Adat, Tradisi, Agama, Budaya Hindu Bali

Senin, 30 Maret 2020

UPACARA SEBELUM DAN SESUDAH KELAHIRAN

Oleh:

Ni Made Sri Indrawati


BAB I PENDAHULUAN

UPACARA SEBELUM DAN SESUDAH KELAHIRAN


A.        LATAR BELAKANG

Kebudayaan Bali merupakan satu sosok kebudayaan yang unik dengan jati diri yang khas. Jati diri tersebut merupakan rajutan fisik, simbol, kelembagaan dan gaya yang bersifat lokal, terpadu dengan sistim kepercayaan, sistim filosofis yang menekankan sifat ekonomis yang dijiwai agama Hindu. Masyarakat Bali masa kini sebagai refleksi masyarakat transpormatif yang bergerak semakin heterogen dengan dua dikotomi kebudayaan yaitu : Kebudayaan Tradisional dan Kebudayaan Modern. Disisi lain, Kebudayaan Bali mencakup unsur- unsur yang sangat banyak beragam, salah satu diantaranya adalah unsur upacara.
Upacara di Bali yang masih termasuk upacara tradisional, merupakan suatu mata rantai yang tidak dapat dipisahkan dari Tattwa/ filsafat; yaitu merupakan tujuan dari pada ajaran Agama Hindu, serta Susila; yaitu aturan-aturan yang patut dilaksanakan untuk mencapai tujuan. Ketiga unsur di atas (Tattwa, Susila, Upacara) adalah merupakan unsur-unsur universal Agama Hindu yang antara unsur yang satu dengan unsur yang lain, saling dipahami dan ditaati secara terpadu sebagai acuan perilaku masyarakat Bali yang beragama Hindu. Umat Hindu di Bali, dua unsur yaitu Etika dan Upacara telah dipahami, walaupun terjadi penyesuaian sesuai dengan Desa, Kala Patra. Sedangkan filsafat dari upacara tersebut, lebih cendrung dalam kenyataan masih dilaksanakan secara Gugon Tuwon (Nak Mulo Keto). Pemahaman filsafat belum mantap, hal tersebut menyebabkan terjadi kefanatikan dalam pelaksanaan dan belum siap berubah. Pada hal dalam perkembangan kehidupan masyarakat yang serba maju dan


telah banyak mengalami pergeseran, mestinya dinamika Agama harus secara harmonis berjalan dengan dinamika pembangunan.
Disamping itu pula, upacara tradisional yang masih eksis di Bali, merupakan suatu cara utama untuk menyatakan rasa bakti umat kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa ; kepada Leluhur, kepada Para Rsi maupun kehadapan para Dewa maupun terhadap sesamanya. Upacara Tradisional juga membakukan berbagai nilai luhur maupun menata pola tingkah laku masyarakat menjadi masyarakat yang berbudi luhur. Dan perlu pula disaring ada nilai yang cocok pembanunan perlu di transpormasikan, sedangkan ada nilai-yang kurang cocok untuk pembangunan secara pelan akan ditinggalkan oleh para pendukungnya. Maka dari itu penulis mencoba untuk mengangkat tulisan "Upacara Tradisional Daur Hidup" di Bait secara bertahap dari bayi dalam kandungan. Sekarang coba dibahas Upacara Bayi dalam Kandungan dengan salah satu variasi upakara (sesajen) yang dibuat.

B.        RUMUSAN MASALAH
Permasalahan yang diangkat dalam Artikel ini yaitu :
1.         Generasi   muda   enggan   belajar   dan   hanya   memilih   instan, sehingga makna dan pengertian semuanya tidak diketahui
2.         Peran tugas sebagai generasi yang tentu akan menjadi pelaku nantinya, setidaknya dapat belajar dari sekarang.


C.       TUJUAN
Adapun tujuan penulisan Artikel ini adalah sebagai berikut :
1.         Memahami proses upacara baik dari dalam kandungan, baru lahir dan setelahnya.
2.         Generasi muda/pembaca setidaknya mengerti apa yang mesti dipelajari dan dilakukan agar kelak tidak lagi terlalu menagndalkan


orang lain dalam banten dan upacara yadnyanya.
3.         Menjelaskan secara rinci kaitan makna upacara yang dilaksanakan dan sekaligus, melestarikan Adat, Tradisi dan Budaya bali.


D.       MANFAAT
Manfaat yang diharapkan dapat diperoleh dari penulisan artikel ini adalah sebagai berikut.
1.         Untuk para pembaca dari segi banten upakara, upacara dan tahapan pelaksanaannya dapat diketahui.
2.         Sambil meneliti serta lebih menanamkan sikap kepada para Generasi Muda agar mau belajar pebantenan dan Upacaranya.
3.         Untuk Penulis, tentunya dapat menambah wawasan tentang sarati banten, tugas dan fungsi dalam membantu pelaksanaan yandnya.

BAB II PEMBAHASAN


1.                  UPACARA BAYI DALAM KANDUNGAN
Upacara Megedong-Gedongan adalah Upacara Kehamilan. Menurut Kanda Pat Rare mengatakan dalam proses kehamilan karena "Kama Jaya" (Sperma dari Ayah) bertemu dengan "Kama Ratih" (Ovum dari ibu) terjadilah pembuahan. Semakin besar terwujudlah Jabang Bayi. Upacara Megedong-gedongan adalah Upacara yang ditujukan kepada Bayi yang masih berada di dalam Kandungan dan merupakan Upacara pertama dilaksanakan pada saat Bayi berumur 5 bulan Bali   ( kurang lebih 6 Bulan kalender), karena wujud Bayi sudah dianggap sempurna. Pelaksanaan upacara Magedong-gedongan berfungsi sebagai penyucian terhadap Bayi. Disisi lain juga berarti agar kedudukan Bayi dalam Kandungan agar baik kuat tidak abortus.


Secara bathiniah agar Sang Bayi kuat mulai setelah lahir menjadi orang yang berbudi luhur, berguna bagi Keluarga dan Masyarakat Demikian juga dimohonkan keselamatan atas diri si Ibu agar sehat, selamat waktu melahirkan.

2.                  VARIASI UPACARA

Berdasarkan kenyataan di masyarakat pelaksanaan upacara maupun upakara sangat bervariasi, menurut adat setempat dan menurut Tukang Banten. Yang lainnya dalam Satu Desa saja bisa bervariasi, namun inti dan maknanya yang sama. ''Beberapa Variasi Upakara sebagai berikut :
            Variasi I Upakara (sesajen) menurut Kanda Pat Rare adalah sebagai berikut:
-            Abyakala

-            Pagedongan

-            Sesayut Pengambean.

-            Canang

-            Daksina

            Variasi II, menurut salah satu variasi di Desa Batubulan sebagai berikut:
-            Dapetan Tumpeng Pitu

-            Pejati munggah ring Dewa Hyang Guru

-            Pejati Pemangku

-            Soroan

-            Tebasan Prayascita

-            Sodaan sesuai dengan Kondisi Merajan


            Variasi III, untuk pembersihan sederhana

-            Abyakala

-            Prayascita
Makna dari upakara, jenis sesajen di atas, menurut analisis penulis : Sesajen Abyakala dan Prayascita untuk menghilangkan pengaruh buruk dari Sang Buta Kala serta bencana yang akan menimpa sang Bayi maupun Sang Ibu. Daksina yang diperuntukan Pemangku merupakan ungkapan terimakasih telah ikut ngayabang Banten. Daksina juga diisi tetapakan dari Janur yang berbentuk menyilang (+) sebagai simbul swastika yang artinya semoga baik dan selamat. Yang arah ke atas memohon keselamatan kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa, sedangkan arah ke bawah mohon keselamatan pada Buana Agung. Salah satu variasi metanding Abyakala/Biakala adalah sebagai berikut :
-            Alas kulit Sayut di bawah memakai sidi di atas kulit peras pandan.
-            Nasi dibungkus daun.

-            Penek merah ditusukkan di atasnya bawang Tabia dialasi kau.

-            Telur Ayam

-            Base Tulak (Base 5 lembar) digulung bolak-balik, satu lembar dililit berfungsi sebagai kamben/Kain
-            Kala Sepet = Tiing disepak kurang lebih 6 cm didalamnya diisi Sambuk.
-            Buu Tangga Menek, Tangga Tuun, Jan Lilit linting, Lilit Lengkung dibuat dari Janur.
-            Padma (berupa Sampihan)

-            Sidi, tempat sebagai alas metanding. Sidi dibuat berlubang-


lubang.
Menurut analisis Penulis mengandung makna agar Kala dapat disaring atau hal yang kotor dan hal yang dianggap bersih dapat dipisahkan. Secara, simbolik segala yang cemer agar keluar dari Orang Tua maupun si Jabang Bayi.
-            Kekeb (tutup Nasi tradisional), di atas diisi takep api dari serabut kelapa yang disilang seperti simbol Swastika. Simbol Dewa Brahma yang mengandung makna, semoga yang reged/kotor,  tidak  baik  secara  niskala  dapat  dimusnahkan oleh api sebagai simbol Brahma.
-            Pebersihan

-            Satu Ceper berisi isuh-isuh, diisi Bawang Merah, Uang Bolong (uang Kepeng).
-            Coblong berisi air

-            Penyeneng.
Semua Tetandingan Byakala di atas mengandung makna untuk pebersihan dan mohon kepada Ida Sang Hyang Widi Wasa, Kala baik yang datang di dalam diri (Buana Alit) maupun pengaruh luar di Buana Agung dapat ditolak atau ditangkal. Demikianlah salah satu variasi cara membuat Abyakala/Biakala.




3.                  UPACARA BAYI BARU LAHIR DAN MENDEM ARI-ARI

Keberadaan manusia sebagai salah satu mahluk ciptaan Tuhan adalah memiliki kedudukan yang paling utama dan paling mulia. Hal ini dikarenakan manusia memiliki kemampuan yang lebih dalam hal peningkatan derajat harkat dan martabatnya.
Peningkatan derajatnya sebagai manusia dapat dilakukan


dengan memanfaatkan kelebihan yang dimilikinya yang disebut dengan pikiran (idep), sehingga dengan pikiran ini manusia memiliki wiweka yaitu kemampuan untuk mempertimbangkan baik buruknya sesuatu hal yang dilakukan. Namun demikian, manusia sebagai mahluk duniawi juga tidak lepas dari segala kekurangan, kekeliruan dan jauh dari kesempurnaan. Sehingga sering kali manusia juga melakukan perbutan-perbuatan yang tidak sepantasnya dilakukan yang mengarah pada dosa. Untuk mengurangi akibat dari dosa (papa) ini manusia seharusnya melakukan suatu usaha untuk menumbuhkan kesucian dalam hati, pikiran, perkataan dan perbuatannya dan juga dilakukan dengan upacara-upacara keagamaan yang bertujuan untuk membersihkan segala mala (kekotoran) yang ada.
Dalam agama Hindu selalu mengajarkan pada umatnya untuk senantiasa menjaga kesucian dalam diri baik melalui perbuatan dan juga dalam bentuk pelaksanaan upacara. Dengan demikian umat diharapkan dapat pula melaksanakan uapacara pembersihan diri mulai dari ia lahir sampai pada waktunya harus kembali pada Hyang Widhi. Upacara yang diperuntukan bagi umat manusia disebut dengan upacara Manusa Yadnya. Disini akan penulis uraikan lebih lanjut mengenai pelaksanaan Upacara untuk bayi yang baru lahir.
Upacara kelahiran (Jatakarma Samskara) Upacara ini dilaksanakan pada waktu bayi baru dilahirkan. Upacara ini adalah sebagai ungkapan kebahagiaan atas kehadiran si kecil di dunia. Upacara Jatakarma dilaksanakan pada waktu bayi baru dilahirkan dan telah mendapat perawatan pertama. Upacara ini dilaksanakan Upacara Jatakarma dilaksanakan di dalam dan di depan pintu rumah.
Upacara kelahiran dilaksanakan atau dipimpin oleh salah seorang keluarga yang tertua atau dituakan, demikian juga untuk menanam (mendem) ari-arinya. Dalam hal tidak ada keluarga tertua, misalnya, hidup di rantauan, sang ayah dapat melaksanakan upacara ini.
Ari - ari merupakan salah satu bagian penting dalam proses


perkembangan janin di dalam kandungan. Dalam tatwa Kanda Pat disebutkan bahwa manusia lahir ke dunia dibantu oleh 4 saudara yaitu ari - ari, lamas, darah dan yeh nyom. Ke empat saudara inilah yang menjaga bayi dalam kandungan dan membantu proses kelahiran bayi. Setelah bayi lahir maka sang kanda pat pergi menuju lokasinya masing untuk beryoga dan karena keteguhannya beryoga maka keempat saudara kita tersebutlah pada akhirnya akan menjadi Sang Suratman, Sang Jogormanik, Sang Mahakala dan Sang Dorakala yang akan menjadi saksi perilaku kehidupan dan sebagai penuntun jalan setelah kematian.
Pelaksanaan upacara bagi bayi yang baru lahir salah satu maknanya adalah sebagai ungkapan rasa gembira dan shyukur atas lahirnya si bayi ke dunia. Upakara-upakara yang dipergunakan disebut dengan Dapetan. Upakara dapetan ini terdiri dari beberapa bagian yang disesuaikan dengan tingkatan upacaranya, yaitu:
A.        Tingkatan Kecil :
Upakaranya: nasi muncuk kuskusan, dilengkapi dengan buah- buahan (raka-raka), rerasmen (kacang, saur, garam, sambel dan ikan), sampian jaet, dan canang sari/canang genten, serta sebuah penyeneng. Upakara ini dihaturkan kepada Sang Dumadi.
B.        Tingkatan yang lebih besar
Upakaranya : sama seperti di atas hanya saja dilengkapi lagi dengan jerimpen di wakul yaitu sebuah wakul yang berisi sebuah tumpeng lengkap dengan raka-raka, rerasmen dan sampian jaet.


ada pula yang menggunakan dasar sastra berikut ini : maksudnya :
Anak Alit Wawu lekad Upakarania : Nasi muncuk kukusan, wohwohan, raka-raka, rerasmen, kacang saur, garam, sambel, ulam, sampiyan jaet,


canang sari, canang genten, penyeneng. Katur ring Sang Numadi. Yan ageng upekarane, maweweh jrimpen miwah tumpeng. Munguwing ari- arine, Ri sampun kabersihan, kacelepan ring jeroning kelapa sane sapun kabelahang dados kalih, toyane kutang. Ring luhurne marajah ongkara, sane ring sor marajah ah,ring jeroning kelapa kedagingan duwi-duwian miwah lekesan sagenep. Kelapane cakupang malih, kahungkus antuk duk miwah wastra putih, raris pendem. Yan lanang ring tengen, yan wadon ring kiwa umah meten. Iki mantran mendem: Ong sang ibu pertiwi rumaga bayu, rumaga amertha sanjiwani, ngamertanin sarwa tumuwuh, nama sa jabang bayi mangda dirgayusa nutugang tuwuh.
Tata pelaksanaan upacara anak yang baru lahir memiliki beberapa tatanan dalam pelaksanaannya yaitu :

4.                  TATA CARA MENANAM ARI-ARI

Persiapan sebelum memulai menanam ari-ari Air kumkuman secukupnya
Boreh gading (dibuat dari beras dan bangle)
Kelapa muda dan dibelah dua, dan ditulis dengan rerajahan, bagian atas atu penutup dengan "Ongkara" dan bagian bawah dirajah dengan tulisan "Ahkara ".
Serabut ijuk
Daun lontar ditulis aksara dasa bayu dengan huruf Bali, bila lelaki tulis "ong ong ah ah 3x" dan bila perempuan tulis "ong ong ung ung 3x".
Sebuah ngad dengan panjang 5 cm
Batu bulitan atau batu hitam dengan diameter 15 20 cm Pohon pandan
Sanggah tutuan beratap ijuk atau kelopak bambu Air bersih
Sebuah kwangen berisi uang bolong 11 kepeng
Duri-duri, isin ceraken, anget-anget, dan wangi-wangian


5.                  PERAWATAN TERHADAP ARI-ARI :

Saat bayi lahir maka ada upacara khusus yang harus dilakukan untuk mendem ari-ari si bayi. Saat si ibu dalam proses bersalin maka disiapkan sebuah periuk tanah yang berisis tutup yang mana jika bayi sudah lahir maka ari -arinya dimasukan ke dalam periuk tersebut dan dibawa pulang. Sesampai di rumah maka oleh ayah si anak ari – ari diletakan di dalam baskom/ember baru yang setelah itu alat tersebut tidak boleh dipakai lagi. Lalu ari – ari tersebut di cuci dengan air. Sang ayah harus membersihkan ari - ari dengan bersih dengan menggunakan kedua tangan, tanpa perasaan jijik dan dilakukan dengan perasaan penuh syukur dan kasih sayang, setelah bersih lalu di bilas dengan air kumkuman (air bunga).
Siapkan sebuah kelapa ukuran besar yang masih lengkap dengan kulitnya, lalu dipotong dan dikeluarkan airnya. ari-ari atau plasenta setelah dibersihkan kemudian dimasukan ke dalam buah kelapa yang sebelumnya sudah dibelah menjadi dua bagian yang airnya juga telah dibuang. Bagian atas kelapa itu diisi tulisan "Ongkara" ( þ ). Sedangkan pada bagian bawah kelapa tersebut diisi tulisan "Ahkara" ( ö ).
Selain dari itu ke dalam kelapa tadi dimasukan beberapa jenis duri terung, mawar dan sebagainya. Selain duri ada bebarapa lagi yang dimasukan yaitu sirih lekesan selengkapnya. Setelah itu kedua belahan kelapa tadi dicakupkan dibungkus dengan ijuk dan kain putih kemudian dipendamkan. Kalau seandainya kesulitan dalam mencari ijuk, penggunaan kain putih saja diperbolehkan.
Tempat memendamnya adalah sesuai dengan jenis kelamin si bayi. Kalau si bayi laki-laki maka dipendam disebelah kanan pintu balai, sedangkan kala bayinya perempuan maka ari-arinya dipendam di sebelah kiri pintu balai (dilihat dari dalam rumah).


Cara menanam ari-ari


Nyalakan dupa untuk memohon perlindungan dan amertha ke hadapan Sang Hyang Ibu Pertiwi dengan mantra :
"Om ang sri basunari jiwa mertha, trepti paripurna ye namah suaha" Ucapan saa :
Pukulun Sang Hyang Ibu Pertiwi, pinakengulun aminta sih, ingsun angengkap pertiwi, ngulati amendem ari-ari, tan kenang sira keletehan, rinaksanan denira Sang Catur Sanak, manadi pageh uripe di jabang bayi, Om sidhi rastu yenamah swaha
Setelah mengucapkan mantra diatas barulah membuat lubang, selanjutnya ari-ari dicuci dengan air biasa sampai bersih, sesudah itu diusapi dengan boreh gading sampai rata, kemudian dibilas dengan air kumkuman agar bersih. Semua air pencucinya di masukkan kelubang tersebut.
Ari-ari dimasukkan kedalam kelapa yang dibelah menjadi dua dan diisi ngad, lontar yang telah ditulisi diatas, kewangen yang berisi uang bolong 11 kepeng, duri-duri, isin ceraken, anget-anget, dan wangi- wangian dibungkus dengan serabut ijuk, serta diluar ijuk dibungkus dengan kain putih, dibuat simpul diatasnya, dan dipasangkan kwangen diatasnya.
Masukkan ari-ari kedalam lubang atau bangbang dengan muka kwangen kearah halaman rumah. Sambil meletakkan didalam lubang ucapkan mantra dalam hati :
"Om presadha stiti sarisa sudha ya namah"
Artinya : Om Hyang Widhi Wasa dalam manifestasi sebagai pertiwi, penguasa segala kekuatan, penguasa kehidupan menghidupi segala yang lahir/ tumbuh, si anu (nama si bayi) semoga panjang umur.
Tata letak pembuatan lubang memiliki etika yang berbeda antara bayi wanita dengan bayi laki-laki. Kalau bayi laki-laki ditanam dibagian kanan pintu rumah dari kita menghadap ke halaman rumah, sedangkan bagi bayi perempun dibagian kiri. Setelah ditanam diatasnya ditanami pohon pandan dan batang kantawali, sebatang


buluh guna memasukkan air nantinya ke ari-ari tersebut kemudian diletakkan sebuah batu hitam atau batu bulitan.
Diatas batu diletakkan sebuah lampu Bali yang telah menyala dan dibiarkan tetap menyala sampai bayi kepus pusar, kemudian ditutup dengan sangkar ayam.
Dibagian hulu dari ari-ari ditanam ditancapkan sebuah sanggah tutuan dihiasi dengan bunga merah, lengkap berisi sampian, gantung- gantungan, sebagai stana Sanghyang Maha Yoni.
Suguhkan segehan beralaskan daun taru sakti (dapdap) pada ari- ari sebanyak empat tanding antara lain :
kepelan putih satu tanding, lauknya garam menghadap ke timur kepelan merah (bang) satu tanding, dengan lauk bawang menghadap ke selatan, kepelan kuning satu tanding, lauk jahe menghadap ke barat, kepelan hitam (ireng) satu tanding, lauk uyah areng menghadap ke utara
ucapan:
"ong sang butha preta, empu semeton jrone sang rare, mangde pageh angemit" Kemudian percikkan tetabuhan berem dan arak
kepelan putih satu tanding dengan sedikit garam, dihaturkan di sanggah kemara (diatas tempat tidur bayi).
lakukan ritual menghaturkan segehan ini setiap rahinan jagat, kliwon serta petemuan dina kelahiran bayi.
Selanjutnya setiap hari diatas batu bulitan atau batu hitam disajikan banten nasi segenggam diatas daun dapdap dengan lauk garam dan arang. setiap selesai memandikan bayi, siramkan air memandikan bayi tersebut di batu hitam tersebut.
Menghaturkan soda putih kuning, canang sari pada sanggah tutuan, dengan ucapan :
“Om pakulun paduka Sang Hyang Maha Yoni maka dewaning rare astana ring pelantaran, penyawangan, pinakengulun sang adruwe jabang bayi anganturaken bhakti seprakaraning penek putih kuning,


maduluran kesuma, pinakengulun aminta nugeraha, kemit rareningulun rahina kelawan wengi, anulak sarwa ala, sakwehing joti maetmahan jati, Ang…Ah amertha sanjiwani ye namah swaha”
Menghaturkan soda pada pelinggih kemulan, dengan tujuan memohon tirtha pasucian kehadapan Hyang Guru dengan mantra :
"Om guru rupam sadadnyanam, guru pantharanam dewam, guru nama japet sadha, nasti-nasti, dine-dine, Om gung guru paduke byonamah swaha"
Ucapan saa:
"Om pakulun paduka Bhatara Hyang Guru mami angaturaken tadah saji pawitra, aminta nugraha Bhatara tirtha pengelukatan pebersihan, nggenlumulangaken keletehan sariran ipun dijabang bayi, kelukat, kelebur de paduka Bhatara matemahan sarira sudha nirmala yenamah, Om sidhi rastu ye namah swaha" Tirtha pasucian dipercikkan ketempat sanggah tutuan dan tempat ari-ari, banten buwu, serta dapetan. Selanjutnya bayi dan ibunya diperciki tirtha buwu dan ayabang banten dapetan.

6.                  MAKNA DAN TUJUAN

Makna dan tujuan yang terkandung pada upacara saat bayi baru lahir yaitu :
Ari-ari, merupakan bagian dari kehidupan sang bayi yang merupakan personifikasi dari Sang Catur Sanak, yaitu : Sang anta Preta merupakan sebutan dari air ketuban atu yeh nyom sebagai personifikasi saudara tertua dari sang bayi karena air ketuban sebagai pengantar bayi lahir ke dunia. Sang Kala merupakan sebutan darah yg keluar pada saat melahirkan sebagai sumber energi dari bayi sehingga bayi bisa bergerak aktif untuk keluar dari perut Ibu Sang Bhuta merupakan sebutan untuk selaput ari atau lamas yang membungkus tubuh bayi, berguna sebagai penetralisir suhu udara sebelum lahir maupun saat lahir, sehingga suhunya menjadi seimbang dan sekaligus


sebagai sarana pelicin saat bayi lahir.
Sang Dengen adalah sebutan untuk ari-ari atau placenta yang ikut lahir. Karena ari-ari sangat berguna sebagai sumber kehidupan bayi dalam kandungan , sebab ari-ari merupakan transformator dan mediator zat- zat makanan dari Ibu kepada bayi dalam pertumbuhannya sekaligus sebagai selimut dalam menjaga stabilitas suhu tubuh bayi terhadap suhu badan si Ibu


Batu hitam atau batu bulitan

Batu bulitan mengandung makna sebagai permohonan kehadapan Sang Hyang Widhi agar sang bayi dianugrahi panjang umur.

Pohon Pandan

Pohon pandan diwujudkan sebagai buaya putih sebagai penjaga bayi terhadap gangguan yang bersifat black magic.

Lampu Bali

lampu ini berbahan bakar minyak kelapa yang dicampur dengan minyak lampu wayang (tunasin ring jro dalang) serta minyak kelapa (nyuh surya). Lampu Bali yang menyala melambangkan Sanghyang Surya Candra, yaitu memiliki kekuatan Widia, oleh karan itu lampu tersebut ditatabkan atu ayab. Mantra : "Om Ang Ah Surya Candra Gumelar Ye Namah Swaha"

Sangkar Ayam

Sebagai lambang kekuatan maya Sang Hyang Widhi dan sebagai Cakra Jala (batas pandang alam semesta). Bahwa catur sanak merupakan bagian mayanya Sang Hyang Widhi dan merupakan unit kehidupan maya di alam semesta, serta menjadi pelindung bayi Sanggah Tutuan
Merupakan simbul dari stananya Sang Hyang Maha Yoni sebagai Dewa pengasuh sang bayi

Banten Bhuwu



Merupakan banten penyucian terhadap bayi dan ibunya serta lingkungan agar suci dari kecuntakaan atau sebel pada tahap permulaan

Banten Dapetan

Mengandung makna dan tujuan sebagai penyapa kehadapan roh suci yang baru reinkarnasi menjadi bayi.

7.                  UPAKARA

Merajaan Daksina, peras, soda, ketipat kelanan atau banten soda. Ayaban untuk Ibu dan bayi: Banten dapetan asoroh, Banten ajuman putih kuning
Upakara penyucian : Banten bhuwu asoroh
Upakara di sanggah tutuan: Soda putih kuning, Canang burat wangi, Cangang lenga wangi,
Untuk di ari-ari : Segehan kepelan 4 soroh
Demikianlah perawatan terhadap ari-ari dianggap selesai dan setiap ada upacara yang ditujukan pada sibayi, hendaknya ari-arinya jangan dilupakan. Disamping itu perlu kiranya dikemukan bahwa bila keadaanya tidak memungkinkan/ tidak mengijinkan maka ada kalanya ari-ari itu dibungkus dengan kelapa seperti tadi kemudian dibuang dilaut.
Demikian yang dapat penulis sampaikan apabila ada kekeliruan memohon kritik dan sarannya dan mari diluruskan secara bersama agar sesuai dengan sastra agama. Atas segala kekurangan yang ada penulis mohon maaf yang sebesar-besarnya karena segala keterbatasan yang ada.

8.                  UPACARA TIGABULAN DAN OTONAN
Upacara tiga bulanan dan otonan sebaiknya dilaksanakan tepat pada harinya, yaitu: untuk tiga bulan, pada hari ke 105 setelah kelahiran. Upacara otonan pertama setelah berumur 6 bulan kalender Bali: 6x35


hari = 210 hari setelah kelahiran. Ketika berusia 105 hari organ tubuh bayi sudah sempurna dalam arti panca indranya sudah aktif, peredaran darah dan pencernaannya sudah normal. Aktifnya panca indra membawa dampak positif dan negatif pada kesucian atman (roh). Tujuan upacara tiga bulanan adalah:
Menyiapkan anak untuk waspada akan pengaruh-pengaruh panca indria.
Mengucapkan terima kasih kepada kekuatan-kekuatan Hyang Widhi yang telah menjaga bayi sejak dalam kandungan sampai lahir yaitu :
a.         Nyama Bajang, dan
b.         Kandapat.
Bayi sudah menjadi "manusia" dan boleh diberi nama dan kakinya boleh menginjak tanah.

Jika belum diupacarai tiga bulanan, ia masih "cuntaka" yaitu belum suci. Namun demikian, karena berada jauh di rantau dan juga tidak ada yang bisa membuat upacara pada hari yang tepat, maka ketika pulang ke Bali semua anak-anak diupacarai sekaligus. Ini namanya "pengecualian" lebih baik terlambat dari pada tidak. Upacaranya boleh massal hanya saja "banten peras tataban" masing-masing anak satu. Demikian juga dengan otonan pertama, atau otonan rutin yang dilaksanakan setiap 6 bulan Bali.
Nyama bajang dan kandapat "diundang" untuk dihaturi sesajen sebagai ucapan terima kasih karena telah merawat bayi sejak dalam kandungan sampai lahir dengan selamat. Tattwa yang sebenarnya adalah syukuran kehadapan Hyang Widhi atas kelahiran bayi.
Si Bayi natab banten bajang colong artinya menerima lungsuran (prasadam) dari "kakaknya" yaitu kandapat (plasenta: ari-ari, getih, lamas, yeh-nyom)
Si Bayi "mepetik" (potong rambut, terus digundul, menghilangkan rambut "kotor" yang dibawa sejak lahir).


Si Bayi "mapag rare" (disambut kelahirannya) di Sanggah pamerajan, memberi nama, dan menginjakkan kaki pertama kali di tanah didepan Kemulan.
Si Bayi menerima lungsuran (prasadam) Hyang Kumara yaitu manifestasi Hyang Widhi yang menjaga bayi.
Si Bayi "mejaya-jaya" dari Sulinggih, yaitu disucikan oleh Pendeta. Symbol (niyasa) yang digunakan dalam upacara Tiga Bulanan:
Regek yaitu anyaman 108 helai daun kelapa gading berbentuk manusia, sebagai symbol Nyama Bajang;
Papah yaitu pangkal batang daun kelapa gading sebagai symbol ari-ari, Pusuh yaitu jantung pisang sebagai symbol getih (darah),
Batu sebagai symbol yeh-nyom, Blego sebagai symbol lamas, ayam sebagai symbol atma,
sebuah periuk tanah yang pecah sebagai symbol kandungan yang sudah melahirkan bayi,
lesung batu sebagai symbol kekuatan Wisnu, pane symbol Windu (Hyang Widhi),
air dalam pane symbol akasa,
tangga dari tebu kuning sepanjang satu hasta diberi palit (anak tangga) tiga buah dari kayu dapdap symbol Smara-Ratih (Hyang Widhi yang memberi panugrahan kepada suami-istri).
Upacara otonan lebih sederhana dari tiga bulanan, karena tujuannya mengucapkan syukur kepada Hyang Widhi atas karunia berupa panjang umur, serta mohon keselamatan dan kesejahteraan.
Yang diragukan oleh ortu anda, mungkin masalah tirta dari Sanggah Pamerajan ketika upacaranya di Jakarta. Jika upacara di Jakarta sudah seperti di atas, atau mendekati seperti itu, sudah cukup. Nanti di Bali dibuatkan tataban di Sanggah pamerajan yang dinamakan upacara "mapinton" yaitu memperkenalkan dan melaporkan kelahiran si bayi kepada roh leluhur yang distanakan di Sanggah Pamerajan.


Namun jika ortu berkeras juga mau mengadakan upacara tiga bulanan dan otonan, sebaiknya turuti saja, karena beliau mungkin ingin mencurahkan kasih sayangnya kepada cucunya. Nah dengan demikian anda kan juga berbhakti kepada ortu dan membuat beliau senang, asal saja biayanya terjangkau.

BAB III PENUTUP

KESIMPULAN

Dari semenjak dalam kandungan sudah dilaksanakan upacara magedong-gedongan hingga lahir ke dunia disertai oleh air, daging, darah dan lendir yang menyertai si bayi memiliki nilai kekuatan magis , sebagai saudara yang ikut terlahir, namun di tanam sesuai kelamin sang bayi, jika laki-laki di sebelah kanan pintu masuk dan jika perempuan disebelah kiri dari pintu masuk. Selanjutnya, kepus pusar, lalu Sembilan hari, 1 bulan tujuh hari (42) hari (tutug kambuhan), penghilangan cuntaka ibu dan anak.
Tujuan UPACARA TIGA BULANAN sudah saya jelaskan. Yang mungkin perlu dijelaskan lebih lengkap adalah urutan upacara dan symbol (niyasa) yang digunakan. Urutan upacara: Ayah dan ibu bayi mebeakala dengan tujuan menghilangkan cuntaka karena melahirkan, hingga proses upacara enam bulan/1 Oton hingga 3 Oton, lanjut majerimpen setiap 6 bulan Bali (210 hari)

SARAN-SARAN
Sebagai penulis dalam artikel ini, mencoba berharap agar dapat menjadi reperensi untuk mendapat perhatian dari generasi muda, sarati banten, serta bisa menjadi panduan tertulis yang dapat disosialisasikan demi ajegnya Tradisi dan Budaya Bali.





  

DAFTAR PUSTAKA



S. Swarsi l Warta Hindu Dharma NO. 433 Maret 2003


Ida Pandita Nabe Sri Bhagawan Dwija Warsa Sandhi

Mangku Alit Pekandelan dan Drs. I Wayan Yendra ( Buku Kanda Empat Rare)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar