Adat, Tradisi, Agama, Budaya Hindu Bali

Senin, 30 Maret 2020

TUGAS PACALANG PADA PELAKSANAAN HARI RAYA NYEPI


Oleh: Putu Widyanata


BAB I
PENDAHULUAN

TUGAS PACALANG PADA PELAKSANAAN HARI RAYA NYEPI


A.        LATAR BELAKANG

Di Bali yang mayoritas penduduknya beragama Hindu, suasana nyepi sangat terasa. Jalanan tampak kosong tanpa ada satupun kendaraan yang melintas. Bahkan kendaraan ambulans milik rumah sakit tidak diperbolehkan keluar tanpa pengawalan petugas keamanan desa adat (pacalang). Seperti yang terpantau pada setiap pelaksanaan Hari Raya Nyepi dari tahun ke tahun, seluruh aktivitas warga dihentikan. Hanya pacalang yang rutin melakukan patroli di wilayah desa adat masing- masing. Termasuk mengantar warga yang membutuhkan penanganan medis ke Rumah sakit. "Selama Nyepi seluruhnya menjadi tanggung jawab pacalang, dari urusan keamanan desa juga antar warga ke rumah sakit kalau diperlukan,". Sebagaimana SOP yang sudah berjalan. Ketika emergency melalui surat rekomendasi dari Bandesa/Keliang desa adat setempat serta sepengetahuan Keliang Banjar Dinas setempat nantinya akan meminta kepada pacalang untuk memberikan penanganan atas masalah yang dihadapi termasuk mengantar ke Rumah sakit jika diperlukan. "Pacalang punya kendaraan operasional di desa untuk antar ke Rumah sakit, kalau punya kendaraan pribadi juga bisa dipakai tapi harus dikawal pacalang. Pacalang juga diwajibkan mengetahui penyakit yang diderita warga yang diantar. Jika harus menginap, pacalang bisa langsung meninggalkan rumah sakit untuk melanjutkan tugas. Sebaliknya jika hanya penanganan biasa tanpa harus menginap, pacalang wajib menunggu untuk mengawal perjalanan pulang warga tersebut hingga pagi pukul 06.00 Wita. Setelah itu aktivitas akan kembali normal seperti sediakala ditandai suara kentongan/Kulkul desa adat setempat. "Sebelum jam 6 besok warga tidak boleh keluar atau jalan-jalan tanpa ijin pacalang.


B.        RUMUSAN MASALAH
Permasalahan yang diangkat dalam makalah ini yaitu :
1.         Masih lemahnya kesadaran masyarakat akan pelaksanaan Catur Brata Panyepian yang belum sepenuhnya dilaksanakan.
2.         Peran tugas yang dilaksanakan oleh pacalang selalu berbenturan atas keinginan krama yang terbiasa dialami sebagaimana hari-hari biasanya.


C.       TUJUAN
Adapun tujuan penulisan makalah ini adalah sebagai berikut :
1.         Mengulas sejarah, syarat, tugas, hak, dan kewajiban Pacalang.
2.         Menjelaskan bagaimana menyikapi berbagai permasalahan terkait masih lemahnya kesadaran masyarakat dalam pelaksanaan sebagaimana diatas.
3.         Menjelaskan kaitan diatas tupoksi/sasana pacalang saat melaksanakan swadharmanya sebagai penjaga keamanan dan bentuk pelayanan laiinya kepada krama desa adat.

D.       MANFAAT
Manfaat yang diharapkan dapat diperoleh dari penulisan makalah ini adalah sebagai berikut.
1.         Untuk aparat pemerintah, prajuru desa dan krama desa adat semoga makalah ini diharapkan bisa memberikan solusi terhadap kesadaran akan pelaksanaan hari raya Nyepi beserta Catur Brata Panyepian.
2.         Untuk Peneliti, dapat dijadikan referensi untuk penulisan karya ilmiah maupun penelitian tentang tugas fungsi pacalang pada pelaksanaan hari raya Nyepi.

3.         Untuk Penulis, tentunya dapat menambah wawasan tentang tugas Pacalang, Prajuru Desa Adat dan Krama Desa Adat pada saat pelaksanaan hari raya Nyepi.


BAB II
PEMBAHASAN

MAKNA CATUR BRATA PENYEPIAN BAGI UMAT HINDU

Perayaan Hari Raya Nyepi tentunya sangat ditunggu-tunggu oleh seluruh umat Hindu. Perayaan yang hanya digelar sekali dalam setahun itu mempunyai budaya tersendiri, dan tentunya sangat berbeda dengan perayaan-perayaan dengan agama lainnya.
Ada empat hal yang dilarang dilakukan selama perayaan Nyepi atau juga disebut dengan Catur Brata Penyepian. Catur Brata Penyepian meliputi yakni :
1)     Amati Geni (tiada berapi-api/tidak menggunakan dan atau menghidupkan api). Artinya umat Hindu tidak boleh mengumbar amarah, seperti emosi dan benci.
2)     Amati Karya (tidak bekerja). Segala aktivitas pekerjaan harus dihentikan oleh umat Hindu dan berfokus kepada Yang Pencipta. Kemudian,
3)     Amati Lelungan, artinya tidak boleh berpergian. Jadi, selama perayaan Nyepi, umat Hindu harus berdiam di rumah. Terakhir,
4)     Amati Lelanguan. Artinya tidak mengumbar hawa nafsu, tidak menikmati hiburan, tidak mengadakan hubungan biologis antar pasangan suami istri meskipun itu sah. Dengan fokus  membaca kitab suci dan berpuasa selama 24 jam tidak makan dan tidak minum. Dari jam 06.00 Wita pagi sampai dengan jam

06.00 Wita besok paginya, selanjutnya disebut Ngembak Geni namanya. Artinya kita melakukan darma santi kecil-kecilan dalam arti keluarga.

MENGENAL PACALANG, SOSOK KEAMANAN PENJAGA KHIDMAT
Pacalang pihak yang menjaga keamanan saat upacara keagamaan digelar di Bali. Beberapa hari sebelum Hari Raya Nyepi, masyarakat Bali melaksanakan ritual Melasti. Di antara banyaknya peserta yang datang, terlihat beberapa orang yang menenteng keris khas Bali dengan kostum khas sambil sesekali mengatur jalannya upacara. Mereka adalah polisi adat Bali atau yang disebut Pacalang.
Mengutip penjelasan dari Persatuan Hindu Dharma Indonesia (PHDI) Karangasem, kata Pacalang berasal dari kata 'calang', yang diambil dari kata 'celang', yang berarti waspada. Pacalang memiliki tugas untuk mengamankan dan menertibkan desa, baik dalam keseharian maupun dalam hubungannya dengan penyelenggaraan upacara adat atau keagamaan. Menurutnya wisatawan domestik dan mancanegara yang "bandel" saat Hari Raya Nyepi itu terkadang hal yang biasa. Hal itu dikarenakan belum adanya aturan yang memerintahkan untuk memberi sanksi bagi orang yang melanggar aturan Catur Brata Penyepian. Tapi kalau warga Bali yang melanggar, tentu ada sanksinya berupa teguran simpatik, jika melanggar sesuai aturan yang sudah diketahui sendiri bisa dianggap keblinger (keterlaluan). Duka Pacalang saat Hari Raya Nyepi Pacalang yang sering dianggap lebih galak daripada polisi di Bali. jika masih ada wisatawan yang keluyuran di jalanan saat Nyepi, kesalahan sebenarnya ada pada pengelola penginapan. Pasalnya, pihaknya sudah memberi surat edaran kepada pengelola penginapan terkait Catur Brata Penyepian. Minimal, wisatawan bisa berkegiatan di dalam komplek penginapan saja. Namun ada pengecualian bagi wisatawan yang memiliki anak kecil, wisatawan lansia, dan yang sedang sakit. Dispensasi itu terkait menyalakan lampu atau penerangan, meski cahayanya hanya boleh

remang-remang. Sebagai Pacalang, sudah pasti tak menjalani Catur Brata Penyepian bersama keluarganya di rumah. Harus dijalani dengan ikhlas mengenai kondisi tersebut. Tak berdiam diri di rumah bukan berarti bisa santai di jalanan. Justru harus tetap fokus karena banyak warga dan wisatawan di Bali yang masih nekat keluar rumah saat Nyepi, apalagi tidak semua desa adat warganya beragama Hindu saja, bisa dari umat lain, surat edaran terkait pelaksanaan dan aturannya seperti tidak mengunakan speaker (pengeras suara) pada saat mengumandangkan suara persembahyangannya. Khususnya wisatawan asing, dikatakannya paling sering "kucing-kucingan" dengan Pacalang. Bahkan mereka nekat datang ke upacara adat yang tertutup, hanya untuk sekadar mengambil foto atau video. wisatawan asing sekarang itu sudah kurang ajar. Mereka sering mengkadali aturan dan rambu-rambu yang sudah tertulis", terutama pada saat hari raya Nyepi.

Dalam Lontar Purwadigama disebutkan beberapa syarat seorang Pacalang yaitu :
a)        Pacalang harus Nawang kangin kauh. Artinya pacalang harus tau arah mata angin dan liku-liku wilayah tugasnya. Dengan menguasai betul wilayah tugasnya pacalang memiliki wawasan tentang cara-cara pengamanan terutama pencegahan terhadap adanya gangguan keamanan.
b)        Wanen lan wirang. Artinya, seorang pacalang harus mempunyai rasa keberanian karena benar dan bersikap membela yang benar secara adil. Berani membela desa adat tempat dia bertugas.
c)         Celang lan cala. Seorang pacalang harus memiliki kepekaan individual disamping kecerdasan berfikir. Pacalang harus dapat bertindak cepat atau gesit bila ada masalah yang butuh penanganan yang cepat. Pacalang harus bisa cepat namun

tidak tergesa-gesa, tetap berhati-hati.

d)        Rumaksa guru. Pacalang harus memiliki sifat-sifat seorang guru, dapat membimbing dan memberi contoh yang baik. Bila akan memberi ganjaran untuk orang lain, itu sesuai dengan asas keadilan.
e)        Satya Bhakti Ikang Widhi. Pacalang orang yang selalu melakukan kebaikan dan berbakti kepada Tuhan Yang Maha Esa.
f)          Krama Desa Adat. Yang boleh menjadi seorang pacalang adalah warga desa yang sudah berumah tangga, karena umumnya warga yang sudah berumah tangga memiliki kestabilan jiwa dan lebih berpengalaman. Hal ini diberlakukan untuk mencegah adanya pacalang yang emosional dan bertindak kasar.
HAK DAN KEWAJIBAN PACALANG

Kewajiban adalah sesuatu yang wajib dikerjakan, sedangkan hak adalah sesuatu yang wajar diterima setelah kita melakukan kewajiban tersebut namun kembali ke Desa Adat itu sendiri. Hak pacalang tidak disebutkan dalam lontar ataupun prasasti, namun berdasarkan pengamatan pacalang memiliki beberapa hak yakni sebagai berikut :
-             Pacalang berhak atas luputan ngayah, artinya pacalang tidak perlu lagi bergotong royong membersihkan sampah, membangun dan merenovasi fasilitas milik desa adat.
-             Pacalang berhak atas busana dan atribut yang menjadikan pacalang special, karena busana dan atributnya tidak murah.
-             Pacalang berhak atas pembagian uang hasil denda warga desa yang melanggar peraturan.

-             Pacalang berhak menggunakan fasilitas umum milik desa adat, sama seperti warga lainnya. Kewajiban pacalang cukup banyak diatur oleh Lontar Purwadigama, namun memiliki makna yang sama yakni untuk menjamin ketertiban dan keamanan warga desa adat.
KEWAJIBAN PACALANG ANTARA LAIN SEBAGAI BERIKUT :
-             Ngupadesa, artinya pacalang harus selalu dekat dengan desa dan warganya, jangan sampai seorang pacalang hidup berjauhan dengan desanya demi menjamin komunikasi yang lebih terjamin antara pacalang dengan warga desa.
-             Atitikrama, artinya pacalang hendaknya selalu memberikan petunjuk yang benar kepada warga desa tempatnya bertugas. Petunjuk yang dimaksud adalah berupa arahan dan juga berupa contoh keteladanan. Warga desa akan menghargai dan menghormati apabila pacalang tersebut telah berbuat dan memberikan contoh yang benar.
-             Jaga Baya Desa, artinya pacalang harus menjaga desa agar selalu berada dalam keadaan baik, salah satu caranya dengan melakukan ronda atau keliling desa (Widia&Widnyani, 2002 : 38- 40).
BUSANA PACALANG
Menurut Lontar Purwadigama, pacalang harus mengenakan beberapa elemen berikut.
-             Maudeng. Udeng disebut juga destar yakni penutup kepala yang wajib digunakan oleh pacalang dengan pengaturan bentuk khusus yang maksudnya untuk membedakan.
-             Mawastra akancut nyotot pertiwi. Menggunakan kain dengan bagian depan dijatuhkan menuju tanah. Hal ini sudah lumrah pada masyarakat Bali.

-             Mekampuh poleng. Selanjutnya kain dilapisi dengan kain hitam putih (poleng), untuk memberi kesan berwibawa dan mempunyai makna simbolis dari kekuatan dan kesaktian.
-             Anyungklit keris. Pacalang seharusnya membawa keris yang diselipkan di pinggangnya pada bagain depan.
-             Masumpang waribang. Di telinga seorang pacalang wajib diselipkan bunga pucuk arjuna.
Berdasarkan informasi di atas, dapat kita simpulkan bahwa hanya melalui busana yang dikenakan, pacalang memiliki karisma tersendiri. Sehingga sering kali dalam melakukan pengamanan pacalang tidak harus melakukan banyak aktivitas, karena hanya dengan melihat udeng, kain poleng dan keris yang dikenakan warga akan langsung mengetahui bahwa itu pacalang dan akan langsung menghargainya. Pola interaksi semacam ini, dapat digolongkan dalam interaksionalisme simbolik, yang hanya dengan simbol-simbol tetap dapat memiliki persepsi dan pemahaman yang diharapkan pada masyarakat.
PERAN PACALANG SEBAGAI SIMBOL KEKUATAN BUDAYA BALI.
Pacalang memiliki peran penting dalam fungsi menjaga keamanan desa, sehingga harus diatur dalam Perda No 3 Tahun 2001 yang telah diubah dengan Perda 3 Tahun 2003, tentang Desa Adat. Berangkat dari makna yang tersurat dalam Perda tersebut, dapatlah dipastikan bahwa pacalang adalah perangkat desa yang dibentuk dan diatur dengan Hukum Adat. Dapat diketahui bahwa Hukum Adat yang berlaku di Desa Adat di Bali adalah bersumber dari Hukum Agama Hindu, karena itu pacalang dalam berfikir, berkata dan bertindak tentulah tidak boleh bertentangan dengan Hukum Adat yang mengaturnya (Hukum Agama Hindu) dan juga Hukum Nasional yang mampu memberi kenyamanan, keamanan dan keadilan masyarakat.
Perubahan sosial memungkinkan terjadinya peningkatan mobilitas penduduk, intensitas interaksi sesama manusia dan perekonomian, yang

secara umum berpengaruh pada keteraturan kehidupan masyarakat desa adat di Bali. Lebih dalam, perubahan sosial juga berpengaruh pada peningkatan intensitas dan ragam kegiatan sosial yang berimplikasi pada perubahan tugas dan fungsi pacalang yang ada di desa adat.Perubahan yang terjadi pada tugas dan fungsi pacalang menimbulkan polemik di masyarakat sehingga dipertanyakan eksistensi pacalang.
Tugas Pacalang sebagai penjaga rasa aman masyarakat Bali untuk melakukan ritual, memberikan kesan bahwa pacalang adalah yang unik dan tradisional. Sosok pacalang ini menjadi baru sekaligus klasik. Dengan mendasarkan dirinya pada akar tradisi masyarakat Bali, pacalang hadir sejalan dengan usaha membangkitkan kembalinya pariwisata di Bali. Satgas Pacalang muncul dimana-mana, lebih-lebih paska diatur dalam peraturan daerah yang memberikan dasar hukum bagi pembentukannya. Secara perlahan, tapi pasti, pacalang mulai ambil bagian dalam kehidupan di Bali. Kondisi sosial budaya Bali semakin memprihatinkan, menjadi bagian yang termarjinalkan dari pembangunan ekonomi dan industri yang terus menerus berkembang. Berbagai ancaman seperti ancaman terorisme, narkotika, dan pola hidup westernisasi yang tidak selalu berdampak positif sangat mengkhawatirkan. Tidak banyak yang bisa dilakukan oleh masyarakat tanpa adanya wadah ataupun bantuan dari pihak yang lebih berwenang. Berdasarkan Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 3 Tahun 2001 tentang Desa Adat yang telah diubah menjadi Perda
3 Tahun 2003, yang selanjutnya diganti menjadi Perda 4 Tahun 2019 Tentang Desa Adat di Bali diatur pada BAB VII Lembaga Adat, Bagian Kesatu Umum pasal 43 Nomor 2 huruf d.

KEHORMATAN DAN KEIKHLASAN
Menjadi Pacalang adalah murni tugas sosial. Tidak bisa menolak mandat yang diberikan oleh prajuru dan krama desa. Menjadi Pacalang adalah sebuah kehormatan. Terkait faktor ekonomi, Pacalang tidak mendapat gaji apalagi fasilitas seperti asuransi kesehatan. Padahal

Pacalang secara tidak langsung dituntut untuk selalu fit dalam menjalankan tugasnya. Lagi-lagi ikhlas menjadi jawaban. "Banyak anggota Pacalang yang harus mengatur jadwal kerjanya masing-masing, bahkan sampai dimarahi atasannya karena ia harus menjalankan tugas menjadi Pacalang", masih jarang Pemerintah Daerah yang peduli dalam memberikan fasilitas berupa kendaraan operasional untuk Pacalang, semoga ke depannya ada perhatian dari para pemimpin daerah dan pusat yang memperhatikan kondisi Pacalang. Pacalang sebenarnya tidak lebih ditakuti daripada polisi tapi mungkin lebih disegani, khususnya oleh para wisatawan mancanegara, karena kostumnya yang tradisional. Berbeda dengan polisi atau tentara yang seragamnya hampir sama di semua negara. "Banyak turis asing yang bertanya tentang apa itu Pacalang, tugasnya apa saja, mereka tahu bahwa kami tidak digaji, dipilih oleh warga, menjaga kesakralan ritual agama, dan sebagainya, maka mereka semakin segan.





A.        KESIMPULAN

BAB III
PENUTUP

Pacalang merupakan kelompok keamanan tradisional Bali yang bertugas menjaga keamanan dan ketertiban desa adat tempat pacalang tersebut bertugas. Berbagai ancaman terhadap kebudayaan Bali seperti kejahatan narkotika, terorisme, korupsi, semakin menghilangnya budaya Bali akibat modernisme sangat mengkhawatirkan. Kondisi tersebut yang membuat masyarakat membutuhkan kelompok keamanan tradisional yang mampu menjadi simbol sekaligus benteng untuk menunjukkan kekuatan dari kebudayaan Bali. Berdasarkan tugas, fungsi dan kewajibannya pacalang telah dibentuk untuk menjadi pionir masyarakat dalam mempertahankan keberadaan budaya Bali. Pacalang dari masa ke masa telah beralih fungsi tidak hanya untuk menjaga kelancaran

upacara adat, namun juga menjaga acara dan aktivitas politik karena, pacalang masih disegani oleh masyarakat. Kesan wibawa pacalang yang diikuti dengan busana yang mendukung membuat pacalang memiliki kekuatan tersendiri untuk menjaga kestabilan masyarakat dalam desa adat di Bali.
Dewasa ini, penanganan masalah keamanan bagi masyarakat Bali menjadi prioritas utama, karena jumlah penduduknya semakin bertambah, semakin heterogen dan hidupnya semakin kompleks, yang nantinya dapat mengganggu ketenteraman dan ketertiban masyarakat yang memungkinkan terjadinya kerawanan sosial. Dengan mempedomani dan berpegang teguh pada sumber-sumber kepatutan yang berlaku di Desa Adatnya, (mulai dari awig-awig Desa Adat dan seterusnya), seorang pacalang harus apacalan, menyalahkan yang bersalah, dan menegur atau mencela yang patut dicela, baik bagi setiap krama desa adatnya sendiri, maupun krama Desa Adatnya yang berprilaku, beraktivitas, (masalah maprewerti).
B.        SARAN-SARAN
Sebagai penulis dalam artikel ini, mencoba berharap agar pacalang mendapat perhatian dari Pemerintah khususnya pihak-pihak terkait yang tentunya juga berkewajiban atas ajegnya Budaya Bali serta piranti didalamnya, kepada krama desa dan para wisatawan yang pada saat-saat tertentu agar selalu mematuhi aturan yang berlaku dimasing-masing desa adat, begitu pula pacalang tidak berubah fungsi menjadi penjaga portal, tukang parkir dan yang patut dihindari adalah untuk tidak arogan.





















DAFTAR PUSTAKA


Majelis Utama Desa Pakraman (MDP) Bali

Drs. I Wayan Astika, M.Si (Ketua PHDI Karangasem) Agung Rahmadsyah, CNN Indonesia
Dodo (Batam News)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar