Caru menurut alasan pelaksanaan
Jenis - jenis Caru dan Tawur sesuai Lontar Dewa Tattwa sebagai berikut :
a. Caru yang diadakan bila ada kejadian tertentu misalnya: bencana, bencana alam, hama penyakit, gerhana matahari, huru-hara, perang, dll.
b. Caru yang diadakan: sehari-hari, hari tertentu, sasih (bulan) tertentu, dan warsa (tahun) tertentu.
c. Caru yang diadakan disuatu tempat: pekarangan, rumah, pura, sanggah, Banjar, Desa, seluruh pulau (Bali), seluruh dunia, danau, laut, hutan, gunung, dll.
Baca juga :
nama nama caru
urip caru bebek
lontar caru
urip caru ayam klawu

2.2.2   Jenis-jenis caru menurut tingkatannya
a. Dalam Lontar Dewa Tattwa dibedakan pula antara Caru dan Tawur
Upacara yang dikelompokkan dalam katagori Caru :
• Eka Sata,
• Segehan Panca / Manca Warna,
• Panca Sata,
• Panca Sanak,
• Panca nak-madurga,
• Ngeresigana.
Upacara yang dikelompokkan dalam katagori Tawur :
• Manca Kelud,
• Balik Sumpah,
• Tawur Gentuh,
• Panca wali krama,
• Eka Bhuwana,
• Tri Bhuwana,
• Eka Dasa Rudra.
b. Jenis Caru menurut lontar Carcaning Caru
• Caru ayam berumbun ( dengan satu ekor ayam ),
• Caru panca sata (caru yang menggunakan lima ekor ayam yang di sesuaikan dengan arah atau kiblat mata angin ),
• Caru panca kelud adalah caru yang menggunakan lima ekor ayam di tambah dengan
seekor itik atau yang lain sesuai dengan kebutuhan upacara yang di lakukan, dan
• Caru Rsi Gana.
c. Jenis-jenis caru sesuai lontar Bhama Kertih
sebagai berikut :
• Kramaning Pasimpenan Dasar Wangunan
• Caru Umah Cacad
• Caru Mawug Umah dan Agingsir Ngarangin
• Caru Pangrapuh Cari
• Caru Pangasih Buta
• Caru Penganggihan
• Caru Karang Panes Kapasipati
• Caru Penganggihan Karang
• Caru Pamangguhan Pemali
• Caru Pamangguhan Alit
• Caru Karang Paumahan Gering Tetampur,
• Caru Karang Gering Tumpur Misi
• Caru Karang Kageringan
• Caru Karubuhan Taru Agung
• Caru Angkus
• Caru Rsi Ghana
• Caru Panulak Merana, Tutumpar
• Caru Panca Sanak Medunga
• Caru Pratingkahing Caruning Bhuta
• Caru Bhuta Bregala
• Caru Bhuta Yajña
• Caru Panca Sanak Agung
• Caru Panca Rupa Panca Kelud
• Caru Panca Kelud = Panca Rupa
• Caru Walik Sumpah
• Caru Panca Wali Krama
• Caru Tawur Gentuh
• Caru Tatumpur, Sasab Mrana ring Pesisi
• Tawur Eka Dasa Rudra
d. Jenis caru dilihat dari tingkat kebutuhannya
• Nista yaitu caru untuk keperluan kecil, dalam lingkup keluarga tanpa ada peristiwa yang sifatnya khusus (kematian dalam keluarga, melanggar adat)
• Madya yaitu caru yang selain dilakukan dalam lingkungan kekerabatan/banjar (biasanya dalam wujud tawur kesanga, dilakukan dalam keluarga dalam kondisi khusus, dan pembangunan merajan.
• Utama yaitu caru yang dilakukan secara menyeluruh oleh segenap umat Hindu (bangsa) Indonesia.


2.3    Penjelasan Jenis-jenis Caru
2.3.1. Caru panca sata
Secara etimologi Caru Panca Sata terdiri kata Caru, Panca, dan Sata. Caru dalam kitab “Swara Samhita” artinya harmonis atau cantik. Panca berarti lima dan Sataberarti ayam. Jadi Caru Panca Sata adalah suatu bentuk persembahan yang terbuat dari lima jenis ayam, disembelih dan diolah menjadi simbol-simbol berupa jenis-jenis makanan khas Bali untuk menjamu Bhuta Kala supaya harmonis (Wiana, 2007). Secara umum Caru Panca Sata terbuat dari bahan utama berupa lima jenis/warna ayam yang disembelih (putih, biying, putih syungan, hitam dan brumbun), bayang-bayang/layanglayang merupakan bagian dari kulit, bulu, kepala, kaki dan sayap tetap utuh melekat pada kulit. Darah dipisahkan berdasarkan jenis ayam, dipakai untuk melengkapi tetandingan (mentah dalam takir daun pisang) dan sebagai campuran urab barak. Masing-masing daging ayam diolah menjadi sate lembat (daging tumbukan dicampur dengan bumbu Bali dan kelapa parut), ususnya diolah menjadi sate asem dan serapah (usus atau daging yang direbus ditusuk dengan bambu kecil yang diraut (katikan), 3 irisan tiap katik. Begitu pula disertakan urab barak, urab putih, sayur, garam, balung/ tulang.
Baca juga :
gambar caru ayam brumbun
sebutkan contoh contoh caru
caru dan ricis
mengapa ayam dipakai dasar upacara caru coba jelaskan

2.3.2. Caru panca sanak
Tata cara melaksanakan upacara caru panca sanak agung, di timur mempergunakan angsa dagingnya diolah menurut urip yaitu dijadikan 50 tanding, di Selatan banteng, dagingnya dijadikan 90 tanding, di Barat anjing bang bungkem, dagingnya diolah menjadi 70 tanding, di utara kambing dagingnya diolah menjadi 40 tanding, di Tengah itik blang kalung, dagingnya diolah menjadi 80 tanding. Upacara caru yang kecil ataupun besar, demikian pula halnya dengan caru pancawali krama, yaitu dengan mempergunakan ayam berbulu lima macam, kulitnya dipergunakan layang-layang, dagingnya diolah menjadi urab merah dan putih, mengikuti arah jumlahnya. Demikian pula upacara yang ditujukan keatas, sesuai pula dengan urip arah, yaitu; di Timur itik putih yang jumlahnya sesuai dengan urip, dagingnya diolah menjadi 55 bayuh dalam satu karang, calon agung sesuai dengan urip arah. Di selatan anjing bang bungkem, sesuai dengan urip, dagingnya diolah menjadi 99 bayuh. Di Barat angsa sesuai dengan urip, dagingnya diolah menjadi 77 bayuh. Di Utara babi jantan sesuai dengan urip, dagingnya diolah menjadi 44 bayuh. Di tengah itik belangkalung dagingnya diolah menjadi 88 bayuh. Masing-masing disertai sate lambat asem, calon pebangkit di tengah sebuah yang lengkap dengan urutannya. Ditambah lagi dengan angsa yang diletakkan di arah Barat, olahan dagingnya sesuai dengan olahan angsa dalam upacara pancawali karama di tingkat madya. Dan pula dalam caru panca sanak agung/alit, patutlah disertai dengan sesayut durmanggala, prayascita luwih, sesayut panca kelud, pamiyak kala dan pamangguh pamali agung/alit. Tingkatan dan tata pelaksanaan caru ini sama dengan caru panca sanak agung.

2.3.3. Caru panca rupa dan panca kelud
Upakara Caru panca rupa dan panca kelud adalah Itik berbulu elang, di Tenggara letaknya, kulitnya dipergunakan sebagai layang-layang, dagingnya diolah menjadi 88 dalam satu karang, masing-masing disertai dengan suci dandanan. Anjing bang bungkem, di Tenggara tempatnya, kulitnya dipakai layang-layang, dagingnya diolah menjadi 33 dalam 1 karangan. Kambing di Barat daya, kulitnya dipergunakan layang-layang, dagingnya diolah menjadi 21 dalam 1 karangan. angsa di timur laut tempatnya, kulitnya dipakai layang-layang diolah menjadi 21 dalam 1 karangan. Itik blang kalung di tengah letaknya, kulitnya dipakai layang-layang, dagingnya diolah menjadi 88 dalam 1 karangan. Ayam putih letaknya di Timur, dagingnya diolah menjadi 5, ayam merah letaknya di selatan, dagingnya diolah menjadi 9, ayam putih siyungan/putih kekuning-kuningan letaknya di Barat, dagingnya diolah menjadi 7, ayam hitam di utara, dagingnya diolah menjadi 4, ayam brumbun/lima warna letaknya di tengah dagingnya diolah menjadi 8. Masing-masing dari bagian itu disertai dengan sate asem dan calon agung sesuai dengan urip warna.

2.3.4. Caru malik sumpah
Caru malik sumpah, yang tingkatannya adalah utama, sarananya adalah sebagai berikut; di Timur angsa sesuai dengan urip, dagingnya diolah menjadi 55. Di Selatan, banteng sesuai dengan urip, dagingnya diolah menjadi 99. Di Barat daya anjing bang bungkem, sesuai dengan urip, dagingnya diolah menjadi 33. Di Barat kambing sesuai dengan urip, dagingnya diolah menjadi 77. Utara babi jantan sesuai dengan urip, dagingnya diolah menjadi 44. Di tengah kerbau sesuai dengan urip, dagingnya diolah menjadi 88. Bebangkitnya satu soroh disertai perlengkapannya, sorohan, kawasan, karangan gelar sanga dan cawu pangrekan. Upacara malik sumpah di sawah, di desa, dan di tanah perumahan, yaitu ; babi 9 ekor dikali 5, itik 7 ekor dikali 5, ayam 5 ekor dikali 5, sudang taluh 3 buah dikali 5, garam areng 1 dikali 5, letakanlah semua itu pada sangkwi yang berjumlah 5 buah. Jenis kelapa muda yang diperlukan ; kelapa sudamala 9 butir, kelapa nyamblung 11 butir, kelapa gading 7 butir, kelapa be julit 5 butir kelapa tabah 3 butir.

2.3.5. Caru panca wali krama
Tata pelaksanaan upacara Caru panca wali krama, hewan yang dipergunakan adalah ; di Timur sapi, di Selatan menjangan, di Barat kidang, di Utara Garuda, di Tengah padma. Tata pelaksanaan caru tawurgentuh, membuat sanggah rong/berulang 3, suci 4 soroh, catur Widya Ghana, panca saraswati, -kanan –kiri citragotra, siwa bahu, pucuk bahu, papada, dewa-dewi, tegen-tegenan, itik-ayam, sesantun gede, saji 4 soroh, rantasan 2 unit, pras 2 buah, ayam 2 ekor, itik 16 ekor, sesantun sebagaimana mestinya, paling banyak 16000, menengah 8000. Dipanggungan dihaturkan bebangkit asoroh dengan perlengkapannya. Caru yang dibawah, di Timur mempergunakan banteng/sapi jantan, dagingnya diolah sesuai dengan urip menjadi 55. Di Selatan, anjing blang bungkem dagingnya diolah menjadi 99. Di Barat, kambing dagingnya diolah menjadi 77. Di utara babi jantan diolah dagingnya menjadi 44. Di bawah angsa dagingnya diolah menjadi 55. Kerbau dagingnya diolah 19 menjadi 88 di tengah letaknya. Angsa dagingnya diolah menjadi satu, letaknya diatas.

2.3.6. Caru Tawur Agung
Tata pelaksanaan caru tawur agung, sarananya adalah sebagai berikut : untuk caru di bagian bawah yaitu ; di Timur sapi yang dagingnya diolah menjadi 55, di Selatan manjangan dagingnya diolah menjadi 99, di Barat kidang/kijang dagingnya diolah menjadi 77. Bila tidak ada kaki kidang boleh mempergunakan gambarnya saja, tetapi binatangnya diganti dengan itik putih yang dagingnya diolah menjadi 77. Di Utara babi jantan dagingnya diolah menjadi 44. Semua bagian itu disertai dengan bebangkit dan pada bagian bawah tempatnya mecaru memakai angsa yang dagingnya diolah menjadi 55 disertai bebangkit, sedangkan bagian atas angsa yang dagingnya diolah menjadi satu, disertai bebangkit. Di Tengah kerbau yang dagingnya diolah menjadi 88 disertai bebangkit. Di Tenggara musang, dagingnya diolah menjadi 88, tanpa bebangkit, di Barat daya anjing blang bungkem dagingnya diolah menjadi 33 tanpa bebangkit. Di Barat laut kura-kura, dagingnya diolah menjadi 22 tanpa bebangkit. Di Timur laut kambing yang dagingnya diolah menjadi 66 tanpa bebangkit. Dan ayam manca warna dagingnya diolah sesuai dengan arah, disertai dengan, kawisa, karangan, gelar sanga dan bebakaran masing-masing sebuah.

2.3.7. Tawur Eka Dasa Rudra
Tata cara Tawur Ekadasa Rudra pelaksanaannya, sesuai dengan stana / tempatnya masing-masing, misalnya adalah caru yang menghadapi ke timur, Tenggara, Barat daya, Barat, Barat Laut, Timur Laut, tengah, bawah, dan atas. Demikianlah banyaknya, lengkap dengan penggunaannya masing-amsing, diatapi dengan memakai lamak, penjor dan pagar sekelilingnya supaya aman. Upacara caru ditanah dengan angsa hitam yang dagingnya diolah, ditempatkan pada sangkwi mikuh, olahannya itu sesuai dengan urip, sesate serba 50 biji, sebagian mateng, dan sebagian mentah, ditempatkan pada 5 sangkwi, seperti sate calon serba lima, ditempatkan pada ancak, ditengah diisi cau dandanan 5 buah, berisi nasi putih, ikannya hurab merah dan putih. Upacara caru di air, ditempatkan pada klakat 2 buah, ikannya sudang telur sebuah, ikannya hurab merah putih sebuah, takeptakepannya 5 buah, ikannya hurab merah putih. Jenis binatang untuk caru di bawah sanggar tawang, angsa di timur, kambing di tenggara, sapi jantan di selatan, anjing bang bungkem di barat daya, kerbau di barat, manjangan di barat laut, dan kidang di tengah. Semuanya itu disertai nasi yang ditempatkan pada klatkat. Di bagian tengah mempergunakan tepung lima warna lengkap dengan senjatanya. Ditambah pula dengan caru yang mempergunakan binatang buas, yang dagingnya diolah sesuai dengan urip, kulitnya masih utuh dengan kepalanya, adapun jenis binatang itu adalah; buaya, harimau, biawak, kucing hutan, rase, musang, landak, trenggiling, ular, tikus, deleg, bejulit, lele, hempas, elang, gagak, monyet hitam, monyet, katak besar, dan jenis-jenis ular. Semua binatang buas dapat dipergunakan. Upacara caru di tanah, adalah babi besar seekor, sebagai penerangan yang lengkap, darah sepiring, tulang gagending, semuanya mentah, pencok kacang, telur bekasem enam butir, cangingnya diolah menjadi sate dan calon, hurab merah putih, hendaklah mempergunakan daging babi.

2.3.8. Caru pengasuh bhuta
Upakara caru pengasuh buta : canang, tumpeng putih-kuning yang besar, dihiasi dengan bunga, buahnya berwarna putihkuning, canang genten, ikannya sate sudamala dari ayam setengah baya, dipanggang, dan itik putih diguling, ditempatkan pada dulang yang baru, yang merajah/bergambar matahari dan bulan. Setelah selesai dihaturkan kemudian ditanam di tengah halaman rumah.

2.3.9. Caru penudaan
Upacara pecaruan di pekarangan jika tanah pekarangan tidak baik seperti ditimpa penyakit tiada berkeputusan, dimasuki oleh bhuta-bhuti, selalu gelisah, sering bertengkar, tiada tahu akan kewajibannya sebagai manusia. Caru di bawah adalah sajen itik berbulu elang/Coklat kemerah-merahan diolah dan diwarnai merah putih, disate sebanyak 35 bagian/tanding, disesuaikan dengan urip arah mata angin yang disatukan dalam caru tersebut.

2.3.10. Caru hangkus
Caru hangkus merupakan upacara membuat tenang dan damainya tanah pekarangan, sarananya adalah ; bubur pirate, nasi angkeb, sorohan seperangkat, suci sepasang, tumpeng 9 buah, berwarna 9 macam yang ditempatkan pada tamas, buahnya seperti isi sodahan, seekor anjing bang bungkem, dagingnya diolah lengkap, dan kulitnya ditempatkan pada sangkwi yang berwujud anjing, kemudian ditutup pula dengan sangkwi yang sama pula. Dilengkapi dengan pohon tiyih/sejenis suwek yang masih lekat dengan umbinya sebanyak 4 pohon, daksina sebuah, uang 770, katipat sedahan.

2.3.11. Caru Rsi Ghana
Caru ini berfungsi sebagai penyucian tanah pekarangan yang angker dan panas. Bila ada orang mati di tanah pekarangan itu, karena salah pati, diamuk orang, disambar petir, yang menyebabkan orang yang punya rumah mendapatkan bahaya dalam hidupnya. Carunya di halaman rumah ayam berumbum/berbulu lima warna, kulitnya digantung dan dialasi kelabang berekor/sejenis anyaman dari daun kelapa, dagingnya diolah menurut urip dari lima warna, yang berwarna putih di Timur, urabnya berwarna
merah putih, sate lambat asem 5 biji, dijadikan 5 bayuh. Di Selatan ayam biying berbulu kemerah-merahan, urabnya merah putih, sate lambat asem 9 biji, calon 9 biji, dijadikan 9 bayuh. Di Barat ayam putih siyungan urabnya putih merah, sesate lambat asem 7 biji, calon 7 biji, menjadi 7 bayuh, di Utara ayam hitam, urabnya merah putih, sate lambat asem 4 biji, calon 4 biji, menjadi 4 bayuh. Yang di tengah ayam berumbun,
urabnya merah putih, sate lambat asem 8 biji, calon 8 biji menjadi 8 bayuh.

2.3.12. Upacara penolak merana /penyakit tumbuhan dan manusia
Upakara caru di halaman dengan memakai ayam lima warna, kulitnya untuk layang-layang ditempatkan pada sangkwi berekor, dagingnya diolah ngider buana; untuk ayam putih dagingnya diolah menjadi lima bayuh, masing-masing berisi urab merah putih, sesate lambat asem 5 biji, calon 5 biji, letaknya di arah Timur. Untuk ayam siyungan dagingnya diolah menjadi sembilan bayuh, masing-masing berisi urab merah putih, sate lambat asem 9 biji, calon 9 biji, diletakkan diarah Selatan. Untuk ayam putih siyungan/putih kekuningkuningan dagingnya diolah menjadi 7 bayuh, masing-masing
berisi urab merah putih, sesate lambat asem 7 biji, calon 7 biji diletakkan di arah Barat. Untuk ayam hitam dagingnya diolah menjadi 4 bayuh, masing-masing berisi urab merah putih, sesate lambat asem 4 biji, calon 4 biji dan diletakkan diarah utara. Ayam berumbun dagingnya diolah menjadi 8 bayuh masing-masing berisi 8 biji sesate lambat asem, calon 8 biji tempatkan diarah tengah. Semua dari upacara itu diletakkan atau dialas dengan sangkwi. Bahan carunya anjing bang bungkem yang belum berumur dewasa, kulitnya digantung dipakai layang-layang, dagingnya diolah ditempatkan pada sangkwi yang berekor, olahannya adalah urab merah putih, sesate lambat asem 33 biji, dijadikan 3 karangan/kelompok, calonnya sesuai dengan urip arah mata angin, disertai kekapuhan takep-takepan. Nasi punjungnya putih, merah, kuning, hitam dan berumbun, dilengkapi dengan pras pengambyan tulung sesayut, tumpeng sesuai dengan arah mata angin.

2.4  Filosofi Sarana Caru
2.4.1   Tetimpug
Tetimpug ada beberapa ada tiga atau lima buah. Sesuai dengan tingkatan. Upacara caru yang menggunakan tiga buah tetimpug digunakan dalam upacara caru yang biasa dan melambangkan Tri Kona, yaitu utpeti, stiti, dan pralina. Jika yang menggunakan lima buah tetimpug upacara caru tersebut sudah berada dalam tingkatan yang lebih besar, seperti karya agung. Hal tersebut melambangkan  Panca Maha Bhuta, yaitu pertiwi, apah, teja, bayu, dan akasa. Tetimpug merupakan sarana pengundang tenaga dan waktu agar harmonis. Jika tetimpug tidak bersuara maka kala itu tidak datang, begitu juga sebaliknya jika bersuara kala itu datang dan merasa terpanggil.

2.4.2   Kelabang Sengkui
Kelabang Sengkui, Kelabang Sengkui ini hampir mirip dengan Kelabang Dangap-dangap Biasanya Kelabang Sengkui ini digunakan dalam ritual upacara bhuta yadnya (caru), di mana jumlah ulatan Sengkui ini mengikuti jumlah urip pacaruan. Makna Sengkui ini adalah nyupat dan nyomia Bhuta kala. Di mana  Sengkui ini digunakan sebagai alas dari segala jenis hidangan atau ulam pacaruan

2.4.3   Sampat
Sampat dalam pacaruan sering digunakan saat berlangsungnya prosesi mapurwa daksina mengelilingi banten caru bersamaan dengan tulud dan kentongan. Adapun makna filosofi dari sampat yakni sebagai sarana pembersihan alam skala maupun niskala dari keberlangsungan caru tersebut. Diharapkan alam skala maupun niskala kembali seimbang (nyomia/menetralisir hal-hal negatif).

2.4.4   Tulud
Tulud merupakan bagian yang digunakan saat mapurwa daksina bersamaan dengan sampat serta pentongan. Tulud dalam pecaruan memiliki fungsi untuk meratakan banten-banten caru yang telah usai dihaturkan oleh sulinggih. Tulud memiliki makna sebagai sarana meratakan tanah atau ibu pertiwi serta manyomia agar keseimbangan skala maupun niskala tetap stabil.

2.4.5   Kentongan/Kulkul
Kulkul memiliki fungsi sebagai sarana komunikasi atau sebagai alat untuk memberi peringatan, pemberitahu, maupun sebagai pertanda. Dalam pelaksanaan caru kentongan digunakan saat mapurwa daksina bersamaan dengan tulud dan sampat. Kentongan memiliki makna filosofi sebagai alat pemberitahu kepada Bhuta Kala bahwa persembahan pacaruan telah dilaksanakan dan telah dihaturkan.

2.4.6   Lis
Lis dalam pacaruan merupakan simbolisasi dari bapa akasa dan ibu pertiwi. Lis terbuat dari daun kelapa yang dibentuk sedemikian rupa. Lis memiliki makna filosofi sebagai penetralisir mala atau hal-hal negatif. Lis juga merupakan simbolisasi dari keseimbangan alam semesta.
 
BAB III
PENUTUP

3.1 Simpulan
Yadnya adalah pusat terciptanya alam semesta atau Bhuwana Agung sebagai diuraikan dalam kitab Yajur Weda. Caru, dalam bahasa Jawa-Kuno (Kawi) artinya : korban (binatang), sedangkan ‘Car‘ dalam bahasa Sanskrit artinya ‘keseimbangan/keharmonisan’.
Adapun jenis-jenis sebagai berikut, Caru Eka Sata, Caru Panca Sata, Caru Rsi Ghana, Caru Penolak Mrana/ Gering Tempur, Caru Panca Sanak Madurgha, Caru Bhuta Yadnya Medana-dana/ Gempong Asu, Caru Panca Sanak Agung, Caru Panca Wali Krama, Caru Panca Kelud, Caru Walik Sumpah, Caru Tawur Gentuh, Caru Tawur Agung, Tawur Eka Dasa Rudra
Adapun filosofi sarana dalam pacaruan yakni tetimpug yang memiliki makna sebagai sarana pengundang tenaga dan waktu agar harmonis. Sengkui sebagai alas ulam pacaruan memiliki makna untuk nyupat dan nyomia Bhuta Kala. Sampat memiliki makna filosofi sebagai sarana pembersihan alam skala maupun niskala. Tulud memiliki makna sebagai sarana meratakan tanah atau ibu pertiwi serta manyomia. Kentongan memiliki makna filosofi sebagai alat pemberitahu kepada Bhuta Kala bahwa persembahan pacaruan telah dilaksanakan dan telah dihaturkan. Lis memiliki makna filosofi sebagai penetralisir mala atau hal-hal negatif.
3.2 Saran
Saran kami sebagai penulis, semoga makalah yang kami berijudul Caru Dalam Agama Hindu ini bisa menjadi salah satu literasi yang membantu untuk penulis yang akan membahas kaitannya dengan filosofi ini. Kami memohon maaf bila hasil karya tulis ini masih banyak hal-hal yang kurang dalam pemaparannya.
Saran kami kepada pembaca ke penulis, teruntuk para pembaca agar memberikan suatu kritikan terhadap penulis dan bahasan yang ditulis, supaya menjadi acuan untuk dapat membuat suatu karya tulis yang lebih baik lagi kedepannya. Trimakasih
 
DAFTAR PUSTAKA


Mas Putra, I Gusti Agung. 2015. Panca Yadnya. Biro Kesra Setda Provinsi Bali :
Denpasar
Widnyana, I Ketut. Caru Kearifan Lokal Bali "Tinjauan Manfaat dalam Kesuburan
dan Biodiversitas Tanah". Universitas Mahasaraswati Press : Denpasar
http://bebantenan.blogspot.com/2011/05/caru.html
http://kpbtabanan.blogspot.com/2018/07/mengenal-dan-memahami-tetandingan_8.html
http://sejarahharirayahindu.blogspot.com/2012/02/caru-tawur.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar