Adat, Tradisi, Agama, Budaya Hindu Bali

Senin, 30 Maret 2020

UPACARA MAGEDONG-GEDONGAN (GARBHA WEDANA)


Oleh        :   I GUSTI NYOMAN RAI WIDIASIH

UPACARA MAGEDONG-GEDONGAN (GARBHA WEDANA)




I.          PENDAHULUAN

Kebudayaan Bali merupakan satu sosok kebudayaan yang unik dengan jati diri yang khas. Jati diri tersebut merupakan rajutan fisik, symbol, kelembagaan dan gaya yang bersifat lokal, terpadu dengan sistem kepercayaan, sistem filosofis yang menekankan sifat ekonomis yang dijiwai Agama Hindu. Masyarakat Bali masa kini sebagai refleksi masyarakat transformatif yang bergerak semakin heterogen dengan dua  kebudayaan yaitu, Kebudayaan Tradisional dan Kebudayaan Modern. Disisi lain, Kebudayaan Bali mencakup unsur-unsur yang sangat banyak beragam, salah satu diantaranya adalah unsur upacara.
Manusia yang terlahir kedunia memiliki empat macam tahap kehidupan yang dikenal dengan istilah Catur Asrama, yang bagian-bagiannya terdiri dari Brahmacari, Grihasta, Wanaprasta, dan Sanyasin Asrama. Setiap Asrama memiliki tujuannya masing-masing. Setiap pemeluk Hindu harusnya menjalankan masing-masing tahapan dalam kehidupan agar kehidupan berjalan berimbang yaitu dengan mengawali sebagai seorang brahmacari dengan menuntut ilmu sebanyak-banyaknya, lalu memasuki masa grihasta yaitu berumah tangga, dan bermasyarakat, selanjutnya mencoba untuk terlepas dari sifat-sifat keduniawian yaitu wanaprasta dan benar-benar terlepas dari dunia keduniawian yaitu sanyasin.
Agama Hindu adalah agama yang telah menciptakan kebudayaan yang sangat kompleks di bidang astronomi, ilmu pengetahuan, filsafat dan lain-lain sehingga timbul bermacam-macam pemahaman oleh para ahli yang juga berpengaruh terhadap candi-candi. Di Indonesia agama Hindu mempunyai

bentuk candi tersendiri yang di pengaruhi oleh tradisi suku Jawa sehingga berlainan dengan candi-candi yang terdapat di India. (Abu, 1991, p. 122)
Salah satu harapan suami istri setelah Pawiwahan adalah mempunyai keturunan atau anak yang diharapkan menjadi anak yang Suputra. Untuk mendapatkan anak yang Suputra banyak hal yang harus dilakukan. Pertemuan suami istri dalam menciptakan putra yang Suputra tidak boleh sembarangan. Proses pertemuan suami istri tidak dapat dilakukan hanya karena dorongan hawa nafsu sex semata, tetapi harus dilakukan berdasarkan kesadaran rokhani yang mantap. (Maswinara, p. 242)
Seorang anak yang baru lahir, menunjukan tanda-tanda kegembiraan, ketakutan, dan kesedihan, di mana dalam hal ini tak dapat dijelaskan secara material, kecuali kita hanya menduga bahwa anak tersebut merasakan hal-hal tertentu yang berhubungan dengan ingatannya dalam kehidupan masa lalunya, yang membuktikan bahwa ada kelahiran sebelumnya yang juga pernah dialami oleh Sang Roh. Naluri anak yang demikian lahir mencari putting susu ibunya membuktikan bahwa Roh si anak walaupun telah menanggalkan badan kasar sebelumnya dan mengenakan badan kasar yang baru, masih mengingat pengalaman-pengalaman dari badan-badan sebelumnya. (Maswinara, Proses Terbentuknya Bayi Di Dalam Kandungan, 1998)

II.       PEMBAHASAN


1.      Upacara Bayi Dalam Kandungan
Upacara Magedong-gedongan adalah Upacara Kehamilan. Menurut Kanda Pat Rare mengatakan dalam proses kehamilan karena “Kama Jaya” (Sperma dari Ayah) bertemu dengan “Kama Ratih” (Ovum dari Ibu) terjadilah pembuahan. Semakin besar terwujudlah Jabang Bayi. Upacara Megedong-gedongan adalah upacara yang ditujukan kepada Bayi yang masih berada di dalam Kandungan dan merupakan Upacara pertama dilaksanakan pada saat Bayi berumur 5 bulan Bali (kurang lebih 6 Bulan kalender), karena wujud Bayi sudah dianggap sempurna. Pada

waktu hamil telah menginjak umur 6 bulan saka maka para Dewata telah lengkap menganugrahi organ tubuh manusia (lontar Angastyaprana), maka calon ayah dan calon ibu sudah menyiapkan diri untuk melakukan upacara Magedong-gedongan.
Pelaksanaan Upacara Magedong-gedongan berfungsi sebagai penyucian terhadap Bayi. Disisi lain juga berarti agar kedudukan Bayi dalam Kandungan agar baik kuat tidak abortus. Secara bathiniah agar Sang Bayi kuat mulai setelah lahir menjadi orang yang berbudi luhur, berguna bagi Keluarga dan Masyarakat demikian juga dimohonkan keselamatan atas diri si ibu agar sehat, selamat waktu melahirkan.

2.      Pentingnya Upacara Magedong-gedongan

Upacara Magedong-gedongan adalah salah satu bentuk pelaksanaan upacara manusa yadnya. Upacara ini dilakukan ketika bayi masih dalam kandungan si ibu. (I. B. Putu Sudarsana, 2001)
Magedong-gedongan berasal dari kata “gedong” yang berarti gua garba. Gua artinya pintu yang dalam atau pintu yang ada di dalam, garba artinya perut. Jadi, gua garba artinya pintu yang dalam, berada pada perut si ibu. Dalam hal ini yang dimaksud kehdupan pertama itu adalah  si Bayi. Untuk keselamatan bayi dalam perut ibu inilah dilakukan upacara megedong-gedongan.
Upacara magedong-gedongan ini mempunyai makna bersyukur dan berterima kasih kehadapan Tuhan atas segala anugrahnya. Dan mendoakan janin yang lahir nanti selamat dan sempurna, juga merupakan salah satu unsur pendidikan prenatal kepada janin yang masih di dalam kandungan dengannn upacara ini secara rohani dia nantinya lahir menjadi anak yang taat beragama.
Kenapa dinamakan upacara magedong-gedongan? Mungkin hal ini terkait dengan salah satu perangkat yang digunakan dalam pelaksanaan upacara tersebut yaitu terdapat sebuah gedong atau bangunan gedong yang dibuat dari daun janur, dan didalamnya diisi sebuah bungkak kelapa

gading yang dirajah (digambar) seorang bayi. Gedong yang digunakan tersebut merupakan symbol kandungan, sedangkan bungkak kelapanya adalah symbol si bayi yang berada dalam kandungan. Disamping itu, tujuan upacara ini adalah agar anak yang akan lahir kelak menjadi orang yang berguna di masyarakat dan dapat memenuhi harapan orang tuanya.
Ada beberapa masalah yang harus diluruskan tentang pelaksanaan upacara magedong-gedongan yaitu ada anggapan bahwa upacara magedong-gedongan hanya dilakukan oleh wangsa tertentu, anggapan seperti ini tidak benar sebab upacara magedong-gedongan adalah upacara manusa yadnya yang pertama dan dilakukan terhadap ibu yang hamilnya sudah berumur. Dan satu lagi ada anggapan bahwa upacara ini hanya dilakukan pada saat hamil pertama, hamil selanjutnya pun harus dilakukan upacara magedong-gedongan ini.

3.      Upacara Magedong-gedongan sebagai Upaya Pendidikan anak dalam Kandungan

Dalam ajaran agama Hindu upacara magedong-gedongan diyakini sebagai salah satu bentuk pendidikan anak dalam kandungan. Hal ini karena, upacara megedong-gedongan dapat memberikan efek  yang positif bagi ibu dan anak yang sedang dikandungnya. Si ibu yang melaksanakan upacara magedong-gedongan merasa terlindungi, sedangkan anak yang ada di dalam kandungan mengalami perasaan nyaman yang dirasakan oleh ibunya.
Upacara Megedong-gedongan adalah upacara yang terutama ditujukan untuk bayi yang ada di dalam kandungan dan merupakan upacara pertama yang dialami oleh si bayi sejak terciptanya sebagai manusia jasmani bayi dianggap sempurna wujudnya ketika kandungan sudah berumur lebih dari 5 bulan (perhitungan Bali) atau 6 bulan kalender. Oleh karenanya upacara tersebut dilaksanakan setelah masa ini dan sedapat mungkin sebelum si bayi lahir. (Swarsi, 2004)

Dalam buku yang berjudul Lectures On Religion Of the Semites (1989) Robertson Smith mengemukakan tiga gagasan mengenai soal bahwa di samping sistem keyakinan dan doktrin, sistem upacara juga merupakan suatu perwujudan dari religi atau agama yang memerlukan studi dan analisa yang khusus. Hal yang menarik perhatian Robertson Smith adalah bahwa dalam banyak agama upacaranya itu tetap, walaupun latar belakang, keyakinan, maksud atau doktrinnya berubah.
Anak yang sejak dalam kandungan mendengarkan kidung-kidung suci dan mendapatkan percikan air suci, serta diupacarai megedong- gedongan niscaya akan menjadi anak yang Suputra, hal ini sesuai dengan teori adaptasi yaitu, Adaptasi adalah suatu penyesuaian pribadi terhadap lingkungan, penyesuaian berarti mengubah diri pribadi sesuai dengan keadaan lingkungan, juga dapat berarti mengubah lingkungan sesuai dengan keadaan keinginan pribadi. Maksudnya, anak yang berada dalam kandungan beradaptasi dengan kondisi atau perasaan sang Ibu yang merasakan ketenangan dengan melaksanakan upacara megedong- gedongan.

4.      Tatanan Upacara dan Upakaranya

Upacara megedong-gedongan ini dilaksanakan dengan maksud pembersihan, pemeliharaan atas keselamatan si ibu dan anaknya disertai pula dengan pengharapan agar anak yang lahir kelak menjadi orang berguna dimasyarakatdan dapat memenuhi harapan orang tuanya.
Menurut Lontar Kuna Dresthi, Upacara ini dilakukan setelah kehamilan berumur diatas lima bulan Bali (enam bulan kalender). Kehamilan yang berumur di bawah lima bulan dianggap jasmani si bayi belum sempurna dan tidak boleh diberi upacara sebelum usia tersebut, maka upacara itu dianggap tidak benar karena janin belum lengkap yang dapat dikatakan sebagai manusia. Tujuan pokok upacara tersebut adalah agar ibu dan bayi yang dikandung dalam keadaan bersih, terpelihara dan memperoleh keselamatan, serta sebagai ungkapan terima kasih karena janin teah dapat tumbuh sempurna dan melampaui masa krisis.

Adapun upacara pagedong – gedongan itu pada pokoknya terdiri atas:
-          Byakala
-          Peras
-          Daksina
-          Ajuman
-          Prayascita
-          Pagedong-gedongan (Gedong)
-          Sayut Pengambean
-          Sesayut Pemahayu tuwuh

Pagedong-gedongan (gedong) adalah sejenis sesajen yang berbentuk gedong (rumah-rumahan), yang didalamnya dimasukkan beberapa perlengkapan, seperti : beras, sebutir telur ayam, klungah nyuh gading, segulung benang, uang kepeng 225 butir, dilengkapi dengan beberapa jenis banten lainnya, seperti: canang tubungan, dan beberapa jenis rempah-rempah.
Banten pagedong – gedongan ini merupakan simbolik dari perut ibu yang menggambarkan si bayi beserta saudara-saudaranya (Sang Catur Sanak). Tujuan banten ini adalah mengandung arti simbolik agar kandungan si ibu menjadi selamat, dan pemeliharaan keselamatan si bayi agar kuat nidasi, serta selamat ada dalam kandungan, dapat berproses dengan sempurna sampai pada saat kelahirannya nanti. Dan terakhir adalah upacara Ngelukat Bobotan. Upacara ini agak jarang dilakukan masyarakat.
Kata Ngelukat Bobotan itu mengandung pengertian, peleburan segala dosa dan kotoran (Ngelukat) dari kandungan (bobotan) seorang ibu. Jadi upacara ngelukat bobotan ini adalah suatu upacara yang bertujuan melenyapkan atau melebur segala noda kotoran (leteh) suatu kandungan dengan sarana bebantenan, sesajen. Adapun sesajen (banten) yang digunakan dalam upacara ngelukat bobotan ini, antara lain yang

terpenting adalah : Air (tirta) penglukatan, Canang, Peras, Daksina, Lis, Isuh-isuh, serta Banten Penglukatan di paon (dapur), biasanya berupa peras pengambean. Di haturkan kehadapan Bhatara Brahma, agar beliau berkenan untuk melebur kotoran, leteh pada ibu hamil.
Mantra yang biasa digunakan oleh para pendeta untuk memuja Tirtha penglukatan tersebut :
“Om Sang Hyang Ayu munggah pritiwi, pritiwi melomba-lomba, angebekin bwana, Om penglukatan dacamala, kalukat metu sira anadi dewa, kalukat metu anadi bhujangga, kalukat metu sira anadi jadma manusa, kalukat mameneng kapanggih sukha sugih, saisining rat bwana kabeh, sapangangoning bumi,kelod kauh yeh minagakensudha dewa, sudamanusa, Om sa ba ta a i na ma si wa ya”
Dari makna mantra tersebut diatas dapat disimpulkan bahwa, tujuannya adalah memohon keselamatan dan kesucian agar ibu beserta bayinya menjadi selamat, dan bersih lahir batin. Ucapan mantra itu mengandung pengertian dan pengharapan agar ibu dan bayi dikandungnya mempunyai sifat-sifat Dewa ( kebaikan), Bhujangga (orang yang memiliki ilmu pengetahuan, sastra dan ilmu agama), dan juga memiliki sifat-sifat kemanusiaan. Disamping juga bertujuan agar hidupnya nanti memperoleh kesenangan, kekayaan dengan berbagai isi dunia dan lain-lainnya.
Upacara Ngelukat Bobotan ini biasanya dilakukan bila suatu kehamilan itu mengenai wuku wayang, khususnya Tumpek Wayang. Karena hari yang berwuku wayang di anggap sebagai hari yang jelek, kotor, leteh. Dan merupakan hari (wuku)nya Bhuta Kala, yang mempunyai pengaruh-pengaruh negative terhadap kehidupan manusia di dunia.

Dalam beberapa tingkatan upakaranya, sebagaimana juga disebutkan dalam siwagama, Pagedong - gedongan ini terdiri dari beberapa tingkatan upakara yaitu :
·         Bila Upakaranya yang kecil terdiri dari byakala dan prayascita (untuk pembersihan), serta sesayut pengambean, peras, penyeneng, dan sesayut pemahayutuwuh (untuk tataban).
·         Tingkatan upakara pagedong-gedongan yang lebih besar terdiri dari byakala, prayascita dan panglukatan untuk pabersihan sedangkan untuk tataban sama untuk tingkatan kecil dilengkapi banten pagedongan manah. Jika upakaranya dilaksanakan pada hari-hari tertentu seperti pada hari sabtu keliwon wuku Wayang (Tumpek Wayang), maka selain memohon penglukatan pada hari tersebut, juga dimohonkan penglukatan di sungai yang besar atau pancoran dengan pembuangan air yang deras dengan susunan acara sebagai berikut:
1.  Ibu hamil diantar kesuangai atau pancoran bertongkat bungbung (seruas bambu yang telah dibuang ruasnya), diikat dengan benang satu “tukel” ujung benang dipegang oleh suami. Ada juga yang membuat permandian sementara dirumah dan perjalanannya diwujudkan dengan mengelilingi tempat tersebut.
2.  Sesampainya di permandian, terlebih dahulu menghaturkan banten persaksian / atur uning disertai menghaturkan pengresikan diteruskan kepada si Ibu hamil.
3.  Selanjutnya Si Ibu hamil disuruh mandi, mencuci rambut dan selama mandi tetap menggunakan pakaian.
4.  Setelah selesai mandi lalu berganti pakaian dilanjutkan dengan bersembahyang diakhiri dengan penglukatan.
5.  Priyuk untuk memohon penglukatan dengan perlengkapa (bunga dll) yang ada di dalamnya. Ada juga yang menggunakan sangku sudamala.
6.  Setelah selesai melukat dipermandian, lalu kembali kerumah (bertongkat bungbung) untuk mebyakala dan meprayascita

dihalaman rumah atau dihalaman merajan / sanggah sesuai kebiasaan, dilanjutkan bersembahyang di merajan sesuai dengan petunjuk pimpinan upacara. Menurut lontar kuno Drsti hanya si suami yang bersembahyang sedangkan si istri / si Ibu hamil duduk disebelahnya.
7.  Setelah itu mejaya-jaya, serta ngayab/natab banten pegedongan dan tataban. Upacara ini dilaksanakan dikamar tidur ibu hamil  dan banten pagedongan dibiarkan sampai lewat tiga hari, sedangkan banten lainnya boleh diambil/dilungsur pada hari itu. Khusus untuk bangunan pagedongan dengan klungah nyuh gading, segulung benang, uang kepeng 225 butir, dilengkapi dengan beberapa jenis banten lainnya, seperti canang tubungan dan beberapa jenis rempah-rempah dibiarkan di kamar si Ibu hamil hingga melahirkan, dan saat “nyakit” bukaan akan melahirkan, untuk mempercepat proses melahirkan, klungah nyuh gading tersebut di kasturi, diminum airnya, bila isinya habis, diisi kembali dengan tirta, kemudian tirtha tersebut diminumkan kepada si ibu.
Mamtram yang digunakan untuk upacara pagedong-gedongan ini adalah: (http://www.babadbali.com/canangsari/banten/magedong2an.htm)
Om Sang Hyang Paduka Ibu Pertiwi Bhetari Gayatri, Bhetari Sawitri, Bhetari Suparni, Bhetari wastu, Bhetari Kedep, Bhetari Angukuni, Bhetari Kundang Kasih, Bhetari Kamajaya-Kamaratih, Samudaya, iki tadah saji aturan manusanira si    (sebutkan nama yang  di upacarai) ajakan sarongwangan ira amangan anginum, menawi ana kirangan kaluputan ipun den agung ampuranen manusaniro, mangke ulun aminta nugraha ring sira den samua aja sira angedonging, angancingin muwang anyangkalen, uwakakena selacakdana uwakakena den alon sepunganenuta anak-anakan denipun den apekik dirghayusa yowana weta urip tan ana saminiksan ipun. Om Siddhirastu Swaha.

Artinya :

Om Sang Hyang Widhi dalam manifestasi Bhatari Gayatri, Bhatari Sawitri, Bhatari Suparni, Bhatari Wastu, Bhatari Kedep, Bhatari Angkuni, Bhatari Kundang Kasih, Bhatari Kamajaya Kamaratih, seperti Yang Mulia Hyang Widhidara – Widhidari, Hyang Kuranta – Kuranti, kesemuanya silahkan menikmati  persembahan  hambamu  si  (nama yang di upacarai), sertakan semuanya menikmati makanan – minuman, seandainya ada yang kurang karena kelupaan olehnya, mohon dimaafkan hambamu, hamba mohon waranugraha Hyang Widhi semoga tidak mendapatkan halangan, bukakanlah pintu keselamatan, panjang umur dan kebahagiaan, semoga permohonan hamba terpenuhi.


III.    KESIMPULAN

Upacara di Bali yang masih termasuk upacara tradisional, merupakan suatu mata rantai yang tidak dapat dipisahkan dengan tattwa/filsafat, yaitu merupaka tujuan dan pada ajaran agama Hindu, serta susila; yaitu aturan – aturan yang patut dilaksanakan untuk mencapai tujuan.
Upacara Megedong – gedongan adalah Upacara yang ditujukan kepada Bayi yamg masih berada di dalam kandungan dan merupakan upacara pertama yang dilaksanakan pada saat Bayi berumur 5 bulan Bali (± 6 Bulan kalender), karena wujud Bayi sudah dianggap sempurna.Pelaksanaan Upacara Magedong-gedongan berfungsi sebagai penyucian terhadap Bayi.
Tujuan Pokok Upacara tersebut adalah agar Ibu dan bayi yang dikandung dalam keadaan bersih, terpelihara, dan memperoleh keselamata, serta sebagai ungkapan terima kasih karena janin telah dapat tumbuh sempurna dan melampaui masa krisis. Disamping itu, tujuan utama upacara iniadalah agar anak yang akan lahir kelak menjadi orang yang berguna di masyarakat dan dapat memenuhi harapan orang tuanya.





DAFTAR PUSTAKA






Abu, A. (1991). Perbandingan Agama. Jakarta: Rineka Cipta. http://www.babadbali.com/canangsari/banten/magedong2an.htm.
I. B. Putu Sudarsana, M. (2001). Ajaran Agama Hindu (Uparengga). Bali: Yayasan Dharma Acarya.
Maswinara, I. W.

Maswinara, I. W. (1998). Proses Terbentuknya Bayi Di Dalam Kandungan. Surabaya: Paramita.

Swarsi, S. G. (2004). Upacara Daur Hidup (Bayi Dalam Kandungan s/d Satu Bulan Tujuh Hari). Surabaya: Paramitha.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar