Adat, Tradisi, Agama, Budaya Hindu Bali

Minggu, 29 Maret 2020

Mesegeh Caru Terkecil dan Sederhana sebagai Bentuk Pelaksanaan Bhuta Yadnya untuk Menjaga Keseimbangan dan Keharmonisan Alam Semesta


MAKALAH
Mesegeh Caru Terkecil dan Sederhana sebagai Bentuk Pelaksanaan Bhuta Yadnya untuk Menjaga Keseimbangan dan Keharmonisan Alam Semesta

 










OLEH:
IDA BAGUS NYOMAN OKA, SE
NPM. 19.1.087


STKIP AGAMA HINDU AMLAPURA
2020


PENDAHULUAN
Tri hita karana merupakan konsep dasar dalam ajaran Agama Hindu, Tri berarti tiga, hita berarti kebahagiaan, dan karana berarti penyebab, jadi tri hita karana berarti tiga penyebab terciptanya kebahagiaan. Tri hita karana terdiri dari Parahyangan yaitu hubungan manusia dengan Tuhan, pawongan yaitu hubungan manusia dengan manusia, dan pawongan yaitu hubungan manusia dengan alam.
Dalam mencapai keharmonisan Tri Hita Karana umat Hindhu diharapkan dan diharuskan mempunyai sikap hormat, taat, dan bhakti atas kekuasaan Ida Sanghyang Widhi Wasa, sikap hormat dan saling menghargai sesama manusia, serta menghargai dan memelihara keseimbangan alam beserta isinya. Pelaksanaan sebagai perwujudan bhakti dan hormat untuk mencapai keharmonisan tersebut adalah dengan jalan melakukan yadnya. Yadnya merupakan persembahan atau korban suci secara tulus ihklas. Yadnya dalam pelaksanaannya ada yang dilaksanakan secara riil dapat berupa persembahan dan atau korban suci kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa demikian juga kehadapan sesama manusia, serta kehadapan alam berserta isinya, dan yadnya yang dilakukan abstrak (tidak nyata) berupa tapa, bratha, yoga dan semadhi. Yadnya secara riil dalam ajaran Agama Hindhu adalah Panca Yadnya yang terdiri dari Dewa Yadnya yaitu persembahan korban suci ditujukan kepada Ida Sanghyang Widhi Wasa, Pitra Yadnya yaitu persembahan korban suci kepada para leluhur, Rsi Yadnya yaitu persembahan korban suci ditujukan kepada beliau yang disucikan atau para sulinggih, Manusa Yadnya yaitu persembahan korban suci ditujukan kepada sesama manusia serta Bhuta Yadnya yaitu persembahan korban suci ditujukan kehadapan para Bhuta Kala, alam dan beserta isinya.
Pelaksanaan Panca Yadnya tidak dapat dilaksanakan secara tersendiri, ini merupakan keterkaitan antara yadnya yang satu dengan yadnya yang lain artinya pelaksanaannya tidak dapat meninggalkan yadnya yang lain. Dalam pelaksanaan Dewa Yadnya selalu diawali dengan Mecaru sebagai persembahan kehadapan para Bhuta Kala dengan harapan beliau tidak tidak mengganggu upacara yang akan dilaksanakan, setelah itu dilaksanakan Makala Hyang yaitu upacara pembersihan diri umat sebelum upacara Dewa Yadnya dilaksanakan, ada juga Rsi Bhojana yang berkaitan dengan Rsi Yadnya yaitu persembahan kehapadan beliau yang sudah berkenan dalam pelaksanaan inti  Dewa Yadnya. Sebelum Dewa Yadnya dilaksanakan, terlebih dahulu dilaksanakan Upacara Nunas Wangsuhpada pada pura- pura kawitan yang merupakan salah satu pelaksanaan Pitra Yadnya. Demikianlah keterikatan dalam pelaksanaan Panca Yadnya.
Bhuta Yadnya merupakan bagian dari Panca Yadnya dan dalam pelaksanaannya mengawali dari pelaksanaan Panca Yadnya yang lain. Upacara Bhuta Yadnya dilaksanakan umat Hindhu disebut Nitya Karma dan Naimitika Karma. Persembahan  setiap hari setelah memasak dengan menghaturkan beberapa butir nasi beralaskan daun pisang persegi yang dilengkapi lauk pauk yang dimasak saat itu dan dihaturkan di pelinggih Mrajan atau Sanggah khususnya dilektakkan dibebaturannya dipelemahan rumah yang disebut Nitya Karma. Demikian juga disetiap hari Kliwon atau Kajeng Kliwon Upacara Bhuta Yadnya dilaksanakan, Upacara Bhuta Yadnya juga dilaksanakan pada setiap adanya suatu kejanggalan atau kejadian yang tidak dikehendaki misalnya terjadi kebakaran, tumbuh pohon aneh tidak sesuai kebiasaan, lahirnya hewan yang tidak semestinya secara biologis, adanya lulut atau ulat pada pelemahan pekarangan dan kejadian yang melanda seperti sekarang merebaknya wabah virus covig 19, jadi Yadnya yang dilaksanakan pada saat saat tertentu bila diperlukan disebut Naimitika Karma. Sarana Bhuta Yadnya secara garis besar dapat dibagi menjadi mejadi 3 jenis yaitu:
1.             Mataya yaitu sarana yang berasal dari tumbuh- tumbuhan yang biasa digunakan buah, daun, bunga dan pohonnya
2.             Mantiga yaitu sarana yang berasal dari hewan yang terlahir dua kali seperti ayam, angsa, itik , telur itik, telur ayam, telur angsa dan lainnya
3.             Maharya yaitu sarana yang terlahir sekali saja dan berkaki empat seperti babi, sapi, kebau, kambing dan lain- lain.
Dalam pelaksanaan Bhuta Yadnya dari segi bentuk dapat berupa Segehan, Caru dan Tawur. Ketiga bentuk Bhuta Yadnya tersebut  secara rutin dilaksanakan oleh umat Hindhu namun dikalangan masyarakat awan apa sesungguhnya maksud dan tujuannya masih adanya ketidaktahuan secara tattwa. Jadi penulis berusaha menjelaskan dan memberikan pemahaman maksud dan tujuan Upacara Bhuta Yadnya dari segi bentuk yang paling kecil dan paling mudah yaitu Segehan




  

PEMBAHASAN

A.      Pengertian segehan
Kata segehan berasal dari kata “ sega” dalam bahasa jawa “sego” yang berarti nasi sehingga banten segehan isinya didominasi oleh nasi berbagai warna dan bentuk. Ada juga segehan artinya “suguh” suguhan dalam hal ini dihaturkan kepada Bhuta Kala. Pelaksanaan Upacara Bhuta Yadnya dalam bentuk yang lebih kecil dan sederhana pengetian lain dari Segehan atau blabaran yang dipersembahkan kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa dalam prabawanya sebagai Panca Maha Bhuta, yang dapat berupa nasi kepelan, cacahan, tumpeng yang dilengkapi dengan bumbu lauk pauk bawang, jahe dan garam (uyah areng) yang beralaskan taledan (daun pisang atau janur), serta tetabuhan tuak,arak,berem dan air.
B.      Makna dan tujuan segehan
          Manusia sebagai ciptaan Ida Sang Hyang Widhi Wasa merupakan perwujudan Panca Maha Bhuta dalam bentuk yang lebih kecil atau microkosmos, sedangkan  yang lebih besar makrokosmos adalah alam semesta. Dalam Agama Hindhu makrocosmos terdiri dari Alam Bhur adalah tempat manusia dan makhuk hidup lainnya seperti tumbuh- tumbuhan dan binatang disamping itu dihuni juga oleh segala bentuk gumatak gumitit, para bhuta kala, serta makhluk halus lainnya, Alam Bwah alam yang dihuni oleh para arwah, serta Alam Swah sebagai alamnya para dewa. Alam Bhur tidak hanya dihuni oleh manusia dan makhluk hidup lainnya, akan tetapi juga dihuni oleh makhluk halus maka jelas aka ada interaksi sehingga akan menimbulkan suatu gesekan dan pengaruh negatif  sehingga pengaruh negatif  tersebut perlu dinetralisir dan diharmonisasi dengan malaksanakan persembahan Bhuta Yadnya  berupa mesegeh atau segehan.
Segehan atau blabaran merupakan simbolis dari Panca Maha Bhuta dibhuwana alit berupa nafsu baik dan jahat yang disimbulkan dengan nasi warna lima, warna putih simbul kesucian, merah sebagai simbul sifat marah, kuning sebagai simbul sifat iri hati, hitam sabagai simbul serakah dan brumbun merupakan penggabungan dari sifat keempatnya. Bawang, jahe dan garam areng serta tetabuhan arak berem, rasanya pedas pahit bercampur aduk dengan rasa lainnya dan berbau amis itu semua merupakan rangsangan. Sekarang tergantung warna sifat dan rasa serta bau yang mana yang lebih dominan, semua tergantung dari interaksinya terhadap pengaruh luar dan atau pengaruh dari luar terhadap manusia. Jadi makna mesegeh yaitu memberikan suatu persembahan kepada para bhuta kala dengan harapan beliau tiada lagi mengganggu dan atau mempengaruhi sifat yang ada pada diri manusia.
C.      Pengertian Bhutakala sebagai penerima persembahan segehan
Menurut kepercayaan Agama Hindhu di Bali, perwujudaan Bhutakala merupakan penjelmaan dari saudara empat manusia yang diajak lahir bersama, karena suatu proses alam, maka beliau ini berubah wujud dalam bentuk bhuta yaitu: Yeh nyom menjadi Anggapati tempatnya di timur bentuknya padat yaitu pertiwi, darah menjadi Mrajapati tempatnya di selatan bentuknya cair (apah), lamas  menjadi Banaspati tempatnya di barat bentuknya teja (panas),  dan ari- ari menjadi Banaspati Raja tempatnya di utara berbentuk angin (bhayu). Dalam kehidupan sehari- hari jika seseorang lupa akan saudara empatnya beliaupun akan meninggalkannya dan dalam kehidupannya beliau senantiasa akan diperalat dan atau membiarkan hal- hal buruk terjadi padanya, demikian juga sebaliknya, jika seseorang senantiasa ingat akan saudara empatnya maka beliau akan melindunginya dan tidak akan terjadi hal- hal buruk dalam hidupnya.
Menurut Kanda Pat Bhuta Anggapati sebagai wujud penjelmaan dari saudara empat manusia, dalam keseharian menempati tubuh manusia sebagai makanannya beliau diperkenankan memangsa atau mengganggu manusia jika manusia dalam keadaan lemah atau dikuasi oleh nafsu angkara murka, maka timbulah sifat jahat, membunuh, memperkosa dan  sifat angkara murka  lainnya pada diri manusia sebagai akibat manusia lupa akan salah satu saudara empatnya. Untuk menetralisir sifat- sifat jahat tersebut dengan jalan melaksanakan tapa bratha, yoga, semadi dan melaksanakan korban suci berupa segehan sebagai salah satu sarananya.
Mrajapati merupakan penghuni kuburan atau setra, persimpangan jalan besar, berhak atas makanannya untuk memangsa mayat yang dikubur menyalahi dewasa (waktu/kala terlarang). Beliau juga diperkenankan mengganggu manusia yang salah jalan dan dengan sengaja memberikan dewasa yang tidak benar dan serta melanggar dalam hal melakukan upacara. Untuk hal tersebut dapat dinetralisir dengan melaksanakan korban suci Caru Penyejeg Karya dan Caru Alaning Dewasa yang didalamnya ada segehan.
Banaspati sebagai penghuni sungai, pangkung, jurang, tebing, batu besar dan sebagainya berhak atas makanannya untuk menggangu serta memangsa orang- orang yang lewat dan berjalan ditempat tersebut tanpa permisi dan menyalahi waktu, demikian juga orang yang tidur menyalahi waktu (sandikala). Untuk menetralisir dengan jalan mohon ijin dan menghaturkan sesuatu sebagai persembahan sebelum melewati tempat tersebut.
Banaspati raja sebagai penghuni pohon besar yang angker, beliau punya kuasa atas orang yang sengaja dan berani menebang dan memanjat pohon tersebut. Untuk menetralisir hal tersebut dengan jalan melaksanakan persembahan sebelum akan melakukan kegiatan pada pohon tersebut atau disekitar pohon tersebut atau bahkan akan menebangnya dengan melakukan suatu pergantian dengan mendirikan pelinggih sebagai gantinya bila mana diperlukan.
D.      Waktu, tempat dan jenis segehan yang dipersembahkan
Waktu menghaturkan segehan adalah setiap Kliwon, Kajeng Kliwon, Purnama/ Tilem dan hari rerahinan lainnya. Kepercayaan masyarakat Bali pada jaman dahulu untuk menetral suatu penyakit pada hari Kajeng Kliwon dengan menghaturkan segehan lengkap dengan banten yang telah ditentukan di penataran atau pempatan agung. Pada hari Kajeng Kliwon diyakini sebagai saat energy alam semesta yang memiliki unsur dualisme bertemu satu sama lainnya, energy dalam alam semesta yang ada di bhuwana agung semuanya terealisasi dalam bhuwana alit tubuh manusia itu sendiri. Rerahinan Kajeng Kliwon datang setiap 15 hari sekali dan dibagi menjadi 3 yaitu:
1.      Kajeng Kliwon Uwudan yaitu Kajeng Kliwon yang jatuh setelah terjadinya purnama
2.      Kajeng Kliwon Enyitan yaitu Kajeng Kliwon yang jatuh setelah bulan mati atau tilem
3.      Kajeng Kliwon Pamelastali yaitu Kajeng Kliwon yaitu Kajeng Kliwon yang dilaksanakan setiap hari Minggu pada Wuku Watugunung, yang jatuh setiap enam bulan sekali.
Secara spesifik pada hari Kajeng Kliwon penguasa energi posotif dan negative melakukan sebuah pemurtian dan dari sana beliau juga akan menganugrahi manusia keselamatan, dan untuk menyeimbangkan hal tersebut maka kita harus melakukan Bhuta Yadnya yang terkecil yakni menghaturkan segehan.
Dalam melaksnakan korban suci Bhuta Yadnya dengan mempersembahkan segehan, secara umum segehan dibagi menjadi  beberapa macam yaitu:
1.      Segehan kepelan putih
Segehan kepelan putih dengan susunan sebagai berikut beralaskan dari daun atau taledan kecil persegi empat yang melambangkan empat arah mata angin yang berisi tangkih disalah satu ujungnya. Nasi putih dua kepal sebagai lambang rwa bhineda, jahe secara ilmiah memiliki rasa panas sebagi perlambang semangat manusia tetapi tidak boleh emosional, bawang memiliki sifat dingin agar manusia selalu berkepala dingin dalam berbuat sesuatu, garam memiliki sifat netral sehingan garam sarana untuk menetralisir berbagai energi negatif yang merugikan manusia. Diatasnya disusun canang geten dengan tetabuhan tuak, arak, berem dan air yang merupakan sejenis alcohol yang sangat efektif digunakan untuk membunuh bakteri, kuman, dan virus yang merugikan
2.      Segehan Kepelan Putih Kuning
Segehan kepelan putih kuning tidak jauh berbeda dengan segehan kepelan putih, hanya salah satu nasi kepelan yan diganti  dengan nasi kepelan kuning.
3.      Segehan kepelan warna lima
Segehan ini tata caranya sama dengan segehan kepelan putih hanya saja nasi kepelannya menjadi lima warna dengan susunan, warna putih ditimur, warna merah diselatan, warna kuning dibarat warna hitam di utara dan campuran dari keempat warna tersebut (brunbum) ada ditengah tengah
4.      Segehan cacahan
Segehan ini adalah segehan dengan nasi dibuat sedemikian rupa dengan lima tanding dengan ulam irisan bawang jahe dan garam areng. Segehan cacahan ada 2 jenis taledan, taledan dengan tujuh tangkih dan taledan dengan sebelas tangkih. Taledan dengan tujuh tangkih, lima tangkih untuk tempat nasi panca warna dengan posisi ditimur, selatan, barat, utara dan ditengah, satu tangkih untuk tempat lauk bawang, jahe dan garam, satu tangkih untuk tempat base tampel dan beras kemudian diatasnya disusun dengan canang genten. Taledan dengan sebelas tangkih, Sembilan tangkih tempat nasi dengan warna mengikuti arah mata angin, satu tangkih untuk tempat lauk bawang, jahe dan garam, satu tangkih untuk tempat base tampel dan beras kemudian diatasnya  disusun dengan canang genten
5.      Segehan agung
Segehan agung merupakan segehan tingkat yang paling akhir, dipergunakan pada saat upacara Bhuta Yadnya yang lebih besar. Adapun isi dari segehan agung adalah ngiru/ ngiu sebagai alas merupakan simbul alam semesta, ditengahnya ditempatkan daksina penggolan ( daksina yang kelapanya sudah dikupas tapi belum dihaluskan sehingga masih berserabut) sebagai simbul kekuasaan Ida Sang Hyang Widi Wasa, segehan sebanyak sebelas tanding dengan posisi canang menghadap keluar merupakan jumlah dari pengider ider (sembilan arah mata angin dan arah atas bawah) serta merupakan simbul jumlah lubang yang ada pada diri manusia, dua lubang mata, dua lubang telinga, dua lubang hidung, satu lubang mulut, satu lubang kemaluan, satu lubang dubur, satu lubang pusar, dan satu lubang cakra Siwa dwara, tetabuhan yang terdiri dari tuak, arak, berem dan air merupakan simbul zat cair arak putih perlambang Iswara, darah merah perlambang Brahman, tuak kuning perlambang Mahadewa, berem hitam perlambang Wisnu dan air netral perlambang Siwa, selanjutnya anak ayam yang masih kecil (ekornya belum tumbuh bulu panjang) merupakan simbul loba, keangkuhan, dan api takep  api yang dibuat dengan serabut kelapa yang membentuk tapak dara simbul dewa agni yang menetralisir pengaruh negative.
Dari kelima macam segehan diatas, empat segehan yang pertama digunakan setiap kliwon, kajeng kliwon dan pada saat upacara- upacara kecil, sedangkan segehan agung digunakan upacara- upacara yadnya yang besar.
Segehan untuk kliwon, kajeng kliwon, dan pada saat upacara- upacara  kecil  dihaturkan pada empat tempat yang berbeda yaitu:
1.      Halaman sanggah atau mrajan segehan panca  warna yang ditujukan kepada Sang Kala Buchari dengan mantra segehan “Ong Sang Kala Bhucari, kita rencang ancangan Hyang Pasupati, manusanta angaturaken sega manca warna, haywe ta anyangkala anyangkali sang adrwe yadnya, wehing manusanta kadirghayusan. Ong Siddhirastu swaha”
2.      Halaman rumah atau pekarangan tempat tinggal segehan Panca warna yang ditujukan kepada Sang Bhuta Bhucari dengan mantra segehan “Ong Sang Bhuta Bhucari, kita rencang ancangan Hyang Pasupati, manusanta angaturaken sega manca warna, haywe ta anyangkala anyangkali sang adrwe yadnya, wehing manusanta kadirghayusan. Ong Siddhirastu swaha”
3.      Pintu halaman rumah dihaturkan didepan pintu gerbang terluar pekarangan rumah segehan panca warna yang dihaturkan kepada Sang Durgha Bhucari dengan mantra segehan “Ong Sang Durga  Bhucari, kita rencang ancangan Hyang Pasupati, manusanta angaturaken sega manca warna, haywe ta anyangkala anyangkali sang adrwe yadnya, wehing manusanta kadirghayusan. Ong Siddhirastu swaha”
4.      Segehan kepelan dihaturkan pada tiap pelinggih (dibawahnya) sebagai berikut Pelinggih Kemulan dan Surya segehan kepelan putih kuning, Tugu Penunggun karang segehan kepelan putih hitam, sumur segehan kepelan warna hitam, dapur segehan kepelan merah, Taksu segehan kepelan merah putih, yang ditujukan kepada Sang Bhuta Kala Preta dengan mantra segehan “ Ong Sang Bhuta Kala Preta ya namah swaha, kita pinaka rencang ancangan pakulun bhetara, manusanta angaturaken………….(titik titik diisi dengan segehan yang dihaturkan sesuai dengan penlinggih)haywe ta anyangkala anyangkali sang adrwe yadnya, wehing manusanta kadirghayusan. Ong Siddhirastu swaha”









KESIMPULAN
Segehan merupakan suguhan yang dominasi oleh nasi yang bisa  berupa kepelan nasi putih, kepelan nasi putih kuning, kepelan nasi panca warna, dan cacahan yang beralaskan daun dan atau taledan persegi empat  yang dipersembahkan setiap kliwon, kajeng kliwon, dan upacara- upacara kecil lainnya pada tiap pelinggih (dibawahnya) yang ditujukan kepada Sang Bhuta Kala Preta, dihalaman Sanggah/ mrajan yang ditujukan kepasa Sang Kala Bhucari, dihalaman rumah yang ditujukan kepada Sang Bhuta Bhucari, dan dilebuhan rumah (depan pintu terluar pekarangan) yang ditujukan kepada Sang Durga Bhucari yang bertujuan untuk menetralisis atau mengharmonisasi kekuatan- kekuatan negativ menjadi kekuatan yang positif sehingga keseimbangan makrokosmos dan mikrokosmos tetap terjaga.


DAFTAR PUSTAKA
1.             Pasek Swastika, I Ketut 2011. Caru. Cv. Kayumas Agung
2.            https://inputbali.com.  Mengetahui Lebih Dalam Makna dari Segehan
3.            https://www.komangputra.com.  Makna, Arti dan Upacara Hari Kajeng Kliwon Dikramatkan di Bali
4.            https://dharmadana.id. Makna dan Jenis Segehan
5.           https://kb.alitmd.com. Mengenal Segehan dan Jenis-jenisnya-Kalender Bali


  





Tidak ada komentar:

Posting Komentar