Adat, Tradisi, Agama, Budaya Hindu Bali

Selasa, 31 Maret 2020

UPACARA-UPAKARA


STKIP AGAMA HINDU AMLAPURA
Tahun 2020
  



OLEH:
NAMA      : I NYOMAN TRIYADI DHARMA SEDANA
NPM          : 19.1.071


  
KATA PENGANTAR


Segala puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Karena berkat anugerah dan rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan makalah yang berjudul : “Upacara-Upakara”, tepat pada waktunya.Makalah ini merupakan salah satu tugas  mata kuliah Agama-Agama pada STKIP Agama Hindu Amlapura.Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna, sehingga penulis mengharapkan adanya kritik dan saran yang menunjang kesempurnaan makalah ini.Selesainya makalah ini tidak terlepas dari bantuan teman-teman yang penulis dapatkan. Untuk itu, penulis menyampaikan rasa terima kasih kepada berbagai pihak yang ikut membantu penyelesaian makalah ini.




Amlapura,31 Maret  2020




Penulis.









BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
            Pengalaman umat Hindu di Bali terhadap ajaran Agamanya, dengan jelas dapat disaksikan melalui pelaksanaan suatu upacara. Upacara-upacara keagamaan di Bali yang tercakup dalam Panca yadnya, banyak sekali mempergunakan sarana berupa upakara atau banten. Banten itu bahannya memakai beberapa tanaman.
Pemilihan bahan upacara yang terdiri tanaman, binatang, logam atau bahan lainnya, selalu dipilih dari bahan yang mudah diperoleh, praktis dan efisien sesuai dengan makna yang terkandung dalam dalam bahan tersebut yang akan dipergunakan dalam satu upacara. Beberapa tanaman yang sering dimanfaatkan dalam upacara panca yadnya di Bali adalah sebagai berikut:  
1.      Daun terutama merupakan lambang utpatti (srsti atau tumbuh) dari Bhatar atau Dewa Brahma. Dapat pula daun ini berfungsi sebagai lambang Sthiti (kehidupan) dari Bhatara atau Dewa Wisnu, bila ditinjau dari warna daunnya, daun dapat pula berfungsi sebagai lambang pralina atau udara dari Bhatara atau Dewa Iswara kalau dikaitkan dengan baunya yang harum. 
2.      Daun adalah sebagai lamban sthiti, simbol hidup dan berkembang dari Bhatara/ Dewa Wisnu. Tetapi karena bunga itu warna warni maka sudah wajar bila warna bunga ini dipergunakan pula sebagai simbol kemahakuasaan para Bhatara atau Dewa, bukan hanya untuk Bhatara/Dewa Wisnu saja. Bunga yang berwarna merah dipergunakan sebagai lambang kemahakuasaan Bhatara/Dewa Brahma. Bunga yang berwarna biru atau hijau dipergunakan sebagai simbol kemahakuasaan Bhatara/Dewa Wisnu. Bunga yang berwarna putih sebagai lambang kemahakuasaan Bhatara/Dewa Iswara. Bunga yang berwarna kuning dipergunakan sebagai simbol kemahakuasaan Bhatara/Dewa Mahadewa. Disamping itu bau harum dari bunga merupakan faktor utama dalam pemilihan bunga. Selain dilihat dari keindahan warna, bau bunga dapat dipergunakan untuk melambangkan unsur udara sebagai simbol kemahakuasaan Bhatara/Dewa Iswara.

            Keunikannya bila dikaji secara mendalam mempunyai makna simbolis dan filosofis. Upakara seperti Banten Pejatimisalnya; kelihatannya sangat sering dipergunakan, baik sebagai awal, puncak, maupun akhir dari pelaksanaan suatu upacara. Banten Pejati merupakan sekelompok banten, yang masing-masing mempunyai makna dan maksud tertentu, apalagi setelah digabung atau dikelompokkan menjadi satu. Banten dipergunakan sebagai sarana untuk menyampaikan rasa sujud bhakti dan juga untuk memohon keselamatan kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa/manivestasi-Nya yang dihadirkan.

1.2 Rumusan Masalah
            Berdasarkan    latar     belakang          diatas, maka    dapat   dirumuskan
permasalahannya sebagai berikut:
1.      Apa itu upacara/upakara?
2.      Apa fungsi upakara?

1.3 Tujuan
Tujuan dari pembuatan makalah ini adalah
1.      Mengetahui apa yang dimaksud dengan Upacara/Upakara.
2.      Mengetahui fungsi dari Upakara.

1.4 Manfaat 

Adapun manfaat dari pembuatan makalah ini adalah untuk memberikan pengetahuan dan informasi kepada masyarakat mengenai apa yang dimaksud dengan Upacara/Upakara, serta bagaimana fungsi sehingga nantinya dapat di mengerti dan dipahami oleh masyarakat.

  



BAB II
PEMBAHASAN.


            Upacara yang berarti dari kata sansekerta, Upa dan Cara , Upa berarti Sekeliling atau menunjuk semuanya dan Cara artinya Gerak atau Aktifitas. Sehingga Upacara DAPAT diartikan Dan dimaknai Gerakan Sekeliling Kehidupan Manusia hearts Upaya Menghun = bungkan Diri DENGAN Hyang Widhi Wasa / Tuhan Yang Maha Esa. Aktifitas ini dilakukan berlandaskan Kitab Suci Weda dan Satra Agama Hindu.
            Upakara sering dikenal dengan sebutan banten, upakara berasal dari kata “Upa” dan “Kara”, yaitu Upa berarti berhubungan dengan, sedangkan,
Kara berarti perbuatan/pekerjaan (tangan).
            Upakara merupakan bentuk pelayanan yang diwujudkan dari hasil kegiatan kerja berupa materi yang dipersembahkan atau dikurbankan dalam suatu upacara keagamaan. Dalam kehidupan agama Hindu di Bali, setiap pelaksanaan upacara keagamaan selalu mempergunakan upakara atau banten sebagai sarana untuk berhubungan/mendekatkan diri dengan pujaannya yaitu Ida Sang Hyang Widhi Wasa/manifestasi-Nya yang akan dihadirkan
            Sarana Upacara adalah Upakara. Di Bali Upakara di Populerkan dengan Istilah Banten, yang mana Banten artinya wali. Maka dari itu Upakara Dewa Yadnya sering disebut Puja Wali. Wali yang berarti wakil mengandung Simbolis dan Filosofis, yang banten itu adalah Wakil dari isi Alam semesta yang diciptakan oleh Hyang Widhi / Tuhan Yang Maha Esa.

   
FUNGSI UPAKARA
1. Sebagai alat konsentrasi
            Upakara sebagai alat konsentrasi, hal ini disebabkan oleh kemampuan yang dimiliki oleh manusia sangat terbatas adanya, dalam usaha untuk mendekatkan hubungan dengan Ida Sang Hyang Widhi Wasa dan segala manifestasi-Nya, untuk menyampaikan rasa terima kasih karena berbagai anugrah yang diberikan. Dengan melihat banten/upakara, pikirannya sudah teringat dan terarah pada yang dihadirkan atau dipuja. Penggunaan upakara sebagai alat konsentrasi, umumnya dilakukan oleh mereka yang menempuh jalan melalui bhakti marga dan karma marga dalam ajaran catur marga. Bagi bhakti marga mengutamakan penyerahan diri dan pencurahan rasa yang didasari dengan cinta kasih terhadap yang dipuja yaitu Ida Hyang Widi Wasa dan segala menifestasi-Nya, untuk mencapai kebahagiaan yang tertinggi.
2) Upakara sebagai persembahan atau kurban suci
            Upakara sebagai persembahan, apabila ditujukan kehadapan yang lebih tinggi tingkatannya dari manusia. Disebut kurban suci apabila ditujukan kepada yang tingkatannya lebih rendah daripada manusia seperti dalam pelaksanaan upacara bhuta yadnya. Maksud dan tujuan dari persembahan atau korban suci itu adalah sebagai pernyataan dari perwujudan rasa terima kasih manusia kehadapan Ida Hyang Widhi Wasa dan segala manifestasi-Nya. Sebagai contoh yang paling sederhana adalah yadnya sesa yaitu persembahan yang dilakukan setiap hari setelah selesai memasak.
3) Upakara sebagai sarana pendidikan memuja Ida Hyang Widhi Wasa.
            Upakara  yang telah dapat diwujudkan, merupakan hasil dari pengendalian diri terhadap keterikatan akan benda-benda duniawi. Bila hal itu dihayati lebih mendalam, maka mereka yang telah berhasil membuat upakara untuk diyadnyakan, itu berarti ,mereka telah berhasil menyucikan pikirannya dari rasa ego terhadap karunia Ida Hyang Widhi Wasa yang telah menjadi miliknya. Rasa rela dan rasa tulus ikhlas telah diamalkan, sekaligus perbuatan yang demikian itu telah termasuk dalam upaya penyucian diri secara lahiriah dijiwai dengan rasa bathiniah.
BANTEN.
Banten terdiri dari Tiga Unsur yaitu:

1.      Mataya adalah Bahan Banten yang berasal dari Tumbuh atau Tumbuh – tanaman seperti Daun, Bunga dan Buah
2.      Maharya adalah Bahan Banten yang Berasal dari yang dilahirkan di wakili oleh Binatang seperti Babi, Kambing, Kerbau, Sapid dan lain-lain.
3.      Mantiga adalah Bahan Banten yang dihasilkan dari hewan yang lahir dari Telur itu sendiri, seperti Ayam, Itik, Angsa, Telur Ayam, Telur Itik dan Telur Angsa.
Sebagai pelengkap dalam Upacara Banten juga disediakan dengan Air, dan Api (Dupa).
            Banten sesungguhnya adalah persembahan suci kepada Ida Shang Hyang Widi Wasa. Dalam hal ini Banten menjadi simbol berserah diri kepada kebesaran-Nya. Dengan kata lain, Banten adalah media untuk menyatakan srada dan bhakti umat kepada-Nya. Sebagai persembahan suci, banten itu mempunyai berbagai arti positif. Hal ini tentu harus dipahami pula oleh Umat Hindu.Dengan membuat Banten, masyarakat akan selalu ingat kepada Ida Shang Hyang Widi Wasa.
            Karena Banten dibuat sebagai persembahan yang tulus iklas kepada Ida Shang Hyang Widi Wasa, Maka dalam perbuatannya masyarakat seolah-olah dibiasakan untuk bersabar dan mengendalikan diri, tidak boleh marah dan tidak boleh berkata kasar.Pembuatan Banten akan menurut penyesuaian diri dengan kemampuan, sehingga mengurangi egoisme.Pembuat Banten mendorong pertubuhan ekonomi rakyat.
            Masyarakat yang semakin meningkat pendapatannya akan merasa semakin optimis dan mau bekerja lebih keras lagi, sehingga penghasilannya pun akan semakin besar pula.
            Pembuat banten dapat mendorong peningkatan gizi masyarakat.
Industri kerajinan dan kesenianpun akan semakin berkembang.
Pertanian dan perternakan juga akan semakin berkermbang.
Salah satu contoh banten ialah Pejati.


PEJATI.
Pengertian Banten Pejati

            Banten merupakan wujud dari pemikiran yang lengkap didasari dengan hati yang tulus dan suci. Banten dapat diartikan sebagai Wali. Kata Wali berarti Wakil. Banten dalam suatu upacara dipakai sebagai wakil untuk berhubungan dengan yang dipuja atau yang dimuliakan. Selain itu pula, kata Waliberarti kembali. Dalam pengertian ini, banten dimaksudkan kembali dipersembahkan, yang pada mulanya semua sarana banten itu berasal atau bersumber dari ciptaan Sang Hyang Widhi Wasa. Maksud dari persembahan kembali ini adalah untuk mewujudkan keseimbangan, antara Beliau/ Hyang Widhi Wasa yang telah menciptakan, dengan manusia sebagai makhluk ciptaan-Nya yang paling banyak menerima dan menikmati, agar dapat lestari sepanjang masa.
            Pejati berasal dari kata Jati mendapat awalan pe-, menjadi Pejati. Kata ini adalah kata dalam bahasa Bali. Jati artinya sungguh-sungguh, benar-benar.
            Banten pejati adalah sekelompok banten yang dipakai sarana untuk menyatakan rasa kesungguhan hati kehadapan Hyang Widhi Wasa/ manifestasiNya, akan melaksanakan suatu upacara dan mohon dipersaksikan, dengan tujuan agar memperoleh keselamatan.

Penggunaan Banten Pejati

            Banten Pejati sering dipergunakan pada upacara panca yadnya. Penggunaanya dapat sebagai awal akan mengambil suatu upacara, yang berfungsi sebagai permakluman menganai tahapan dan tingkatan yang mana akan diselenggarakan. Adapun inti dari permakluman itu adalah memohon restu keselamatan.
            Berikutnya digunakan pada puncak acara, berfungsi sebagai tanda ataupun bukti kesungguhan hati terhadap permakluman sebelumnya, bahwa upacara tersebut segera akan diselenggarakan, dimohonkan pula persaksian-Nya.

            Selain itu juga dipergunakan pada akhir pelaksanaan upacara,yaitu menjelang penutupan atau upacara mesineb, berfungsi sebagai permakluman mengandung ucapan terimakasih dan memohon maaf atas kekurangan yang mungkin terjadi, mengenai upacara yang telah dilaksanakan itu, akan segera diakhiri.
            Sebagai suatu contoh nyata, misalnya dalam upacara manusa yadnya, terhadap seorang anak yang dilahirkan, dibuatkan Banten Pejati yang akan dipersembahkan ke Merajan ataupun Pura-pura dalam lingkungan Desanya adalah berfungsi sebagai sarana permakluman dan perkenalan, agar pada hari-hari selanjutnya tidak mendapat halangan atau hal-hal yang tidak diinginkan.
            Demikian pula pada pelaksanaan-pelaksanaan upacara seperti Pemangku ataupun Pendeta yang menyelesaikan penyelenggaraan upacaranya, sebelumnya dihaturkan Banten Pejati, sebagai tanda ikut menyaksikan dan menyelesaikan pelaksanaan upacaranya.
            Demikan pula pada upacara-upacara berikutnya bila akan melaksanakan upacara, sebelumnya dibuatkan Banten Pejati, misalnya pada upacara Otonan, Naik Dewasa/ Menek Deha Truna, kawin sampai mengakhiri hidupnya, yaitu mati, baik itu akan dikuburkan atau langsung diabenkan, juga diawali dengan memohonkan dewasa/ hari yang baik kepada Pendeta yang akan menyelesaikan pelaksanaan upacaranya.



BAB III
KESIMPULAN

Berdasarkan pembahasan, maka dapat ditarik suatu kesimpulan sebagai berikut :

1.      Upacara dapat diartikan dan dimaknai Gerakan Sekeliling Kehidupan Manusia Upaya Menghubungkan Diri dengan Hyang Widhi Wasa / Tuhan Yang Maha Esa. Aktifitas ini dilakukan berlandaskan Kitab Suci Weda dan Satra Agama Hindu sedangkan Upakara sering dikenal dengan sebutan banten atau Upakara merupakan bentuk pelayanan yang diwujudkan dari hasil kegiatan kerja berupa materi yang dipersembahkan atau dikurbankan dalam suatu upacara keagamaan.
2.      Upakara sebagai alat konsentrasi,sebagai persembahan,dan juga sebagai sarana pendidikan untuk menyampaikan rasa terima kasih karena berbagai anugrah yang diberikan dari perwujudan rasa terima kasih manusia terhadap karunia Ida Hyang Widhi Wasa.

DAFTAR PUSTAKA



Tidak ada komentar:

Posting Komentar